|
BARANGKALI kita merasa wajar, bahkan bisa memiliki perasaan
yang sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat tokoh nomor satu di
Republik ini menyatakan penyesalan yang sangat dalam pada peristiwa tertangkap
basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, beberapa hari lalu.
Tentu saja ini kisah yang tragis. Sangat tragis mengingat
kejadian serupa sangat langka dalam sejarah bangsa-bangsa mana pun di dunia.
Seorang yang memiliki kuasa begitu tingginya, nomor 9 (setelah Presiden dan
lembaga-lembaga tinggi negara lainnya), ternyata mengalami semacam— jika tidak
gangguan—kerapuhan mental atau jiwa seperti itu. Apa yang terjadi dengan mereka
yang selama ini bergaul dengannya berpuluh tahun sehingga tak bisa menduganya.
Butakah mata fisik dan batinnya? Apa yang terjadi pada sistem perekrutan
pejabat-pejabat publik kita? Apa yang terjadi pada lembaga-lembaga yang
diagungkan sebagai institusi suci demokrasi kita?
Tentu saja jawaban kita bisa jadi sama: ada yang keliru dan
rusak dalam semua hal di atas. Apa dan bagaimana, silakan para ahli
menjawabnya. Yang jelas, kerusakan dan kekeliruan yang meresap dalam
lembaga-lembaga yang kita percaya sebagai sebuah prakondisi bagi terciptanya
negara yang sehat dan makmur itu membuat kita merasa sedih, marah, dan
menyesal. Sama seperti Presiden SBY.
Namun, saya kira SBY dan kita bersama tidak perlu menyesal,
apalagi begitu dalamnya. Sebaliknya, kita harus merasa gembira, bahkan memiliki
harapan lebih tinggi untuk masa depan, karena buat apa kita menyesali Akil
Mochtar? Buat apa menyesali MK? Kita justru senang karena kedua entitas itu
membuktikan pada sejarah: upaya pemberantasan korupsi mulai kian menunjukkan
hasil. Membuktikan bahwa kerja lembaga seperti KPK memang ampuh, solid, dan
independen. Membuktikan, sebenarnya, pemerintahan SBY punya andil untuk sukses
itu.
Sukses itu membongkar borok bahkan penyakit dalam di tubuh
negeri kita sampai ke akar-akar terkuatnya di kalangan elite, di kalangan yang
selama ini kita anggap untouchables dan in-poena alias
(memiliki) impunitas. Memang soal korupsi agak berbeda dengan struktur piramida
biasa. Ia, sebagaimana adat yang paternalistik, berakar kuat di atas.
Pemberantasannya memang harus dari pucuk-pucuk paling atas sehingga dengan
sendirinya terjadi perubahan mendasar di bagian-bagian bawahnya.
Jadi, sepantasnya, kaum Muslim, misalnya, mengucap syukur dan
berdoa, berupaya agar satu per satu akar terjungkit itu terbongkar dan lepas
satu per satu. Dengan demikian, Republik yang jungkir balik ini bisa kembali
pada kodrat alamiahnya: tegak berdiri di atas akar yang tertanam kuat di bumi,
di keluhuran tradisi dan Ibu Pertiwi, di atas nilai-nilai ideal yang
susah-perih-payah diwariskan kepada para pendahulu kita.
Jelata yang berdaya
Dengan peristiwa itu, dengan kesadaran yang lebih tinggi dan
harapan yang lebih besar, kita pun bersama bisa membaca, mengoreksi, dan
mengonstitusi realitas dari ke-(ber)-ada-(an) negara dan negeri ini. Saya harus
memisahkan pengertian dua terma di atas, yang selama ini agak rancu pemahaman
dan pemakaiannya. Yang pertama mengacu pada pengertian tentang kekuatan
(politik, hukum, atau ekonomi) pemerintahan, yang merasa memiliki hak dan
kewajiban untuk mengatur atau mengelola sebuah wilayah beserta penduduknya.
Dalam pengertian denotatif, negara adalah ”organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat” sebagaimana
tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dalam kitab yang sama, kita menemukan pengertian ”negeri”
sebagai ”tanah tempat tinggal suatu bangsa, 2) kampung halaman; tempat
kelahiran”. Amerika Serikat adalah sebuah negeri, sedangkan negara ada di
beberapa bagian wilayahnya. Korea Selatan adalah negara, tetapi negeri adalah
keseluruhan bangsa yang ada di semenanjung itu. Indonesia adalah negara
kesatuan yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala pemerintahan, dan negeri
adalah sebuah kesatuan wilayah dan bangsa yang dipimpin oleh seorang kepala
negara (sic!) yang semestinya diubah menjadi kepala negeri.
Negara boleh berganti wujud, sifat, dan gaya atau
ideologinya. Pemerintahan bahkan boleh tak ada. Akan tetapi, negeri (harus dan
bisa) terus berlangsung selama bangsa yang menghuni dan memilikinya tetap
solid. Inilah pokok utama kita sampai hari ini: kita ribut dengan persoalan
pemerintahan dan negara (yang terus bermetamorfosis menuruti angin global yang
bertiup), tetapi lupa pada keberadaan dan kesehatan negeri dan bangsanya.
Karena di dua entitas terakhir itulah ada tidaknya Indonesia ditentukan: dulu,
kini, dan nanti.
Akil Mochtar, tersangka korupsi terelite itu, adalah sebuah
pertanda bagi keropos dan rapuhnya sebuah negara, lebih khusus lagi pemerintah
yang dipercaya—dan difasilitasi—rakyat untuk mengelola semua potensi negeri
demi kejayaan bangsa. Tak perlu disesali, tetapi lebih baik disadari bahwa
realitas busuk dan involutif itu kini menjadi bagian dari diri kita, nasib, dan
masa depan anak-anak bangsa kita. Nyatalah sekarang, sebenarnya, justru elite-
lah, kaum politik yang selama ini berebut kekuasaan dan kursi-kursi utama dalam
jabatan publik, ternyata menjadi sebab utama kebobrokan dan destruksi
multidimensi dari negeri dan bangsa ini.
Negeri dan bangsa hanya menjadi ternak atau sari madu yang
terus diisap dan dieksploitasi oleh keserakahan sistem yang dijalankan
pemerintah dan disetujui negara (dengan embel-embel apa pun ini). Tingkat
keserakahan dan eksploitasi, yang diumpak dan diberi siasat oleh kepentingan
asing dan kompradornya tersebut, begitu luar biasa destruktifnya sehingga
mestinya ia sudah menciptakan kerusakan akut bagi Tanah Air ini. Seperti juga
banyak terjadi di belahan dunia lainnya, baik di Utara, Selatan, Timur, maupun
Barat sendiri.
Inilah kenyataan yang terbukti bahwa negeri ini masih
bertahan, tidak terbalkanisasi atau termusimsemikan. Ini tak lain karena berkat
peran para penghuni dan pemilik negeri ini sesungguhnya adalah kaum menengah
bawah dan rakyat jelata yang terus bergeliat dan bergerak menyatukan diri,
menciptakan sinergi daya tahan hidup (survivality)-nya
yang teruji selama lebih dari lima milenia. Di sinilah fakta yang sangat
terlambat disadari, apalagi ditindaklanjuti, bagaimana misalnya ekonomi negeri
diselamatkan oleh usaha kecil menengah (UKM), suatu upaya mandiri dari rakyat
semesta yang tidak tersentuh tangan negara/pemerintah, yang terus berdaya tanpa
peduli ada atau tidaknya negara (pemerintah).
Destruksi pada negeri
Mungkin saat ini kita semua, sebagaimana kita lihat dalam
kolom dan rubrik-rubrik media massa, terlibat dalam usaha mengkritisi,
mengoreksi, atau membenahi segala hal yang pragmatis dilakukan pemerintah. Ide
dan usulan dikeluarkan, yang sayangnya masih berkutat dengan cara berpikir yang
sama, paradigma dan dasar epistemologis yang sama: kontinental! Segala upaya yang
saya kira akan menemukan jalan akhirnya yang penuh sesal: jika tidak buntu, ia
sia-sia. Bagaimana hal itu terjadi memang membutuhkan uraian di kertas yang
berbeda.
Namun, di sini kita fokus pada tidak hanya dampak, tetapi
juga penyingkapan realitas yang nyata dari keadaan kita saat ini. Realitas yang
barangkali pantas diberi air mata karena demikian rapuhnya kesejatian negara
dan pemerintahan kita. Hal yang sebenarnya masih bukan persoalan yang kritis
dan menggiriskan ketimbang remuk dan rapuhnya soliditas bangsa dan keutuhan
negeri ini.
Terbongkarnya kasus sangat memalukan dari RI-9 di atas adalah
kabar yang bukan hanya mendorong kita untuk bersama-sama memperbaiki atau
mengubah orientasi negara dan pemerintah kita, secara sistemik, sekurangnya,
untuk menghindari kegagalan total kita dalam berkebudayaan dan menciptakan
peradaban. Namun, juga ia adalah peringatan yang sangat keras karena hal di
atas sudah menciptakan situasi yang emergensial, yang darurat, bagi kenyataan
dan keberadaan kita (Indonesia) sebagai sebuah negeri, sebuah bangsa.
Apa yang perlu dibaca dari peristiwa mutakhir itu adalah
realitas manusia dan kemanusiaan kita yang entah hingga seberapa dalam mengalami
kerusakan mental/jiwanya. Adakah virus ”AM” mendekam atau bersembunyi dalam
diri kita masing-masing? Adakah kita, karena virus itu, telah menzalimi diri
sedemikian rupa sehingga kita tidak hanya mengkhianati martabat atau kehormatan
kita sendiri, tetapi juga keluarga, komunitas di mana kita lahir dan
dibesarkan, negeri yang kita banggakan, bahkan Dia yang kita puja dan sembah
tiap hari dalam kata-kata?
Apakah kita masih bisa bertahan dari provokasi dan semacam
legitimasi kedegilan kaum elite yang selama ini kita jadikan anutan dan acuan?
Apakah kita masih mampu menangkal dampak-dampak negatif kultur global yang
penetrasinya menggila hingga ke iklan atau gadget sederhana yang beroperasi, bahkan dalam kesendirian
kita? Adakah kita merasa nyaman dan mampu mempertahankan survivalitas kita
ketika pemerintah justru mendorong kapital-kapital besar menggeser dan
menggusur UKM yang menjadi tumpuan hidup istri dan anak kita?
Semua hal itu jika tidak kita sadari bersama, di tengah alpa,
dusta, serta keserakahan politik dan ekonomi elite kita, akan—walau
perlahan—menggerus daya tahan primordial yang kita miliki, sehebat apa pun itu,
selama apa pun waktu dulu pernah sukses mempertahankannya. Jika gerusan itu
terjadi kian kuat, longsor, banjir, dan tsunami kebudayaan adalah bom waktu
yang ledakannya nanti bukan hanya meratakan bangunan negara dan pemerintahan,
melainkan juga mencerai-berai serta melarungkan bangsa dan negeri ini ke
samudra zaman yang tiada tepi.
Siapa yang kita pilih, kita percaya, dan kita beri fasilitas
untuk mengatasi itu semua, tentu saja adalah pihak yang paling bertanggung
jawab. Namun mungkin mereka akan gagal karena borok dan bobrok akut yang
dialaminya. Hanya, terserah negara mau dibawa ke mana pun oleh pemerintah yang
khianat pada rakyat dan konstitusinya, negeri dan bangsa yang kita miliki ini
harus tetap ada dan bergerak maju ke arah yang ditunjuk oleh visi dan imajinasi
kita bersama. Kepada merekalah, rakyat semesta, selaiknya kejujuran, pengabdian
juga pengorbanan harus kita berikan jika darurat ini ingin segera kita atasi. Dengarkah, wahai Tuan-tuan Besar?
Terdengarkah suara ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar