|
DRAMA politik mengenai pagu
utang di Amerika Serikat berakhir sementara. Dampaknya, rupiah menguat dan
indeks bursa menggeliat sehingga keketatan likuiditas sedikit mengendur. Akhir
minggu lalu, kurs tengah Bank Indonesia berada pada Rp 11.300, sementara Indeks
Harga Saham Gabungan naik di atas 4.500. Kelegaan itu tak akan lama karena pagu
utang hanya sampai 15 Februari 2014. Mulai Desember ini, negosiasi alot dimulai
lagi. Selain itu, pada 28-29 Oktober ada rapat Federal Open Market Committee untuk menentukan kelanjutan program
stimulus ekonomi.
Dinamika global begitu
menantang. Sementara dinamika domestik sebenarnya tak kalah berat. Jika
perekonomian global tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya, perekonomian
domestik ada dalam lingkaran pengaruh kita. Krisis listrik di Sumatera Utara
dan Riau baru-baru ini sungguh ironis. Bagaimana mungkin kita bisa menghadapi
dinamika global tatkala persoalan domestik begitu karut- marut. Kita masih
ingat beberapa gubernur Kalimantan pernah melayangkan protes ke Jakarta dengan
gugatan pokok; bagaimana mungkin Kalimantan sebagai penghasil energi justru
krisis energi?
Ada dua dimensi persoalan.
Pertama soal ketersediaan energi bagi industri dan kedua soal ketimpangan
antardaerah. Dua-duanya menghambat produktivitas dan daya saing perekonomian
domestik. Baru-baru ini Harvard Kennedy School Indonesia Program merilis buku
berjudul The Sum is Greater than the
Parts. Perekonomian Indonesia mempunyai dua agenda besar, merekatkan diri
pada mata rantai global dan melakukan konsolidasi dengan daerah. Globalisasi
tanpa konsolidasi akan melahirkan fragmentasi. Boleh jadi Riau dan Medan lebih
suka berinteraksi dengan Kuala Lumpur, sementara Aceh dan Batam merasa lebih
dekat dengan Singapura.
Jika dibiarkan, perekonomian
kita akan tertekan dari dua sisi, termarjinalisasi dari ekonomi global serta
mengalami fragmentasi di dalam negeri. Dokumen Rencana Induk Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang membagi pembangunan menjadi enam
koridor sangat bagus di atas kertas, tetapi implementasinya jauh dari harapan.
Kita terbiasa tak tuntas mengerjakan pekerjaan rumah. Akibatnya, ketika ujian
datang, kita merasa kerepotan.
Ketika bank sentral AS, The Fed,
mewacanakan pengurangan program stimulus (tapering
off) beberapa waktu lalu, rupiah terdepresiasi hingga 20 persen dan IHSG
melorot mencapai titik terendah di level 3.900. Padahal, pada bulan April,
indeks bursa sempat menyentuh 5.200. Pada waktu itu, Indonesia adalah ”darling”
para investor dan likuiditas tersedia begitu melimpah.
Pada awal tahun ini, Presiden
menjadi pembicara kunci pada peluncuran laporan McKinsey Global Institute yang
memproyeksikan perekonomian Indonesia sebagai kekuatan ketujuh dunia tahun
2030. Belum juga berumur setahun laporan itu, situasinya berubah drastis.
Baru-baru ini, Morgan Stanley menyebut rupiah sebagai salah satu dari lima mata
uang yang terdepresiasi paling parah (fragile
five). Mengapa ekstrem?
Ekstremnya reaksi investor
terkait dengan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang cukup dalam.
Defisit perdagangan Juli mencapai 2,3 miliar dollar AS, sementara defisit
transaksi berjalan triwulan II tahun ini menjadi rekor, 9,8 miliar dollar AS.
Memang pada Agustus lalu neraca perdagangan surplus 132,4 juta dollar AS.
Namun, surplus lebih diakibatkan pelambatan impor secara signifikan -5,7
persen. Padahal, impor Juli masih melaju 6,5 persen.
Menyembuhkan defisit neraca
perdagangan dengan cara mengurangi impor akan membuat perekonomian kita
melemah. Investasi dan permintaan domestik turun sehingga pertumbuhan ekonomi
juga terkoreksi. Tahun ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,6 persen dan
tahun depan sedikit membaik, 5,8 persen. Bahkan, Bank Dunia hanya berani
menaksir 5,3 persen untuk tahun 2014. Argumennya, segala kebijakan yang
diterapkan pemerintah dan BI dalam rangka mengatasi gejolak perekonomian
menimbulkan efek samping pelambatan ekonomi di tahun depan.
Idealnya, mengatasi defisit
perdagangan dengan cara mendorong ekspor. Syaratnya, secara konsisten
memperbaiki produktivitas dan daya saing dengan cara meningkatkan pasokan
infrastruktur, termasuk energi. Bagaimana mungkin kita bersaing jika persoalan
listrik saja tak teratasi dengan baik. Lebih ironis lagi, persoalan listrik
sebenarnya telah menyedot subsidi cukup besar.
Tahun 2004, subsidi listrik
sekitar Rp 3,4 triliun, naik menjadi Rp 46 triliun tahun 2009 dan tahun 2013
menjadi Rp 80 triliun. Subsidi yang tidak maksimal menimbulkan dampak negatif
berganda pada perekonomian. Pertama, kenaikan subsidi akan menutup peluang
anggaran membiayai hal lain. Kedua, subsidi mengerdilkan produktivitas sehingga
menurunkan daya saing.
Krisis energi bisa menjadi
simtom terjadinya krisis daya saing yang menimbulkan komplikasi pada
perekonomian domestik dalam menghadapi dinamika global. Pemerintah dan otoritas
moneter seakan hanya memiliki pilihan kebijakan sangat terbatas menghadapi
gejolak perekonomian, seperti menaikkan BI Rate, memperlambat kredit, dan
menaikkan pajak.
Padahal, inti persoalannya
terletak pada produktivitas dan daya saing yang begitu rapuh. Kita terlalu lama
tak menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik, seperti menyediakan daya listrik
sampai ke daerah, sehingga selalu takut menghadapi ujian. Semoga ujian pada
perekonomian kita kali ini tidak begitu berat sehingga meski kemampuan pas-pasan,
kita tetap bisa lulus dengan baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar