Jumat, 25 Januari 2013

Wajah Baru Diplomasi Indonesia


Wajah Baru Diplomasi Indonesia
PLE Priatna ;  Alumnus FISIP UI dan Monash University, Melbourne Australia 
SINDO, 25 Januari 2013



Menteri Luar (Menlu) Negeri RI Marty Natalegawa “blusukan” di kamp pengungsi Myanmar,demikian judul menarik laporan dari sebuah media online di Jakarta beberapa waktu lalu. 

Atas undangan pemerintah Myanmar, Menlu RI mengunjungi kantong pengungsi bahkan beraudiensi di kamp pengungsi Desa Pauktaw, Sambalay Village, Taungbaw Village, Kyauktaw Maw-Ya-Wadi Village, dan Maungdaw, wilayah pelosok Negara Bagian Rakhine, 7-8 Januari lalu. Sulitnya medan ke empat lokasi tersebut dicapai menggunakan helikopter.

Sementara “blusukan” ke kamp pengungsi Ohn-Daw-Gyee dan Min Gwan ditempuh melalui jalan darat. Menteri Urusan Perbatasan-Myanmar Mayjen Thein Htay dan Chief Minister Negara Bagian Rakhine, Hla Maung Tin, tampak mendampingi. Apa yang menarik? Langkah menlu RI ini adalah potret baru, gaya diplomasi RI down to earth, melihat masalah dari dekat. 

Selain menyerahkan bantuan kemanusiaan pemerintah RI sebesar USD1 juta, melalui diplomasi konkret ala “blusukan” ini, kita tidak hanya memperoleh informasi yang akurat, tapi juga bisa memberikan simpati dan empati pada saudara kita yang menderita. Paling tidak, sejumlah besar pengungsi di berbagai kamp pengungsi Myanmar itu pun tahu bahwa menlu dari Indonesia, yang berpenduduk mayoritas muslim dan merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, telah memberi perhatian sekaligus memberi harapan bagi mereka keluar dari penderitaan. 

“Blusukan” juga dilakukan rombongan Komisi I DPR, November tahun lalu, saat berkunjung ke Kairo, Amman, Gaza, dan Ramallah di Palestina. Perjalanan panjang menggunakan bus melewati Kota Jerico-Ramallah, hingga diterima Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan PM Palestina, Ismail Haniya.

Coba kita tengok pada peristiwa lain. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini minta Presiden Suriah Bashar al-Assad mundur, agar perang saudara dan pertumpahan darah dihindari serta warga sipil di Suriah tidak menjadi korban pertikaian politik. 

Luar biasa. Pernyataan Presiden RI ini menarik karena dalam hubungan antar negara meminta seorang kepala negara asing, untuk mundur melepas jabatan, bisa-bisa dianggap mencampuri urusan dalam negeri. Apalagi, bila diminta mundur negara lain karena perkembangan politik di dalam negerinya. Pernyataan berani dilontarkan seorang Presiden RI seakan menabrak pakem lama, pelaksanaan diplomasi dan politik luar negeri RI, yang dulunya berdiam diri tidak bicara, seakan tidak peduli apa yang terjadi di luar. 

Tabu politik ditabrak, setelah gaya kepemimpinan Presiden Soekarno. Seorang presiden RI menyampaikan kecaman secara terbuka. Kecaman berupa sikap keberpihakan kita kepada yang lemah. Kita mengecam keras kekerasan yang terjadi di Suriah dan mendesak presiden di sebuah negara yang berdaulat itu untuk lengser. Tidak hanya sebuah keberanian, lebih dari itu adalah sebuah gereget perubahan dalam mengelola hubungan antarbangsa. 

Indonesia berubah. Gaya diplomasi pun bergeser menjadi lebih agresif dan percaya diri, tidak hanya berani mengatakan sesuatu secara lugas dan terbuka tapi juga bisa memberikan solusi. Kita melihat realitas dan persoalan. Kita pun bisa mengambil sikap kritis dengan pendirian secara leluasa serta mandiri. Adalah momentum yang tepat, sikap baru muncul, di tengah dunia yang berubah. 

Saat gaya diplomasi global juga bergerak lebih cepat di tengah ketidakpastian dan ancaman instabilitas kawasan, kita pun meninggalkan tabu mengutarakan sikapterbuka. Kenapa tidak? Zaman berubah. Tuntutan baru, masyarakat dunia yang terbuka, bebas dan kritis. Arus global kemajuan teknologi komunikasi berikut banjirnya informasi secara real-time, tanpa hierarki, akan menembus seluruh lapisan masyarakat di ujung pelosok dunia.

Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Ketika berita bergambar dan opini menjadi sebuah kekuatan membuka tabir secara cepat, sikap berdiam diri tanpa kepedulian adalah sebuah kemunduran. Maka adalah momentum yang tepat bila Indonesia tampil lebih terbuka, asertif namun dengan corak dan gaya kepemimpinan yang teduh dan menyejukkan. 

Coba kita simak beberapa fakta.Adalah Menlu RI Marty Natalegawa secara lantang menyerukan memboikot produk Israel (yang diperoleh dari wilayah pendudukan Israel di Palestina). Menlu RI juga mengecam sikap Australia ketika Kapten Emad, otak penyelundupan manusia, diberitakan mendapat suaka politik di Australia. 

Indonesia, melalui menlu RI, menyerukan secara lantang mengecam keras pembantaian di Kota Houla,Suriah. Begitu pula dengan Presiden RI SBY, yang mengecam keras tulisan Zainudin Maidin, mantan menteri penerangan Malaysia yang menghina mantan Presiden RI Habibie. Menlu RI mengecam keras ketika muncul kasus iklan TKI on Sale, kasus pemerkosaan WNI oleh aparat kepolisian Malaysia, serta penyiksaan TKI di Arab Saudi. Suara lantang yang dilontarkan secara terbuka ini, tentunya menandai sebuah era baru politik luar negeri yang lebih asertif. 

Ketika kebijakan luar negeri RI mampu menciptakan kestabilan dan perdamaian di kawasan. Ketika kebijakan luar negeri mampu menarik investasi dan merangsang ekspor ke pasar nontradisional. Ketika Indonesia mampu menjadi mediator konflik, mendamaikan sengketa Thailand-Kamboja, atau menyatukan perseteruan di Laut Cina Selatan, misalnya, di tataran dalam negeri, daya saing ekonomi harus mendukung tampilan itu. 

Ketika peluang dan ruang jelajah kita meningkat saat diplomasi RI mampu menurunkan ketegangan dan pertikaian menjadi kerja sama yang saling menguntungkan, saatnya interkoneksi basis kekuatan (ekonomi) di dalam negeri diberdayakan. Diplomasi total. Indonesia incorporated, kedua kata itu mengisyaratkan kebutuhan sinergis basis kekuatan domestik menghadapi persaingan ekonomi, tidak hanya di tingkat regional tapi malah global. 

Gaya diplomasi RI ke mancanegara berubah, oleh sebab itu saatnya pergulatan politik domestic pun dapat berlangsung secara lebih cerdas, berkualitas, dan bermartabat, agar dunia semakin menghormati kita. Oleh sebab itu, ke depan, menjelang perhelatan pemilihan presiden RI 2014, seharusnya kita tidak menghabiskan energi bangsa demi persaingan perebutan kekuasaan sehingga melupakan perhatian besar, terhadap pentingnya isu hubungan luar negeri dan kesiapan kita memasuki komunitas ASEAN 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar