Sabtu, 26 Oktober 2013

Calon Presiden dari Partai Demokrat

Calon Presiden dari Partai Demokrat
Felix Jerbalus  ;  Pengajar Komunikasi Politik
di London School of Public Relations, Jakarta
TEMPO.CO, 25 Oktober 2013



Tim Konvensi Partai Demokrat telah menetapkan sebelas nama yang akan bertarung, untuk kemudian ditetapkan sebagai calon presiden, yaitu Anies Baswedan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Hayono Isman, Marzuki Alie, Irman Gusman, Gita Wirjawan, Ali Masykur Musa, Dahlan Iskan, Pramono Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang. Bila dilakukan dengan jujur, terbuka, dan konsisten, kegiatan konvensi ini bakal menjadi suatu proses pembelajaran demokrasi yang sangat penting, bahkan strategis. 

Namun sederet pertanyaan, bahkan keraguan, tetap saja mencuat, antara lain sejauh mana penetapan calon presiden melalui konvensi ini tidak berbenturan dengan masalah/persoalan presidential threshold? Lalu, apakah calon yang diusung Partai Demokrat nantinya akan sejalan dengan usulan yang diajukan partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi, manakala Partai Demokrat akan membangun koalisi pasca-pemilu legislatif? Hal lain yang juga tidak kalah penting berkaitan dengan pengaruh konvensi terhadap elektabilitas Partai Demokrat. Ini merupakan beberapa pertanyaan yang mungkin saja akan menghantui gerak langkah calon presiden dari Partai Demokrat.

Berkaca dari pengalaman Golkar, yang pada 2004 menggelar konvensi, terlihat kegiatan politik dalam bentuk konvensi ternyata mampu merehabilitasi citra partai berlambang beringin itu, sehingga ia tetap kokoh sebagai sebuah mesin politik. Konvensi Golkar 2004 sukses menetapkan H. Wiranto sebagai pemenang, menggeser Akbar Tandjung, sang politikus senior. Wiranto secara resmi menjadi calon presiden, bersama Salahuddin Wahid sebagai calon wakil presiden. 

Kondisi Golkar, dalam beberapa hal, berbeda dengan Partai Demokrat, yang saat ini mengalami krisis kepercayaan sebagaimana tergambar dalam elektabilitasnya yang kian menurun. Merosotnya kepercayaan publik, dapat diduga, terjadi karena berbagai kasus korupsi yang dilakukan para politikus partai ini. Selanjutnya, mundurnya Anas Urbaningrum dari tampuk kepemimpinan ketua umum, yang pada akhirnya mendorong SBY memegang kendali Partai Demokrat, seakan-akan membuat aktivitas partai itu berada dalam bayang-bayang SBY. 

Tidak dapat dimungkiri, siapa pun yang menjadi calon presiden dari Partai Demokrat harus mendapat restu Majelis Tinggi Partai Demokrat. Dalam AD dan ART Partai Demokrat ditegaskan, Majelis Tinggi memiliki kewenangan untuk menentukan calon presiden dan calon wakil presiden. Tampaknya, ini akan menjadi suatu pertanyaan menarik: apakah calon presiden yang menang dalam konvensi ini adalah juga yang direstui SBY? Bila urusan restu-merestui menjadi syarat penting, pertanyaan berikutnya: sejauh mana makna konvensi bagi proses pembelajaran demokrasi? Ataukah kegiatan ini hanya akal-akalan untuk mendongkrak citra, sebagaimana dikritik banyak pengamat politik?

Persoalan lain berkaitan dengan elektabilitas Partai Demokrat yang kian merosot. Dalam beberapa survei yang dilakukan sejumlah lembaga/konsultan penelitian, tampak elektabilitas Partai Demokrat kian merosot. Pada 24 Maret 2013, Lembaga Survei Nasional (LSN) merilis hasil survei yang dilakukan terhadap partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2014. Hasilnya menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat hanya 4,3 persen, merosot jauh dibanding dalam Pemilu 2009, yang menunjukkan elektabilitas Demokrat 20,85 persen. Selain itu, survei yang dilakukan CSIS pada 9-16 April 2013 dan dilansir kepada media 26 Mei 2013 menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat 7,1 persen, jauh berada di bawah Golkar yang 13,2 persen, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 12,7 persen. Lalu, menyusul Partai Gerindra 7,3 persen. 

Tingkat elektabilitas Partai Demokrat, bila tidak mengalami perbaikan hingga Pemilu 2014, akan berisiko, bahkan sangat mempengaruhi presidential threshold. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, khususnya pasal 9, ditegaskan bahwa pasangan calon diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden. 

Bila perolehan suara Partai Demokrat dalam Pemilu 2014 tidak melebihi ambang batas nasional, sedangkan partai ini tetap mengusung calon presiden, jalan yang ditempuh adalah Partai Demokrat harus membangun koalisi dengan berbagai partai politik. Bila membentuk koalisi partai menjadi alternatif yang ditempuh, muncul pertanyaan: apakah calon yang diajukan Partai Demokrat, seperti yang diproklamasikan dalam konvensi ini, sejalan dengan keinginan partai politik lain yang tergabung dalam koalisi itu? Menjelang Pemilu 2014, beberapa partai politik mulai mensosialisasi calon presiden secara terbuka ke tengah publik. 

Berbagai pertanyaan ini seakan-akan menggiring Partai Demokrat ke sebuah persimpangan jalan yang sangat dilematis. Karena itu, kerja keras untuk memperbaiki citra Partai Demokrat merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar, sehingga pada gilirannya tingkat elektabilitas partai ini bisa terangkat. Pada sisi lain, kejujuran dan komitmen dalam penyelenggaraan konvensi, yang jauh dari intervensi karena berbagai kepentingan internal petinggi Demokrat, juga akan turut memperbaiki citra partai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar