Jumat, 25 Januari 2013

Kurikulum 2013 dan Format Pendidikan Ideal


Kurikulum 2013 dan Format Pendidikan Ideal
AM Fatwa ;  Anggota DPD RI
KORAN TEMPO, 25 Januari 2013



Keunggulan bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa-bangsa lain.
Rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah mata pelajaran bagi anak sekolah, sebagaimana disosialisasi dalam kurikulum 2013, menuai kontroversi. Ada yang mendukung, tapi ada juga yang menentang. Kalangan pertama beralasan, mata pelajaran bagi anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memang terlalu banyak, sehingga siswa tidak bisa menyerap semua mata pelajaran dengan maksimal. Siswa tidak fokus karena dituntut untuk menguasai beragam disiplin ilmu pengetahuan.
Sedangkan kalangan yang menolak beranggapan, dengan mata pelajaran yang ada saja masih banyak ilmu pengetahuan dasar yang tidak dikuasai siswa, lantas bagaimana jika masih dikurangi lagi? Kalangan ini juga bersikap apriori atas masterplan kurikulum yang menggabung mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan bahasa Indonesia. 
Alasan mereka, diajarkan secara terpisah dan sistematis saja hasilnya tidak maksimal, apalagi digabung. Di tengah gancarnya gempuran bahasa gaul terhadap struktur bahasa Indonesia yang baku, besar kemungkinan di masa depan jumlah penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar akan berkurang drastis. Padahal bahasa Indonesia merupakan salah satu isi dalam Sumpah Pemuda yang memiliki nilai historis dan posisi strategis bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Kontroversi ini sebenarnya harus disikapi secara arif dan dicari jalan tengahnya, supaya tidak berimbas pada proses belajar-mengajar anak-anak sekolah. Yang terpenting dari semua itu adalah, semua praktisi dan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan harus mengacu pada semangat yang sama dalam menjalankan tugasnya. 
Semangat tersebut tertuang rapi dalam definisi pendidikan yang diberikan oleh pakar-pakar pendidikan dan diamanahkan oleh undang-undang. Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pemaknaan yang hampir senada dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. 
Adapun UU Nomor 2 Tahun 1989 menyebutkan pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Hal ini dipertegas lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 yang mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 
Cara pandang terhadap pendidikan yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana terpapar dalam ragam definisi di atas, sejatinya mencerminkan betapa bangsa Indonesia memiliki pandangan yang lebih holistik dibanding bangsa-bangsa lain. Yunani, misalnya, kendati disebut-sebut sebagai bangsa pertama yang memulai tradisi menulis, pandangan mereka terhadap pendidikan ternyata sangat sederhana: sekadar ilmu menuntun anak, yang lazim mereka sebut dengan istilah pedagogik. Bangsa Romawi, yang terkenal berhasil membangun imperium besar, juga tidak jauh berbeda. Educare mereka artikan sebatas usaha untuk mengeluarkan, menuntun, serta mengaktualkan potensi anak yang dibawa saat dilahirkan ke dunia. Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Jerman. Istilah erzierhung mereka artikan sebagai usaha membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. 
Keunggulan bangsa Indonesia dalam memandang dan mendefinisikan pendidikan ini seharusnya membuat bangsa Indonesia lebih kreatif daripada bangsa-bangsa tersebut dalam menjalankan seluruh proses pendidikan, sehingga kualitas siswa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa-bangsa lain. Namun apakah kenyataannya demikian? Menurut laporan Trend in International Mathematics and Science Study (TIMSS), per Desember 2012, kemampuan nalar siswa Indonesia menempati posisi ke-40 di antara 42 negara Asia. 
Rapor merah yang dikeluarkan TIMSS ini masih diperparah dengan maraknya tawuran antarpelajar yang selama kurun 2012 saja sudah menelan 4 korban jiwa, aksi bullying (perundungan) yang masih terus terjadi, serta angka pengguna narkoba dan pelaku tindak kriminal di kalangan pelajar yang juga menunjukkan peningkatan.
Kenyataan yang memalukan sekaligus memilukan ini mengharuskan para pemangku kebijakan melakukan pembenahan yang lebih radikal terhadap dunia pendidikan. Tidak hanya sebatas kurikulum, tapi juga mencakup aspek yang lain, seperti sarana dan prasarana. Sebagai gambaran, saat ini 194 ribu ruang kelas SD dan SMP rusak parah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyebutkan, dari sekitar 1,48 juta guru SD, baru 22,6 persen yang bergelar sarjana. Adapun guru SMP 27 persen, dan guru SMA 81 persen yang menyelesaikan pendidikan S1. 
Perbaikan sarana dan peningkatan kualitas guru juga tidak kalah penting dibanding perbaikan kurikulum. Sebab, mustahil siswa bisa belajar dengan baik jika ruang belajarnya tidak kondusif dan gurunya tidak memiliki kompetensi. Atas dasar itulah, supaya kurikulum 2013 bisa diterapkan efektif, pemerintah juga harus memperbaiki semua instrumen pendukungnya, termasuk sarana belajar dan guru pengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar