|
APAKAH institusi pertahanan dan
keamanan kita rawan korupsi? Ya!
Publikasi hasil riset
Transparansi Internasional (TI) tentang indeks risiko korupsi sektor pertahanan
dan keamanan (hankam) yang diluncurkan Januari tahun ini menunjukkan hal itu.
Secara kualitatif indeks ini mengategorikan kerawanan korupsi pada enam tingkat:
sangat rendah (A), rendah (B), moderat (C), tinggi (D), sangat tinggi (E), dan
kritis (F).
Indeks risiko korupsi hankam
kita sangat tinggi (E). Sekelas dengan Afganistan, Bahrain, Pantai Gading,
Iran, Irak, Maroko, Nigeria, Oman, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Sri Lanka,
Tunisia, Uganda, Uzbekistan, Venezuela, dan Zimbabwe. Singapura dan Thailand
(D+). Sementara Malaysia (D-), sekelas lebih baik daripada Indonesia. Australia
dan Jerman paling baik, risiko korupsinya paling rendah. Austria, Norwegia, Korea
Selatan, Swedia, Taiwan, Inggris, dan Amerika masuk kategori risiko rendah (B).
Indeks itu dibangun dari
penilaian lima aspek: risiko politik, risiko keuangan, risiko personel, risiko
operasional, serta risiko pengadaan barang dan jasa. Untuk kepentingan studi
ini, sebanyak 82 negara disurvei. Nilai total belanja militer di 82 negara
tersebut sekitar 84 persen dari total belanja militer dunia, yang pada 2012
sekitar 1,7 triliun dollar AS. TI memperkirakan secara global nilai korupsi di
sektor ini mencapai 20 miliar dollar AS per tahun.
Korupsi di sektor hankam sama
berbahaya dengan korupsi di sektor lain. Selain menghamburkan sumber daya, juga
mengakibatkan penurunan kemampuan institusi hankam dalam menyediakan jasa
keamanan dan pertahanan. Tingginya risiko di sektor hankam sangat membahayakan
keamanan warga dan kedaulatan negara.
Impunitas institusi
Pemberitaan kasus korupsi sangat
mencolok sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beroperasi dan bekerja
efektif. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di ranah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif mewarnai pemberitaan media massa dan menjadi perhatian publik dari
hari ke hari. Termasuk kejadian terkini yang menimpa Ketua (nonaktif) Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar. Mengapa ekspose dugaan kasus korupsi di ranah hankam
minimal, padahal risiko korupsinya juga tinggi? Apakah ini mencerminkan
impunitas institusi hankam dalam korupsi? Tidak juga.
Ada satu kasus korupsi di ranah
hankam yang mendapat perhatian publik dan diselesaikan dengan baik. Pengadilan
militer menjatuhkan hukuman penjara empat tahun kepada Jenderal Djaja Suparman
yang dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi senilai Rp 13,3
miliar. Kasus yang membelit Djaja terkait pelepasan aset tanah Kodam
V/Brawijaya di Kelurahan Dukuh Menanggal, Wonocolo, Surabaya, yang terkena
proyek pembuatan Jalan Tol Simpang Susun Waru-Tanjung Perak.
Dugaan kasus korupsi dalam
pengadaan alat utama sistem persenjataan juga pernah mengemuka. Misalnya,
koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri dari Indonesia Corruption
Watch (ICW), Kontras, dan Imparsial pada Maret 2012 melaporkan institusi hankam
ke KPK atas dugaan korupsi dalam pengadaan pesawat tempur Sukhoi. Akan tetapi,
sampai sekarang laporan itu belum ditindaklanjuti. Rupanya, KPK dan juga institusi
penegak hukum lain belum memberikan prioritas tinggi pada pencegahan dan
pemberantasan korupsi di sektor hankam.
Gagalnya supremasi sipil
Salah satu prinsip penting dalam
demokrasi adalah supremasi sipil atas institusi militer. Banyaknya negara yang
risiko korupsinya tinggi, sangat tinggi, dan kritis menunjukkan bahwa supremasi
sipil atas militer tampaknya masih jadi ilusi. Dengan kata lain, kalangan sipil
gagal mengontrol kebijakan dan perilaku institusi hankam dalam mengelola sumber
daya dan tata kelolanya.
Studi TI ini juga menunjukkan
fungsi kontrol parlemen terhadap institusi dan kebijakan sangat lemah. Ada
ambiguitas, ketakutan akut, kelangkaan sumber daya, tidak memadainya kerangka
kelembagaan di parlemen yang menyebabkan fungsi kontrol itu tidak dilaksanakan
dengan baik.
Transisi menuju demokrasi dan
masyarakat sipil yang kuat memang sulit. Akan tetapi tidak berarti tidak bisa
dicapai. Korea Selatan menyajikan pengalaman menarik. Bersama dengan Taiwan,
Korea Selatan adalah dua negara Asia yang risiko korupsi sektor hankamnya
tergolong rendah. Padahal, sebelumnya Korea Selatan juga rezim militer. Proses
dan jalan transisi demokratis yang mereka tempuh bisa dijadikan inspirasi.
Institusi hankam yang bebas dari
korupsi segera akan menjadi nilai internasional baru. Ini akan menjadi standar
perilaku dalam mengembangkan kekuatan hankam.
Ada dua hal yang harus dilakukan
supaya peringkat risiko korupsi hankam kita membaik. Pertama, memperbaiki
kemampuan publik mengontrol institusi hankam. Bagian penting dari upaya ini
adalah meningkatkan kemampuan masyarakat sipil seperti kalangan LSM, asosiasi
profesi, dan media menuntut transparansi dan akuntabilitas institusi hankam.
Kedua, perbaikan tata kelola
institusi hankam. Ada lima area yang harus diperbaiki, yaitu politik, keuangan,
personel, operasi, serta pengadaan barang dan jasa. Jaring pengaman antikorupsi
harus dikembangkan pada setiap area itu.
Praktik yang baik dalam kelima
area itu ada dan sudah didokumentasikan dengan baik. Bulgaria, misalnya, bisa
diteladani karena Kementerian Pertahanan mereka mengundang LSM (seperti TI,
Open Society Institute, dan Atlantic Club) untuk menjadi penilai dalam
pengadaan barang dan jasa. Dari Nepal kita bisa belajar menghilangkan komponen
dana-dana non-budgeter.
Secara keseluruhan, negara-
negara yang masuk kategori A (sangat rendah) dan B (rendah) risiko korupsinya
merupakan teladan yang baik dalam mengatasi risiko korupsi dalam sektor hankam.
Jadi, kalau kita ingin serius mengatasi risiko korupsi di institusi hankam,
kedua upaya itu perlu dilakukan secara optimal supaya keamanan warga dan
kedaulatan negara lebih terjamin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar