Sabtu, 26 Januari 2013

Partai Politik dan “Civil Society”


Partai Politik dan “Civil Society”
Jeffrie Geovanie ;  Founder The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN, 25 Januari 2013



Dalam berbagai perbincangan di media, wajah partai politik di negeri ini diibaratkan seperti kotoran ternak, dianggap najis tapi dibutuhkan untuk dijadikan kompos yang menyuburkan tanaman, terutama palawija.

Jangan lupa, palawija merupakan jenis tanaman pangan yang senantiasa dikonsumsi manusia. Artinya, politik itu walaupun dianggap najis oleh sebagian orang, tetap saja sangat dibutuhkan.

Sebagai orang yang bergumul di dunia politik, saya tak menampik tuduhan akan buruknya kondisi partai-partai. Namun bukan bermaksud berapologi, kondisi buruk partai-partai ini—diakui atau tidak—merupakan cerminan dari kondisi masyarakat kita. Ada hubungan kausalitas antara buruknya partai dengan buruknya (budaya) masyarakat.

Mari kita lihat, siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang ada di partai-partai yang dianggap buruk itu? Mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat juga.

Di antaranya malah orang-orang pilihan, ada mantan ketua umum organisasi kepemudaan berbasis agama seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lain-lain.

Siapa pula yang mengisi struktur kepengurusan di partai-partai itu? Pada umumnya juga tokoh-tokoh masyarakat dengan berbagai latar belakang. Mereka mau diterima di partai juga karena memiliki track record yang baik pada saat berkiprah di organisasi asalnya masing-masing. Kalau bukan aktivis, mereka adalah akademikus dan kaum profesional yang mumpuni.

Lantas kenapa, orang-orang baik ini kemudian seperti menjelma menjadi (seolah-olah) sekumpulan para penjahat? Apakah partai politik yang mengubah mereka menjadi buruk? Jika jawaban atas pertanyaan terakhir ini “ya” berarti ada problem besar dalam sistem kepartaian kita.

Kondisi buruk ini tak bisa dibiarkan, karena seburuk apa pun keadaannya, secara generik, partai tetaplah berfungsi sebagai sendi demokrasi. Demokratisasi sulit berjalan tanpa partai. Indonesia sebagai negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi sangat membutuhkan sendi ini.

Korupsi Sistemik

Apa yang membuat partai berwajah buruk? Menurut saya terutama disebabkan karena adanya gejala korupsi yang bersifat sistemik. Artinya, karena sistem yang ada secara umum koruptif, maka institusi apa pun yang tumbuh di dalamnya (tak terkecuali partai) akan sulit menghindari korupsi. Itu yang pertama.

Kedua, karena menguatnya gejala misinterpretasi (sesat pikir) mengenai partai. Ada sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa partai bukan dianggap sebagai sarana melainkan sebagai tujuan dari segala aktivitas politik. Adanya tuntutan loyalitas tanpa batas terhadap partai, atau loyalitas terhadap partai melebihi loyalitas pada negara adalah bukti dari misinterpretasi ini.

Ketiga, ada kecenderungan, berpartai, atau mendirikan partai sebagai satu jenis profesi alternatif untuk mengais rejeki di tengah krisis multidimensi di mana ladang pekerjaan konvensional yang bisa menghasilkan uang sangat sulit didapatkan.
Keempat, harus diakui, ada juga partai yang dijadikan semacam “mesin cuci” oleh para “kapitalis kroni” dan elite militer yang memiliki sejarah tukang memeras dan atau tukang menumpahkan darah rakyat di masa lalu. Mereka kini berubah menjadi tokoh yang dielu-elukan setelah mendirikan atau aktif partai politik.

Dengan adanya keempat sebab di atas, umumnya partai yang tumbuh di Indonesia bukannya menjadi sendi demokrasi malah cenderung merusaknya. Bukannya menjadi sarana conflict management (pengelola konflik) malah menjadi faktor signifikan dalam menciptakan, memperluas, dan meningkatkan bobot konflik. 

Bukannya menjadi sarana kontrol sosial, malah menjadi institusi yang sulit dikontrol.
Jika demikian halnya, tentu nasib demokratisasi di negeri ini benar-benar berada di ujung tanduk. Tak mampu berdiri tegak (apalagi berjalan) karena sendinya amat rapuh. Agar bisa terus berjalan, tidak ada cara lain, kecuali harus dipapah atau ditandu oleh segenap warga masyarakat (rakyat).

Untuk itu, setiap warga masyarakat seyogianya memiliki kesadaran politik, minimal mengetahui bahwa dirinya berfungsi signifikan dalam proses demokratisasi, dan memiliki kekuatan yang (kurang lebih) sama dengan partai politik atau pemerintah dalam menentukan maju mundurnya negara.

Dengan begitu, mereka layak disebut sebagai civil society, atau yang diistilahkan John Locke dengan civilian government. Keberadaan civil society, seperti juga partai politik, menjadi syarat mutlak bagi terbangunnya demokrasi.

Untuk menjaga kelangsungan demokratisasi, tumbuhnya kesadaran civil society menjadi sangat penting, terutama untuk menjadi pengontrol yang aktif bagi keberadaan (kinerja dan segala aktivitas) partai politik, di samping ikut mengontrol jalannya pemerintahan.

Kontrol yang aktif dari kekuatan civil society boleh dikatakan menjadi jalan pintas untuk memperbaiki kondisi partai politik. Jalan panjangnya adalah melalui proses penyadaran segenap warga negara melalui program pendidikan politik dan kewarganegaraan yang konstruktif dan berkelanjutan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar