|
SINDO,
24 Januari 2013
Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) kiranya
menjadi salah satu prosesi elektoral yang cukup menarik perhatian setelah
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta silam. Hal ini karena kedua provinsi
merupakan parameter penilaian penting bagi wilayah lain.
Dalam perspektif struktur geopolitik Indonesia, dapat dikonstatasikan bahwa Jakarta mewakili simbolisme sentral kawasan barat selain sebagai ibu kota negara, sementara Sulsel merepresentasikan kontur politik paling dinamis di kawasan timur. Pilkada Sulsel dalam konteks politik dan keamanan dikategorikan oleh pemerintah pusat sebagai salah satu “zona merah” di antara provinsi lain yang menggelar pillkada, di samping DKI Jakarta. Disebut dengan istilah “zona merah” karena perhelatannya dipandang berpotensi amat rawan dari segi konflik dan gesekan fisik. Namun, faktanya, Pilkada DKI akhirnya usai dengan proyeksi damai dan demokratis. Sementara Pilkada Sulsel pun ketika digelar pada 22 Januari 2012 yang baru lalu, dengan hasil yang sudah tergambarkan melalui hitung cepat (quick count), mendekati prediksi serupa untuk menjadi contoh dengan ending tanpa “perdarahan”. Tulisan ini tidak hendak mengulang atau membahas lagi berbagai hasil analisis yang sudah mencuat dengan beragam perspektif, sebagaimana sudah dibicarakan berbagai media lokal maupun nasional. Penulis ingin meletakkan cara pandang proporsional yang diperlukan untuk menyikapi berbagai pro dan kontra terhadap hasil rilis hitung cepat yang sudah terpublikasi ke publik yang menggambarkan peringkat perolehan suara dan dikaitkan dengan perilaku politik kandidat, khususnya dalam merespons hasil pertarungan yang sudah berbuah kemenangan atau kekalahan. Pertarungan Rasionalitas Pilkada Sulsel memproyeksikan persaingan tiga pasangan calon yang punya reputasi teruji sehingga hal itu membuat tensi politik cukup tinggi, pasangan Ilham Arief Siradjuddin–Aziz Qahar Muzakkar (IA), Syahrul Yasin Limpo– Agus Arifin Nu’mang (Sayang), dan Andi Rudiyanto Asapa– Andi Nawir (GarudaNa). Ketiga pasang kandidat tersebut berbasis kekuatan massa riil yang amat diperhitungkan, selain itu secara individu masing-masing memiliki rekam jejak pengalaman politik memadai serta karakter kepemimpinan yang kuat. Pertarungan ketiganya merupakan suatu pertarungan rasionalitas karena poin kualitas individual ketiga pasang figur tersebut. Selain itu, karena ketiganya diperhadapkan dengan ujian perilaku politik untuk saling menegakkan komitmen pilkada damai dan demokratis tanpa kecurangan dan tanpa diwarnai mobilisasi massa yang potensial destruktif. Tidak kalah penting adalah di akhir pilkada terkait dengan kemampuan dalam bersikap legawa, ikhlas, dan tenang dalam menerima apa pun hasil pilkada. Saling menghormati suara rakyat, siap menang siap kalah. Ketiga pasang kandidat yang bertarung adalah pejabat publik. Tiga calon gubernur (cagub) di antara mereka adalah kepala daerah yang masih sedang menjabat dan sekaligus ketua partai politik tingkat lokal. Mulai dari figur Ilham Arief Siradjuddin (IAS), ia wali kota Makassar yang kini dalam periode kedua dan ketua Partai Demokrat provinsi. Berikutnya Syahrul Yasin Limpo (SYL) adalah gubernur petahana (incumbent) yang juga ketua Partai Golkar. Selanjutnya, Andi Rudiyanto Asapa (ARA) adalah Bupati Sinjai dalam jabatan periode kedua sekarang dan ketua Partai Gerindra. Sementara pasangan cawagubmasing- masing tidak kurang bobot figuritasnya. Mulai figur Azis Qahar Muzakkar (AQM) ia adalah anggota DPD RI dua periode dan ketika terpilih merupakan calon DPD tertinggi suaranya yang lolos dari utusan Sulsel. Lalu, Agus Arifin Nu’mang (AAN) adalah wakil gubernur petahana saat ini dan mantan sekretaris Golkar provinsi serta mantan ketua DPRD Sulsel. Selanjutnya, Andi Nawir (AN) mantan bupati Pinrang dan pimpinan Partai Demokrat Sulsel sebelum posisinya jatuh ke IAS. Di titik berikut, dengan reputasi itu, tidak mengherankan bila pertarungan Pilkada Sulsel memiliki dinamika tinggi. Suasana cukup memanas karena terjadi saling serang antarkandidat, terutama dalam soal korupsi. Secara ekstrem dengan iklan besar melalui media, berlangsung saling sindir, saling kritik dan memojokkan. Bahkan hingga saat pemungutan suara terbitan media masih dihiasi saling sindir antarketiga kandidat. Hasil Pilkada Sulsel, muara pertarungan ketiga pasang kandidat, akhirnya tiba di titik puncak. Pemungutan suara pun berlangsung, sementara KPU melaporkan perkembangan angka perolehan suara resmi. Sementara di sisi lain hasil rilis hitung cepat sejumlah lembaga survei sudah memberikan laporannya. Setidaknya enam lembaga survei merilis hasil perhitungan cepat,yaitu Indo Barometer, Lingkaran Survei Indonesia (LSI),Jaringan Suara Nasional (JSN), Celebes Research Center (CRC), Adyaksa Supporting House (ASH), dan Citra Publik Indonesia (CPI). Hasil hitung cepat mereka menarik diamati dan dianalisis temuannya karena keenam lembaga survei tersebut ternyata tidak jauh berbeda dalam menemukan fakta lapangan, khususnya dalam angka akumulatif. Rentang perbedaan angka dari hasil hitung cepat keenam lembaga survei tersebut hampir mendekati serupa.Temuan itu seolah hendak mengukuhkan kembali kehebatan lembaga survei dalam memprediksi pemenang pilkada dengan margin of error umumnya tidak lebih 1%. Beberapa contoh hasil hitung cepat menjelaskan peringkat sebagai berikut: CRC (IA 41,41%, Sayang 53,05%, Garuda-Na 5,54%), versi JSI (IA 41,41%, Sayang 53,05%, GarudaNa 5,54%), versi Indo Barometer (IA 39,86%, Sayang 54,28%, GarudaNa 5,86%). Ketiga contoh hasil hitung cepat ini hampir serupa dengan temuan ketiga lembaga survei lainnya. Hasil hitung cepat semua lembaga survei itu serupa menunjukkan rentang skala yang mencerminkan sekaligus adanya persaingan yang lebih ketat, terutama hanya di antara pasangan kandidat Sayang dan IA.Namun, rentang perbedaan perolehan suara keduanya juga memberi arti jelas karena porsinya cukup lebar lebih dari 10% di mana pasangan Sayang memperoleh angka lebih tinggi daripada IA. Tidak hanya jarak angka rentang 10% mengukuhkan pautan jauh yang tergambar, tetapi juga semua hasil hitung cepat merilis dari rentang tersebut, pasangan Sayang meraih suara di atas 50%, sedangkan di sisi lain IA sekitar 40% lebih. Dengan gambaran itu, pemenang Pilkada Sulsel adalah pasangan Sayang menurut versi hitung cepat. Kini tersisa persoalan krusial karena pasangan IA belum mau mengakui hasil suara versi hitung cepat. Jika keadaannya dibandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta, ketika itu Fauzi Bowo (Foke) sudah menelepon Jokowi mengucapkan selamat meski hitung manual (real count) KPUD bahkan baru mulai berjalan dan belum selesai. Pasangan IA bisa dipahami karena posisinya melihat hasil KPUD dan menganggapnya sebagai hasil resmi. Menarik untuk membandingkan keberhasilan dan kegagalan hasil hitung cepat. Sejauh ini umumnya tidak pernah meleset jauh dari hasil akhir hitungan manual KPUD dalam berbagai kasus pilkada. Kecuali jika rentang perbedaan antara angka perolehan suara kandidat sangat tipis sebagaimana kasus yang pernah terjadi dalam Pilkada Jawa Timur. Merujuk kasus Pilkada Jawa Timur, Pilkada Sulsel menunjukkan kontras di mana perbedaan angka cukup jauh dalam perolehan suara antara pasangan Sayang dan IA. Logikanya, semakin lebar perbedaan angka suara kandidat semakin mendekati kemungkinan berbanding lurus hitung manual yang sedang berjalan. Semakin tipis perbedaan itu, semakin sulit dipastikan konsistensi hitung cepat tersebut berbanding lurus hasil hitung manual KPU. Karena itu, prediksi yang tinggi dalam kasus Pilkada Sulsel adalah hasil hitung cepat tidak akan meleset jauh dari hasil rekap KPUD nanti. Kontestasi Personalitas? Perkembangan Pilkada Sulsel kini masih menyisakan pertanyaan mengenai gambaran suasana hubungan kandidat di terminal akhir. Sebagaimana perhelatan pilkada yang beradab, tentu publik mengharapkan alur happy ending. Artinya, jalan demokrasi telah memberikan keputusan, pemimpin dipilih berdasarkan “pengadilan rakyat”. Berbeda sistem pemilihan pemimpin lewat jalur monarki yang bersifat warisan dan berbeda dengan pola oligarki kekuasaan dengan kewenangan penentuan suksesi berada di tangan segelintir orang yang akan memutuskan kolektif. Dalam demokrasi, “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox dei). Pasangan IA, Sayang, dan GarudaNa telah memobilisasi berbagai potensi sumber daya yang dimiliki, tetapi hasil akhir pilkada hanya memilih satu pasangan yang paling unggul dalam perolehan suara. Kontestasi Pilkada Sulsel telah memenangkan mereka atas keberhasilan memberikan pendidikan politik amat berharga, yaitu bahwa demokrasi tidak perlu disertai kontraksi gesekan fisik sembari berbagai masalah hukum yang menodai proses pilkada tetap bisa berjalan sesuai jalurnya,untuk meletakkan penghargaan atas keadilan politik. Sementara di sisi lain ketiga pasang kandidat juga dapat meletakkan posisi mereka pada saat yang sama untuk kembali pada sosok awal secara terhormat mengingat pertarungan mereka dalam kontestasi pilkada lebih merupakan pertarungan rasionalitas daripada kontestasi sentimental personalitas. Pemenang pilkada yang sejatinya adalah rakyat, siapa pun yang terpilih sebagai gubernur Sulsel periode 2013–2018. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar