|
SAYA suka mengantar
Cak Roes (Roeslan Abdulgani), beberapa tahun sebelum wafatnya, ke Surabaya
untuk merayakan Hari Pahlawan 10 November 1945. Nyata benar bahwa jumlah
bendera Merah Putih yang berkibar pada 10 November makin lama makin sedikit
dari tahun ke tahun. Kalau pada zaman lampau Merah Putih dikibar-dikibarkan
menghiasi becak-becak, sepeda-sepeda, sepeda-sepeda motor, mobil-mobil, bahkan
bus dan truk yang hilir mudik di Surabaya, belakangan itu sudah menghilang.
Sudah dianggap ''bukan zamannya'' lagi?
Dalam obrolan dengan Cak Roes di Hotel Majapahit Surabaya - beliau selalu menginap di hotel bersejarah - saya bertanya: ''Pak Roeslan, masihkah Surabaya Kota Pahlawan?''
Beliau menjawab: ''Sukur to yèn kowé biso kroso opo sing tak pikirké'' (syukurlah kalau engkau bisa merasakan apa yang sedang saya pikirkan). Cak Roes suka tinggal di Hotel Majapahit. Aslinya bernama Hotel Oranje yang didirikan Sarkies Bersaudara dari Armenia dan kemudian sempat menyandang nama Jepang, Hotel Yamato. Di puncak hotel itulah beberapa arèk Suroboyo pada 19 September 1945 merobek bendera Belanda ''merah-putih-biru'' yang berkibar, membuang bagian ''biru''-nya.
Pada tiga kali 10 Novemberan terakhir, saya bersama sahabat, Ahmad Zaini, pimpinan Forum Intelektual Indonesia, yang fanatik 10 Novemberan, hanya menyaksikan pemda sajalah yang tampak memperingati dan merayakan Hari Pahlawan. Tetapi, kami tidak melihat lagi rakyat Surabaya penuh antusias mengibar-ngibarkan Sang Merah Putih.
Sudah 68 tahun kita merdeka, tidak ada patung pahlawan nasional Bung Tomo di Surabaya. Bahkan, lebih jauh dari itu, tidak tampak patung Dr Soetomo dibuat untuk memegahkan Surabaya yang menyandang kebesaran sebagai Kota Pahlawan. Tidak pula demi sejarah makam Jenderal Mallaby -musuh Indonesia, tapi yang bagi bangsa Inggris adalah seorang patriot- kita angkat dan kita pugar makamnya. Itu penting untuk mengisi dan memberikan bobot makna perang kemerdekaan besar-besaran di Surabaya itu, yang kabarnya menelan 16.000 korban.
Ketika Prita dianggap sebagai korban ketidakadilan, masyarakat langsung mengumpulkan koin simpatinya, terkumpul sekitar Rp 650 juta.
Sebagai salah satu bentuk kekecewaan saya tentang ketiadaan patung-patung pahlawan di Surabaya, pada orasi saya dalam hari wisuda salah satu STIE terkemuka di Surabaya, saya mengawali memberikan koin simpati saya ala Prita senilai Rp 100.000, demi pembuatan patung-patung pahlawan di Surabaya.
Kiranya gerakan saya tidak mendapat sambutan, moga-moga bukan karena merosotnya nasionalisme dan patriotisme Surabaya. Yang lebih saya cemaskan sebetulnya adalah bahwa ''pembangunan Surabaya'' telah berubah menjadi sekadar ''pembangunan di Surabaya''. Orang mancanegara yang membangun Surabaya, kita hanya menjadi penonton atau bahkan jongos globalisasi. Kita hanya menancapkan tiang-tiang pancang ke perut bumi Ibu Pertiwi atas suruhan tuan-tuan investor. Kita dilumpuhkan oleh liberalisme dan materialisme serta hedonisme bawaannya.
Dalam obrolan dengan Cak Roes di Hotel Majapahit Surabaya - beliau selalu menginap di hotel bersejarah - saya bertanya: ''Pak Roeslan, masihkah Surabaya Kota Pahlawan?''
Beliau menjawab: ''Sukur to yèn kowé biso kroso opo sing tak pikirké'' (syukurlah kalau engkau bisa merasakan apa yang sedang saya pikirkan). Cak Roes suka tinggal di Hotel Majapahit. Aslinya bernama Hotel Oranje yang didirikan Sarkies Bersaudara dari Armenia dan kemudian sempat menyandang nama Jepang, Hotel Yamato. Di puncak hotel itulah beberapa arèk Suroboyo pada 19 September 1945 merobek bendera Belanda ''merah-putih-biru'' yang berkibar, membuang bagian ''biru''-nya.
Pada tiga kali 10 Novemberan terakhir, saya bersama sahabat, Ahmad Zaini, pimpinan Forum Intelektual Indonesia, yang fanatik 10 Novemberan, hanya menyaksikan pemda sajalah yang tampak memperingati dan merayakan Hari Pahlawan. Tetapi, kami tidak melihat lagi rakyat Surabaya penuh antusias mengibar-ngibarkan Sang Merah Putih.
Sudah 68 tahun kita merdeka, tidak ada patung pahlawan nasional Bung Tomo di Surabaya. Bahkan, lebih jauh dari itu, tidak tampak patung Dr Soetomo dibuat untuk memegahkan Surabaya yang menyandang kebesaran sebagai Kota Pahlawan. Tidak pula demi sejarah makam Jenderal Mallaby -musuh Indonesia, tapi yang bagi bangsa Inggris adalah seorang patriot- kita angkat dan kita pugar makamnya. Itu penting untuk mengisi dan memberikan bobot makna perang kemerdekaan besar-besaran di Surabaya itu, yang kabarnya menelan 16.000 korban.
Ketika Prita dianggap sebagai korban ketidakadilan, masyarakat langsung mengumpulkan koin simpatinya, terkumpul sekitar Rp 650 juta.
Sebagai salah satu bentuk kekecewaan saya tentang ketiadaan patung-patung pahlawan di Surabaya, pada orasi saya dalam hari wisuda salah satu STIE terkemuka di Surabaya, saya mengawali memberikan koin simpati saya ala Prita senilai Rp 100.000, demi pembuatan patung-patung pahlawan di Surabaya.
Kiranya gerakan saya tidak mendapat sambutan, moga-moga bukan karena merosotnya nasionalisme dan patriotisme Surabaya. Yang lebih saya cemaskan sebetulnya adalah bahwa ''pembangunan Surabaya'' telah berubah menjadi sekadar ''pembangunan di Surabaya''. Orang mancanegara yang membangun Surabaya, kita hanya menjadi penonton atau bahkan jongos globalisasi. Kita hanya menancapkan tiang-tiang pancang ke perut bumi Ibu Pertiwi atas suruhan tuan-tuan investor. Kita dilumpuhkan oleh liberalisme dan materialisme serta hedonisme bawaannya.
Surabaya menjadi Kota Pahlawan
karena arèk-arèk Suroboyo, bersama-sama seluruh masyarakat yang tinggal di
Surabaya dan sekitarnya, dari segala agama, ras, suku, dan asal-usul, dengan
ukhuwah wathoniah (kesatuan batin kebangsaan)-nya, menjadi satu kesatuan kukuh
tanpa tara yang bisa mengalahkan keperkasaan pasukan sekutu.
Ibarat ukhuwah wathoniyah yang berlaku di Madinah pada zaman Rasulullah SAW, yang Islam, yang Yahudi, yang Nasrani, yang Majusi, semuanya bersatu padu sebagai pasukan madani menahan serangan-serangan musuh dari luar. Karena itu, dalam sejarahnya, Madinah tidak pernah jatuh ke tangan musuh dari mana pun. Yang terjadi di Madinah 14 abad lalu itu ibarat menembus langit dan waktu, kemudian turunnya di Surabaya, antara Oktober-November 1945.
Surabaya harus pula dicatat sebagai Kota Pahlawan dalam periode konfrontasi Dwikora 1968 dalam kaitan dengan Usman dan Harun, dua pahlawan Marinir Indonesia yang digantung penguasa Singapura. Marinir Angkatan Laut kita bermarkas di Surabaya. Ironisnya, sebagian lokasi di Surabaya telah disebut ''The Singapore of Surabaya'' dan kadang-kadang disebut ''Little Singapore''. Di mana-mana ada simbol Merlion (Liong) kebanggaan Singapura.
Bung Hatta berkirim surat kepada Penguasa Singapura agar patriot-patriot kita, Usman dan Harun, tidak digantung. Namun, permohonan ampunan untuk Usman dan Harun tidak digubris Singapura. Lalu, Bung Hatta bersumpah, sebagai satu-satunya sumpah yang pernah terdengar diucapkan proklamator Mohammad Hatta ini bahwa Bung Hatta tidak akan menginjakkan kakinya ke Singapura seumur hidupnya. Sumpah ini dipegang tegas hingga akhir hayatnya.
Belum terlambat Surabaya kita megahkan sebagai Kota Pahlawan. Belum terlambat untuk membujuk Presiden Yudhoyono untuk sekali-kali memperingati Hari Pahlawan Nasional di Surabaya sebagai heroismenya seorang presiden. Belum terlambat pula untuk menghadirkan veteran-veteran Perang Besar Surabaya ini pada 10 November 2013 untuk kita hormati sebagai peninggalan bersejarah manis dari Presiden Yudhoyono. ●
Ibarat ukhuwah wathoniyah yang berlaku di Madinah pada zaman Rasulullah SAW, yang Islam, yang Yahudi, yang Nasrani, yang Majusi, semuanya bersatu padu sebagai pasukan madani menahan serangan-serangan musuh dari luar. Karena itu, dalam sejarahnya, Madinah tidak pernah jatuh ke tangan musuh dari mana pun. Yang terjadi di Madinah 14 abad lalu itu ibarat menembus langit dan waktu, kemudian turunnya di Surabaya, antara Oktober-November 1945.
Surabaya harus pula dicatat sebagai Kota Pahlawan dalam periode konfrontasi Dwikora 1968 dalam kaitan dengan Usman dan Harun, dua pahlawan Marinir Indonesia yang digantung penguasa Singapura. Marinir Angkatan Laut kita bermarkas di Surabaya. Ironisnya, sebagian lokasi di Surabaya telah disebut ''The Singapore of Surabaya'' dan kadang-kadang disebut ''Little Singapore''. Di mana-mana ada simbol Merlion (Liong) kebanggaan Singapura.
Bung Hatta berkirim surat kepada Penguasa Singapura agar patriot-patriot kita, Usman dan Harun, tidak digantung. Namun, permohonan ampunan untuk Usman dan Harun tidak digubris Singapura. Lalu, Bung Hatta bersumpah, sebagai satu-satunya sumpah yang pernah terdengar diucapkan proklamator Mohammad Hatta ini bahwa Bung Hatta tidak akan menginjakkan kakinya ke Singapura seumur hidupnya. Sumpah ini dipegang tegas hingga akhir hayatnya.
Belum terlambat Surabaya kita megahkan sebagai Kota Pahlawan. Belum terlambat untuk membujuk Presiden Yudhoyono untuk sekali-kali memperingati Hari Pahlawan Nasional di Surabaya sebagai heroismenya seorang presiden. Belum terlambat pula untuk menghadirkan veteran-veteran Perang Besar Surabaya ini pada 10 November 2013 untuk kita hormati sebagai peninggalan bersejarah manis dari Presiden Yudhoyono. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar