Jumat, 25 Januari 2013

Banjir Jakarta bukan Bencana Alam An Sich


Banjir Jakarta bukan Bencana Alam An Sich
Deni Bram ;  Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Pancasila,
Kandidat Doktor Hukum Lingkungan UI
MEDIA INDONESIA, 25 Januari 2013



SAAT menyaksikan besarnya banjir yang melanda Jakarta pekan lalu, penulis teringat kembali pepatah lama dari suku Indian kuno, yakni saat pohon terakhir ditebang, saat sungai terakhir mengering, saat itulah kita baru akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan. Jakarta kembali merasakan dahsyatnya alam saat umat manusia terlalu zalim memperlakukannya.

Bukan hanya kali ini, melainkan beberapa kali etalase cantik Jakarta dapat diporakporandakan saat variabel lingkungan hidup tidak masuk pertimbangan perumusan kebijakan. Dalam perspektif etika politik pergaulan alam dan manusia, paling tidak terdapat tiga pola yang terhubung di antara keduanya; yaitu pola berbasis manusia atau yang dikenal dengan antroposentrisme, pola berbasis pada makhluk hidup atau yang dikenal dengan biosentrisme, dan terakhir pola yang berbasis dengan lingkungan atau yang dikenal dengan ekologisme.

Ketiga pendekatan itu mendudukkan manusia dalam konteks yang berbeda pula, mulai pemahaman manusia hidup untuk alam hingga alam hadir untuk kehidupan manusia.

Peran Pemda

Banyak pihak mencoba un tuk mengatakan banjir Jakarta pekan lalu merupakan hasil bencana alam. Padahal jika ingin dirunut, hal tersebut hadir karena momentum rusaknya ekosistem akibat tangan­tangan manusia dan faktor alam dalam hal intensitas hujan yang begitu besar. Solusi yang ditawarkan untuk dapat menyelesaikan banjir memang harus komprehensif dan menyentuh secara utuh dari hulu sampai dengan hilir.

Berbagai instrumen harus digunakan secara optimal termasuk jenis aturan dan subjek yang hendak dituju. UU Penataan Ruang sudah memberikan alas normatif untuk menghukum pidana bagi pejabat yang memberikan izin tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal itu tentu dapat digunakan dalam penegakan hukum pemberian izin bagi pemilik vila besar di kawasan Puncak, Jawa Barat, yang dapat diperkirakan mandul dengan instrumen ganti rugi semata. Selain itu, pemahaman secara utuh patut pula dilakukan lintas daerah dengan mengusung pendekatan ecoregion (ecological region) sehingga dapat memberikan solusi yang tidak parsial dan terbatas pada egoisme daerah masing­masing dan hanya meraup keuntungan Jakarta saat jaya semata dan meninggalkan saat peluh.

Berlandaskan model seperti itu, penegakan aturan guna menghadirkan kondisi lingkungan dan pemanfaatan alam secara lebih asri dapat dilakukan pendekatan dari berbagai sudut.

Berbagai opsi yang ditawarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam relokasi warga masyarakat dapat dikatakan mandul dan tidak berhasil guna. Penulis yang telah tinggal seumur hidup (28 tahun) di kawasan Kampung Melayu hanya melihat tawaran yang diberikan dari rezim sebelumnya hingga kini gagal karena tidak mampu bertindak tegas dan mengambil langkah progresif.

Berbagai sarana yang hadir seperti rumah susun hingga dana penggantian menyentuh lingkungan fisik semata, tetapi tidak akan menghadirkan lingkungan sosial budaya yang telah terbentuk puluhan tahun di suatu kawasan tertentu.

Aksesibilitas dari masyarakat sekitar ke kegiatan usaha hingga sekolah hendaknya masuk perumusan kebijakan saat ini guna hadirnya solusi yang utuh lahir batin.
Era kepemimpinan Pak Jokowi saat ini sesungguhnya punya nilai tambah yang tepat. Saat ini masyarakat secara mayoritas memberikan dukungan besar dalam bentuk kepercayaan dan keberpihakan pada pilihan­pilihan keputusan yang akan diambil.

Jangan Jangka Pendek

Jakarta secara keseluruhan, baik pemimpin, masyarakat DKI Jakarta, maupun pemangku kepentingan lainnya, termasuk warga yang memengaruhi harusnya berubah mindset dan landasan berpikir dari keunggulan secara kuantitas menjadi kelestarian kualitas. Wacana pemindahan ibu kota tidak lain hanya dapat memberikan jawaban terhadap dampak dan tidak menyentuh sumber penyebab yang ada di Jakarta.

Kondisi sepekan yang lalu hendaknya menjadi momentum perubahan guna menghasilkan kebijakan-­kebijakan yang tidak hanya pro terhadap manusia, tetapi juga pro terhadap kelestarian hubungan antara manusia dan alam itu sendiri.

Mari kita warisi kondisi lingkungan yang lebih baik untuk anak cucu kita secara lebih adil dan tidak hanya mengulang dengan mitos banjir lima tahunan sehingga bencana yang dianggap ulah alam ini terus berulang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar