Kamis, 24 Oktober 2013

Indeks Risiko Korupsi Sektor Hankam

Indeks Risiko Korupsi Sektor Hankam
Dedi Haryadi ;  Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
KOMPAS, 21 Oktober 2013


APAKAH institusi pertahanan dan keamanan kita rawan korupsi? Ya!
Publikasi hasil riset Transparansi Internasional (TI) tentang indeks risiko korupsi sektor pertahanan dan keamanan (hankam) yang diluncurkan Januari tahun ini menunjukkan hal itu. Secara kualitatif indeks ini mengategorikan kerawanan korupsi pada enam tingkat: sangat rendah (A), rendah (B), moderat (C), tinggi (D), sangat tinggi (E), dan kritis (F).
Indeks risiko korupsi hankam kita sangat tinggi (E). Sekelas dengan Afganistan, Bahrain, Pantai Gading, Iran, Irak, Maroko, Nigeria, Oman, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Sri Lanka, Tunisia, Uganda, Uzbekistan, Venezuela, dan Zimbabwe. Singapura dan Thailand (D+). Sementara Malaysia (D-), sekelas lebih baik daripada Indonesia. Australia dan Jerman paling baik, risiko korupsinya paling rendah. Austria, Norwegia, Korea Selatan, Swedia, Taiwan, Inggris, dan Amerika masuk kategori risiko rendah (B).
Indeks itu dibangun dari penilaian lima aspek: risiko politik, risiko keuangan, risiko personel, risiko operasional, serta risiko pengadaan barang dan jasa. Untuk kepentingan studi ini, sebanyak 82 negara disurvei. Nilai total belanja militer di 82 negara tersebut sekitar 84 persen dari total belanja militer dunia, yang pada 2012 sekitar 1,7 triliun dollar AS. TI memperkirakan secara global nilai korupsi di sektor ini mencapai 20 miliar dollar AS per tahun.
Korupsi di sektor hankam sama berbahaya dengan korupsi di sektor lain. Selain menghamburkan sumber daya, juga mengakibatkan penurunan kemampuan institusi hankam dalam menyediakan jasa keamanan dan pertahanan. Tingginya risiko di sektor hankam sangat membahayakan keamanan warga dan kedaulatan negara.
Impunitas institusi
Pemberitaan kasus korupsi sangat mencolok sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beroperasi dan bekerja efektif. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif mewarnai pemberitaan media massa dan menjadi perhatian publik dari hari ke hari. Termasuk kejadian terkini yang menimpa Ketua (nonaktif) Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Mengapa ekspose dugaan kasus korupsi di ranah hankam minimal, padahal risiko korupsinya juga tinggi? Apakah ini mencerminkan impunitas institusi hankam dalam korupsi? Tidak juga.
Ada satu kasus korupsi di ranah hankam yang mendapat perhatian publik dan diselesaikan dengan baik. Pengadilan militer menjatuhkan hukuman penjara empat tahun kepada Jenderal Djaja Suparman yang dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi senilai Rp 13,3 miliar. Kasus yang membelit Djaja terkait pelepasan aset tanah Kodam V/Brawijaya di Kelurahan Dukuh Menanggal, Wonocolo, Surabaya, yang terkena proyek pembuatan Jalan Tol Simpang Susun Waru-Tanjung Perak.
Dugaan kasus korupsi dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan juga pernah mengemuka. Misalnya, koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kontras, dan Imparsial pada Maret 2012 melaporkan institusi hankam ke KPK atas dugaan korupsi dalam pengadaan pesawat tempur Sukhoi. Akan tetapi, sampai sekarang laporan itu belum ditindaklanjuti. Rupanya, KPK dan juga institusi penegak hukum lain belum memberikan prioritas tinggi pada pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor hankam.
Gagalnya supremasi sipil
Salah satu prinsip penting dalam demokrasi adalah supremasi sipil atas institusi militer. Banyaknya negara yang risiko korupsinya tinggi, sangat tinggi, dan kritis menunjukkan bahwa supremasi sipil atas militer tampaknya masih jadi ilusi. Dengan kata lain, kalangan sipil gagal mengontrol kebijakan dan perilaku institusi hankam dalam mengelola sumber daya dan tata kelolanya.
Studi TI ini juga menunjukkan fungsi kontrol parlemen terhadap institusi dan kebijakan sangat lemah. Ada ambiguitas, ketakutan akut, kelangkaan sumber daya, tidak memadainya kerangka kelembagaan di parlemen yang menyebabkan fungsi kontrol itu tidak dilaksanakan dengan baik.
Transisi menuju demokrasi dan masyarakat sipil yang kuat memang sulit. Akan tetapi tidak berarti tidak bisa dicapai. Korea Selatan menyajikan pengalaman menarik. Bersama dengan Taiwan, Korea Selatan adalah dua negara Asia yang risiko korupsi sektor hankamnya tergolong rendah. Padahal, sebelumnya Korea Selatan juga rezim militer. Proses dan jalan transisi demokratis yang mereka tempuh bisa dijadikan inspirasi.
Institusi hankam yang bebas dari korupsi segera akan menjadi nilai internasional baru. Ini akan menjadi standar perilaku dalam mengembangkan kekuatan hankam.
Ada dua hal yang harus dilakukan supaya peringkat risiko korupsi hankam kita membaik. Pertama, memperbaiki kemampuan publik mengontrol institusi hankam. Bagian penting dari upaya ini adalah meningkatkan kemampuan masyarakat sipil seperti kalangan LSM, asosiasi profesi, dan media menuntut transparansi dan akuntabilitas institusi hankam.
Kedua, perbaikan tata kelola institusi hankam. Ada lima area yang harus diperbaiki, yaitu politik, keuangan, personel, operasi, serta pengadaan barang dan jasa. Jaring pengaman antikorupsi harus dikembangkan pada setiap area itu.
Praktik yang baik dalam kelima area itu ada dan sudah didokumentasikan dengan baik. Bulgaria, misalnya, bisa diteladani karena Kementerian Pertahanan mereka mengundang LSM (seperti TI, Open Society Institute, dan Atlantic Club) untuk menjadi penilai dalam pengadaan barang dan jasa. Dari Nepal kita bisa belajar menghilangkan komponen dana-dana non-budgeter.
Secara keseluruhan, negara- negara yang masuk kategori A (sangat rendah) dan B (rendah) risiko korupsinya merupakan teladan yang baik dalam mengatasi risiko korupsi dalam sektor hankam. Jadi, kalau kita ingin serius mengatasi risiko korupsi di institusi hankam, kedua upaya itu perlu dilakukan secara optimal supaya keamanan warga dan kedaulatan negara lebih terjamin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar