Jumat, 25 Januari 2013

Manusia dan Naluri Kekerasan


Manusia dan Naluri Kekerasan
Anis Sholeh Ba’asyin ;  Budayawan
SUARA KARYA, 25 Januari 2013
  

Dibanding spesies lain, kecenderungan dan intensitas manusia untuk membinasakan sesamanya sungguh tidak tertandingi. Sebagian orang bahkan tak ragu menggolongkannya sebagai spesies genosid (genocidal species).
Kenyataan ini seperti membenarkan kekhawatiran para malaikat yang sempat mempertanyakan pengukuhan Adam sebagai wakil-Nya. "Mengapa Allah mengangkat makhluk yang gemar merusak dan mengalirkan darah sesamanya?"
Atau, jangan-jangan determinasi sejarah oleh apa yang diidentifikasi Richard Dawkins--reduksionis ulung biologi evolusioner Darwinian--sebagai selfish gene, memang benar adanya?
Kalau benar demikian, selfish gene inilah yang konon menggejala dalam bentuk dominasi akal fragmentatif dan instrumentalis di berbagai peradaban. Ini jenis akal yang sengaja disusun untuk membela dan menyalurkan kepentingan diri (dan kelompok) aktor-aktor utamanya.
Karena berbasis kepentingan, maka akal jenis ini selalu memproduksi pengetahuan yang cenderung menyuburkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Tak mengherankan apabila yang kemudian muncul sebagai warna utama peradaban adalah paranoia. Situasi yang pada gilirannya, bisa diduga, dengan gampang akan menyulut agresivitas.
Atau, kalau memakai terminologi Islam, ini adalah jenis bangunan peradaban yang dioperasionalkan oleh akal jahil. Jahil bukan karena tidak berpengetahuan, melainkan karena pengetahuannya berbasis kepentingan.
Jangan lupa, istilah jahil memang mencakup pengertian 'ketidakmampuan mengendalikan diri'. Itu kondisi yang membuat orang gampang meledak dan melakukan tindakan--yang bisa sangat tak terduga--untuk memaksakan kebenarannya sendiri.
Nah, kalau kita tengok kenyataan saat ini, dengan sangat terpaksa kita harus mengatakan bahwa apa yang kita bayangkan sebagai puncak capaian peradaban, tampaknya tidak lebih dari sekadar konstruksi akal jahil yang digerakkan oleh--meminjam istilah Joseph E Stiglitz--keserakahan.
Keserakahan yang membuat para aktor utamanya--dengan intensitas dan variasi berbeda--bisa melakukan kekerasan (baik secara fisik maupun wacana) epada siapa saja, kapan saja, di mana saja dan dengan alasan apa saja (yang secara retoris selalu dibuat "indah" dan "benar"), demi mengejar dan mempertahankan tujuan-tujuannya sendiri.
Para aktor utama yang bisa menentukan hitam-putihnya peradaban, penjahat-pahlawannya sekelompok orang, benar-salahnya nilai yang diperjuangkan, tepat-kelirunya sistem yang diterapkan. Sementara mayoritas warga dunia lainnya harus puas sekadar menjadi objek atau paling banter menjadi figurannya.
Warga mayoritas ini bahkan harus cukup puas apabila suaranya dibiarkan menjadi sekadar orkestrasi kegaduhan pengiring pesta para aktor utama. Kegaduhan yang sudah pula diperhitungkan akan lenyap begitu media massa mulai bosan memberitakannya.
Tak mengherankan, meski konon berbasis demokrasi dan HAM, abad ini tak pernah bisa menghindari skala penggunaan kekerasan (sekali lagi, baik di tingkat fisik maupun wacana) yang begitu luas; dengan intensitas luar biasa tinggi, dan dengan jumlah korban yang mengerikan.
Tetapi, akankah dengan demikian kita harus lebih berpihak pada "kekhawatiran para malaikat" ketimbang pada "kepercayaan Allah pada manusia?" Meski sejarah memberi berlimpah fakta betapa kekhawatiran para malaikat bukan tak berdasar, tetapi sejarah juga memberi fakta yang tak kalah berlimpah betapa Allah memang punya rencana-Nya sendiri bagi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar