|
SINDO,
24 Januari 2013
Waktu menjadi mahasiswa, saya
pernah ikut program pendidikan pers kampus dengan pengajar tokoh-tokoh pers
perjuangan. Salah satu favorit saya adalah topik wawancara yang saat itu
diberikan wartawan senior TVRI Toeti Adhitama.
Ketika wartawan-wartawan lain tengah asyik dengan investigative news report yang agak provokatif, Toeti justru memberikan perspektif yang berbeda. Baginya, wawancara ”is a love story”. Ya, love story. Wawancara dilakukan dengan cara empati dan tidak bertendensi mengadili, apalagi sudah berprasangka. Tapi pertanyaannya, masih adakah ruang ”untuk tidak mengadili” di negeri ini? Di mana-mana saya melihat televisi lebih senang mengikuti cara berpikir sendiri. Tampak adanya konflik, adu kuat, bahkan adu pintar. Pewawancara adalah model pencitraan yang dibentuk oleh produser sebagai orang yang berpengetahuan, pandai, tetapi sama sekali tidak netral. Kita pun larut dalam kekuatan personal branding program dan host, sedangkan narasumber berebut kekuatan. Ada kesan kalau ingin sering diundang televisi, narasumber harus kuat dengan retorika, berani mengadili rekan bicaranya, berani tunjuk, ngomong yang seolah-olah faktual, cerdas dengan kemampuan argumentasi tak terkalahkan. Pengamat menjadi tak mau kalah kuat dari ahli hukum dan politisi yang sangat berani ”berkelahi” dan genit di depan kamera. Tak ada lagi ”love story” di sana. Yang ada adalah saling mem-bully. Kata musisi Iwan Fals, ”Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap ada keadilan.” Seperti itulah yang terjadi. Kita pun senang melihat tokoh-tokoh publik diadili, di-bully karena setahu kita pengadilan tidak bekerja, politik tak punya perhatian kepada kita, kejujuran telah sirna. ”Love story” itu pun lenyap. Media lebih senang menyajikan konflik dan ketegangan, pertempuran antarorang yang bertengkar. Makin kuat bertengkarnya, makin tinggi share dan rating televisi. Yang saya khawatirkan sebenarnya lebih dari ruang televisi, yaitu apa akibatnya terhadap kehidupan kita sehari-hari? Yang saya rasakan bukannya assertiveness yang muncul, melainkan aggressiveness. Resistance to Change Apa bedanya? Jelas keduanya berbeda. Masyarakat demokrasi harus dibayar dengan assertiveness, yaitu manusia-manusia yang mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan jelas, respek pada dirinya sendiri, tetapi tetap respek terhadap orang lain. Respek itu dinyatakan dengan mendengarkan, berempati, dan waktu yang cukup untuk menjelaskan. Adapun aggressiveness sama sekali tidak mengedepankan respek terhadap orang lain. Manusia agresif hanya tertarik dengan self-interest-nya. Ia ingin terlihat pandai, cantik, hebat, kaya, paling tahu, dan seterusnya, tetapi tak peduli orang lain yang dipermalukan atau tidak, tidak punya waktu yang cukup untuk mengungkapkan isi pikirannya dengan jelas. Lantas bisakah ini dibangun dari pertelevisian komersial? Tentu saja sulit. Televisi komersial memiliki cara kerja sendiri yang mengacu pada kepentingannya untuk hidup, yaitu program rating, share, dan seterusnya. Celakanya, semakin sensasional dan semakin kental konfliknya, rating-nya semakin tinggi. Semakin hari semakin banyak orang yang terkubur dalam retorika konflik karena terbukti menjadi semakin terkenal. Dalam dunia hiburan hal senada juga tengah terjadi. Artis saling pukul, saling tampar betulan di depan kamera, saling lapor polisi, mengumbar masalah keluarga dan anak, tes DNA sampai calon-calon artis yang membuka aibnya di depan publik. Di jalan raya, saya sering menyaksikan umpatan-umpatan serius yang semakin mudah diucapkan orang untuk mengutuk orang lain. Di dunia akademis saya semakin sering melihat orang yang mudah berucap hanya dengan fakta sepenggal yang belum tentu ada kebenarannya. Validitas dan reliabilitas yang menjadi acuan dunia ilmiah tak lagi dipegang. Ini adalah modal besar bagi terbentuknya resistensi-resistensi terhadap perubahan. Semakin agresif, semakin resisten dan menolak pembaruan tanpa alasan jelas. Rhoma Irama Nah minggu lalu saya mengambil inisiatif untuk menggali narasumber yang penuh kontroversi. Sejak mewacanakan dirinya menjadi capres, nama Rhoma Irama kembali jadi perbincangan publik. Untuk keperluan program televisi yang saya asuh di TVRI tentu saja saya tidak akan keluar dari title program, yaitu perubahan. Adapun pada sosok Rhoma saya menyaksikan sosok yang merevolusi musik irama Melayu yang dulu hanya menggunakan akustik biasa (gendang, akordion, suling) menjadi musik dengan power listrik yang begitu kuat, bahkan dikawinkan dengan rock yang diterima secara luas. Rhoma tentu sudah tak semuda dulu, usianya sudah 66 tahun. Era dangdut yang dulu ditimpuki batu sudah ia lewati. Dari musik yang dituding ”tahi anjing” oleh kalangan pencinta rock di tahun 1970-an menjadi ”sesuatu”. Dari Wamendikbud Wiendu Nuryanti, saya mendengar dangdut ia daftarkan sebagai warisan kekayaan budaya asli Indonesia tak benda ke UNESCO. Namun bicara tentang Rhoma tentu saja mustahil tak membicarakan tentang wacana pencalonan dirinya sebagai presiden. Ini tentu mustahil. Tapi saya beruntung, program saya disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Publik TVRI yang tak punya kepentingan-kepentingan komersial. Saat itulah ”love story” bisa digunakan. Untuk apa? Untuk menjual Rhoma agar menjadi presiden? Tentu bukan. Untuk meningkatkan nilai jual ke-”raja”-annya? Juga tidak! Lantas? Tentu saja untuk mengedepankan perdamaian. Love story interview bisa digunakan untuk mereduksi salah tafsir, ekstremitas, dan tentu saja konflik-konflik kepentingan. Saya sungguh merasakan nikmatnya hidup tanpa prasangka. Dari mulut sang raja mengalirlah ungkapan hatinya, yang boleh Anda curigai, tetapi dari jarak dekat saya merasakan kejujuran. ”Kalau seorang rasis, dia bukan Islam,” begitu ujarnya. Indonesia perlu menata pribadi-pribadi manusia-manusianya, menata hati, menata karakter dan televisi punya peran yang sangat besar membentuk karakter-karakter bangsa. Kita perlu mengubah manusia-manusia agresif menjadi asertif yang cerdas serta berhati mulia dan itu hanya bisa dilakukan kalau televisi publik kita terus diperbaiki seperti saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar