|
BEGITU bangun pagi, sambil nongkrong di toilet, kita
sudah diserbu berita-berita yang kebanyakan kabar buruk. Tragedi-tragedi yang
terjadi ketika kita tidur dilaporkan aneka situs berita di gadget. Ada mobil
tabrakan, penemuan mayat, pejabat ditangkap KPK, perkelahian aparat, penusukan
oleh orang mabuk, dan aneka tragedi yang lain. Kita terus menelusuri informasi
dengan menggunakan jemari, atau jempol kita.
Sepanjang hari, lewat berbagai media, kita juga disuguhi lebih banyak kegaduhan hidup. Radio menceritakan kemacetan dan tabrakan. Televisi terus mengulas keculasan di dunia politik dan hukum. Koran juga banyak menulis kisah kehidupan yang membuat makan hati.
Begitulah. Manusia sulit menahan diri dari mengerumuni tragedi orang lain. Kalau kita kadang menemui kemacetan di jalan karena para pengendara memelankan laju kendaraan untuk melihat kecelakaan, itulah sebagian cara kerja media. Media melaporkan peristiwa yang bisa menjadi kerumunan pembaca, pendengar, atau pemirsa.
Bukannya menjadi nyaman setelah menyerap berbagai kisah tragis itu, kita kerap malah menjadi galau dan uring-uringan. Politikus pengkhianatlah. Pejabat curanglah. Bunda Putri mempengaruhi reshuffle-lah. Menteri gak becuslah. Presiden lebay-lah. Pemerintah autopilot-lah. Otonomi daerah gagallah. Wartawan alihkan isulah. Alangkah gampang menemukan omelan seperti itu.
Tapi, apakah kondisi tersebut menjadikan kita tidak berbahagia? Ternyata, tidak! Bahkan, bangsa Indonesia termasuk bangsa yang paling pesat peningkatan kebahagiaannya. Itu tecermin dari rilis World Happiness Report 2013 pada September lalu. Laporan Kebahagiaan Dunia itu berisi pakar independen yang peduli dengan kebahagiaan manusia dan disponsori PBB.
Ranking kebahagiaan Indonesia memang berada di posisi tengah di antara negara terbahagia Denmark (skor 7,693) dan negara paling tidak bahagia Togo (2,936). Posisi kita di urutan ke-76 dengan skor 5,348. Kita lebih bahagia jika dibandingkan dengan Tiongkok yang berada di urutan ke-93 (4,978).
Untuk kawasan ASEAN, kita kalah bahagia dengan Singapura (urutan ke-30/6,546), Thailand (36/6,371), dan Malaysia (ke-56/5,760). Tapi, Indonesia menang jika dibandingkan dengan Filipina (ke-92/4,985), Laos (ke-109/4,787), Myanmar (ke-121/4,439), dan Kamboja (ke-140/4,067).
Ranking kebahagiaan Indonesia memang tidak setinggi Singapura atau Malaysia. Bahkan, lebih rendah ketimbang rata-rata skor kebahagiaan Asia Tenggara 5,430. Tetapi, kita sudah di atas garis kebahagiaan rata-rata dunia yang 5,158.
Dan ini yang penting: kita punya tren semakin bahagia. Diukur dari posisi 2005-2007 jika dibandingkan dengan 2010-2012, ada peningkatan skor lumayan, yakni 0,329. Peningkatan kita lebih tinggi ketimbang Tiongkok (+0,257), Kamboja (+0,205), Vietnam (+0,173), dan Filipina (+0,131).
Sedangkan Malaysia dan Singapura justru kian tidak bahagia. Kebahagiaan Malaysia turun cukup tinggi, 0,377 persen. Peningkatan kebahagiaan orang Indonesia kalah cepat jika dibandingkan dengan kemerosotan kebahagiaan di Malaysia. Singapura juga kian tidak berbahagia meski minusnya kecil, 0,094. Tetangga kita yang lain kian merasa tidak bahagia, yakni Laos (-0,432) dan Myanmar (-0,883).
Mengapa negara yang lebih kaya ketimbang Indonesia, terutama Malaysia dan Singapura, lebih tidak berbahagia dari tahun ke tahun? Kekayaan (pendapatan per kapita) memang hanya salah satu indikator dari kebahagiaan. Lainnya, harapan hidup (life expectancy), persepsi korupsi (perception of corruption), tingkat reaksi negatif (negative affect), dukungan sosial (social support), reaksi positif (positive affect), dan semangat beramal (donation).
Kalau dari sisi itu semua, rasanya Singapura dan Malaysia lebih unggul jika dibandingkan dengan Indonesia. Namun, ada hal yang mereka tidak punya. Yakni, kebebasan membuat pilihan hidup (freedom to make life choices). Intinya, suasana demokratis ternyata menambah kebahagiaan. Meskipun galau dengan aneka tingkah polah manusia yang banyak di antaranya negatif, ketidakbebasan lebih tidak menarik.
Suasana di jiran kita memang belum sepenuhnya bebas (partly free). Kadang pemerintah merasa negara itu miliknya. Mendagri Malaysia Datuk Seri Ahmad Zahid Hamid pernah mengatakan: bila rakyat tidak berbahagia dengan sistem politik Malaysia, silakan pindah ke luar negeri. Kalau di Indonesia, hanya pejabat yang ''tak bahagia'' yang berani bilang seperti itu.
Namun, kebebasan tidak selalu membuat happy. Kebahagiaan bangsa Mesir (ke-130/4,273) merosot paling tajam, yakni 1,153. Setelah musim semi Arab menjadi musim rontok, orang di sana ragu kepada demokrasi dan siapa tahu mulai bergumam (dalam bahasa Arab, tentunya), ''Enak zaman Mbah Hosni Mubarak to''.
Untunglah, Indonesia semakin bahagia dalam demokrasi gaduh ini. Meski kita sulit menahan diri untuk tidak ngomel (negative affect), usahakan bersyukur (positive affect). Ditambah melawan kemungkaran dan beramal (donation), kita bisa semakin bahagia.
Kalau memang masih juga sulit merasa bahagia, kelak kita mungkin mengenangnya berbeda. Siapa tahu pada 2040 di bak-bak truk ada gambar wajah SBY (didampingi Bunda Ani) tersenyum disertai tulisan, ''Masih happy saat zaman saya, right?'' ●
Sepanjang hari, lewat berbagai media, kita juga disuguhi lebih banyak kegaduhan hidup. Radio menceritakan kemacetan dan tabrakan. Televisi terus mengulas keculasan di dunia politik dan hukum. Koran juga banyak menulis kisah kehidupan yang membuat makan hati.
Begitulah. Manusia sulit menahan diri dari mengerumuni tragedi orang lain. Kalau kita kadang menemui kemacetan di jalan karena para pengendara memelankan laju kendaraan untuk melihat kecelakaan, itulah sebagian cara kerja media. Media melaporkan peristiwa yang bisa menjadi kerumunan pembaca, pendengar, atau pemirsa.
Bukannya menjadi nyaman setelah menyerap berbagai kisah tragis itu, kita kerap malah menjadi galau dan uring-uringan. Politikus pengkhianatlah. Pejabat curanglah. Bunda Putri mempengaruhi reshuffle-lah. Menteri gak becuslah. Presiden lebay-lah. Pemerintah autopilot-lah. Otonomi daerah gagallah. Wartawan alihkan isulah. Alangkah gampang menemukan omelan seperti itu.
Tapi, apakah kondisi tersebut menjadikan kita tidak berbahagia? Ternyata, tidak! Bahkan, bangsa Indonesia termasuk bangsa yang paling pesat peningkatan kebahagiaannya. Itu tecermin dari rilis World Happiness Report 2013 pada September lalu. Laporan Kebahagiaan Dunia itu berisi pakar independen yang peduli dengan kebahagiaan manusia dan disponsori PBB.
Ranking kebahagiaan Indonesia memang berada di posisi tengah di antara negara terbahagia Denmark (skor 7,693) dan negara paling tidak bahagia Togo (2,936). Posisi kita di urutan ke-76 dengan skor 5,348. Kita lebih bahagia jika dibandingkan dengan Tiongkok yang berada di urutan ke-93 (4,978).
Untuk kawasan ASEAN, kita kalah bahagia dengan Singapura (urutan ke-30/6,546), Thailand (36/6,371), dan Malaysia (ke-56/5,760). Tapi, Indonesia menang jika dibandingkan dengan Filipina (ke-92/4,985), Laos (ke-109/4,787), Myanmar (ke-121/4,439), dan Kamboja (ke-140/4,067).
Ranking kebahagiaan Indonesia memang tidak setinggi Singapura atau Malaysia. Bahkan, lebih rendah ketimbang rata-rata skor kebahagiaan Asia Tenggara 5,430. Tetapi, kita sudah di atas garis kebahagiaan rata-rata dunia yang 5,158.
Dan ini yang penting: kita punya tren semakin bahagia. Diukur dari posisi 2005-2007 jika dibandingkan dengan 2010-2012, ada peningkatan skor lumayan, yakni 0,329. Peningkatan kita lebih tinggi ketimbang Tiongkok (+0,257), Kamboja (+0,205), Vietnam (+0,173), dan Filipina (+0,131).
Sedangkan Malaysia dan Singapura justru kian tidak bahagia. Kebahagiaan Malaysia turun cukup tinggi, 0,377 persen. Peningkatan kebahagiaan orang Indonesia kalah cepat jika dibandingkan dengan kemerosotan kebahagiaan di Malaysia. Singapura juga kian tidak berbahagia meski minusnya kecil, 0,094. Tetangga kita yang lain kian merasa tidak bahagia, yakni Laos (-0,432) dan Myanmar (-0,883).
Mengapa negara yang lebih kaya ketimbang Indonesia, terutama Malaysia dan Singapura, lebih tidak berbahagia dari tahun ke tahun? Kekayaan (pendapatan per kapita) memang hanya salah satu indikator dari kebahagiaan. Lainnya, harapan hidup (life expectancy), persepsi korupsi (perception of corruption), tingkat reaksi negatif (negative affect), dukungan sosial (social support), reaksi positif (positive affect), dan semangat beramal (donation).
Kalau dari sisi itu semua, rasanya Singapura dan Malaysia lebih unggul jika dibandingkan dengan Indonesia. Namun, ada hal yang mereka tidak punya. Yakni, kebebasan membuat pilihan hidup (freedom to make life choices). Intinya, suasana demokratis ternyata menambah kebahagiaan. Meskipun galau dengan aneka tingkah polah manusia yang banyak di antaranya negatif, ketidakbebasan lebih tidak menarik.
Suasana di jiran kita memang belum sepenuhnya bebas (partly free). Kadang pemerintah merasa negara itu miliknya. Mendagri Malaysia Datuk Seri Ahmad Zahid Hamid pernah mengatakan: bila rakyat tidak berbahagia dengan sistem politik Malaysia, silakan pindah ke luar negeri. Kalau di Indonesia, hanya pejabat yang ''tak bahagia'' yang berani bilang seperti itu.
Namun, kebebasan tidak selalu membuat happy. Kebahagiaan bangsa Mesir (ke-130/4,273) merosot paling tajam, yakni 1,153. Setelah musim semi Arab menjadi musim rontok, orang di sana ragu kepada demokrasi dan siapa tahu mulai bergumam (dalam bahasa Arab, tentunya), ''Enak zaman Mbah Hosni Mubarak to''.
Untunglah, Indonesia semakin bahagia dalam demokrasi gaduh ini. Meski kita sulit menahan diri untuk tidak ngomel (negative affect), usahakan bersyukur (positive affect). Ditambah melawan kemungkaran dan beramal (donation), kita bisa semakin bahagia.
Kalau memang masih juga sulit merasa bahagia, kelak kita mungkin mengenangnya berbeda. Siapa tahu pada 2040 di bak-bak truk ada gambar wajah SBY (didampingi Bunda Ani) tersenyum disertai tulisan, ''Masih happy saat zaman saya, right?'' ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar