|
SINAR
HARAPAN, 25 Januari 2013
Dalam berbagai perbincangan di media, wajah partai politik di negeri
ini diibaratkan seperti kotoran ternak, dianggap najis tapi dibutuhkan untuk
dijadikan kompos yang menyuburkan tanaman, terutama palawija.
Jangan lupa, palawija merupakan jenis tanaman pangan yang
senantiasa dikonsumsi manusia. Artinya, politik itu walaupun dianggap najis
oleh sebagian orang, tetap saja sangat dibutuhkan.
Sebagai orang yang bergumul di dunia politik, saya tak menampik
tuduhan akan buruknya kondisi partai-partai. Namun bukan bermaksud
berapologi, kondisi buruk partai-partai ini—diakui atau tidak—merupakan
cerminan dari kondisi masyarakat kita. Ada hubungan kausalitas antara
buruknya partai dengan buruknya (budaya) masyarakat.
Mari kita lihat, siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang ada di
partai-partai yang dianggap buruk itu? Mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat
juga.
Di antaranya malah orang-orang pilihan, ada mantan ketua umum
organisasi kepemudaan berbasis agama seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lain-lain.
Siapa pula yang mengisi struktur kepengurusan di partai-partai
itu? Pada umumnya juga tokoh-tokoh masyarakat dengan berbagai latar belakang.
Mereka mau diterima di partai juga karena memiliki track record yang baik
pada saat berkiprah di organisasi asalnya masing-masing. Kalau bukan aktivis,
mereka adalah akademikus dan kaum profesional yang mumpuni.
Lantas kenapa, orang-orang baik ini kemudian seperti menjelma
menjadi (seolah-olah) sekumpulan para penjahat? Apakah partai politik yang
mengubah mereka menjadi buruk? Jika jawaban atas pertanyaan terakhir ini “ya”
berarti ada problem besar dalam sistem kepartaian kita.
Kondisi buruk ini tak bisa dibiarkan, karena seburuk apa pun
keadaannya, secara generik, partai tetaplah berfungsi sebagai sendi
demokrasi. Demokratisasi sulit berjalan tanpa partai. Indonesia sebagai
negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi sangat membutuhkan sendi ini.
Korupsi Sistemik
Apa yang membuat partai berwajah buruk? Menurut saya terutama
disebabkan karena adanya gejala korupsi yang bersifat sistemik. Artinya,
karena sistem yang ada secara umum koruptif, maka institusi apa pun yang
tumbuh di dalamnya (tak terkecuali partai) akan sulit menghindari korupsi.
Itu yang pertama.
Kedua, karena menguatnya gejala misinterpretasi (sesat pikir)
mengenai partai. Ada sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa partai bukan
dianggap sebagai sarana melainkan sebagai tujuan dari segala aktivitas
politik. Adanya tuntutan loyalitas tanpa batas terhadap partai, atau
loyalitas terhadap partai melebihi loyalitas pada negara adalah bukti dari
misinterpretasi ini.
Ketiga, ada kecenderungan, berpartai, atau mendirikan partai
sebagai satu jenis profesi alternatif untuk mengais rejeki di tengah krisis
multidimensi di mana ladang pekerjaan konvensional yang bisa menghasilkan
uang sangat sulit didapatkan.
Keempat, harus diakui, ada juga partai yang dijadikan semacam
“mesin cuci” oleh para “kapitalis kroni” dan elite militer yang memiliki
sejarah tukang memeras dan atau tukang menumpahkan darah rakyat di masa lalu.
Mereka kini berubah menjadi tokoh yang dielu-elukan setelah mendirikan atau
aktif partai politik.
Dengan adanya keempat sebab di atas, umumnya partai yang tumbuh
di Indonesia bukannya menjadi sendi demokrasi malah cenderung merusaknya.
Bukannya menjadi sarana conflict
management (pengelola konflik) malah menjadi faktor signifikan dalam
menciptakan, memperluas, dan meningkatkan bobot konflik.
Bukannya menjadi
sarana kontrol sosial, malah menjadi institusi yang sulit dikontrol.
Jika demikian halnya, tentu nasib demokratisasi di negeri ini
benar-benar berada di ujung tanduk. Tak mampu berdiri tegak (apalagi
berjalan) karena sendinya amat rapuh. Agar bisa terus berjalan, tidak ada
cara lain, kecuali harus dipapah atau ditandu oleh segenap warga masyarakat
(rakyat).
Untuk itu, setiap warga masyarakat seyogianya memiliki kesadaran
politik, minimal mengetahui bahwa dirinya berfungsi signifikan dalam proses
demokratisasi, dan memiliki kekuatan yang (kurang lebih) sama dengan partai
politik atau pemerintah dalam menentukan maju mundurnya negara.
Dengan begitu, mereka layak disebut sebagai civil society, atau yang diistilahkan John Locke dengan civilian government. Keberadaan civil society, seperti juga partai
politik, menjadi syarat mutlak bagi terbangunnya demokrasi.
Untuk menjaga kelangsungan demokratisasi, tumbuhnya kesadaran civil society menjadi sangat penting,
terutama untuk menjadi pengontrol yang aktif bagi keberadaan (kinerja dan
segala aktivitas) partai politik, di samping ikut mengontrol jalannya
pemerintahan.
Kontrol yang aktif dari kekuatan civil society boleh dikatakan menjadi jalan pintas untuk
memperbaiki kondisi partai politik. Jalan panjangnya adalah melalui proses
penyadaran segenap warga negara melalui program pendidikan politik dan
kewarganegaraan yang konstruktif dan berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar