|
Di tengah ancaman krisis ekonomi
dunia akibat krisis Eropa yang belum pulih hingga shutdown Pemerintahan Amerika Serikat, muncul kekhawatiran berimbas
ke Indonesia. Muncullah pemikiran bagaimana mengantisipasinya.
Salah satunya yakni ide-ide dan
praktik ekonomi alternatif. Hal ini dimaksudkan agar perekonomian nasional tak
mengalami stagnasi jika krisis dunia benar-benar terjadi. Argumentasi lainnya
yaitu ekonomi arus utama (mainstream)
yang dominan di Indonesia sekarang ini dinilai kian menjauh dari semangat
konstitusi UUD 1945 dan ideologi Pancasila.
Umpamanya, kala pemerintah
Indonesia mengatasi problem kemiskinan solusinya bersifat generic, mirip obat
pemyakit penurun panas, alias tak mengobati sumber penyakitnya.
Padahal problem kemiskinan
telah jadi agenda dunia melalui Millennium Development Goals (MDGs), program
pembangunan dunia melalui PBB yang berfokus pada upaya mengakhiri
kemiskinan ekstrem, kelaparan, dan penyakit (Sach, 2013). Gagasan
ekonomi alternatif ini diharapkan jadi bagian solusi terintegrasi dalam
mencapai tujuan MDGs.
Kritik Ekonomi Arus Utama
Munculnya gagasan ekonomi
alternatif (heterodox/eklektik hingga pluralism
economics) tak luput dari berbagai kritik atas pemikiran ekonomi arus
utama. Pertama, Assadourian (2012) menuliskan kritikannya dalam The Worldwacth Institute 2012 berjudul The Path to Degrowth in Overdeveloped Countries.
Menurutnya, target
pertumbuhan ekonomi yang tinggi malah berimbas pada menurunnya kualitas hidup
manusia, krisis lingkungan, hingga bencana kemanusiaan. Kedua, Baudrillard
(2009) juga melontarkan kritik senada, menurutnya ideologi pertumbuhan kerap
menghasilkan dua hal yaitu kemakmuran dan kemiskinan.
Makmur bagi yang diuntungkan
dan miskin bagi yang terpinggirkan. Ia pun mempertegas soal ideologi
pertumbuhan yang mengarah pada pemiskinan prikologis dan kefakiran sistemis
akibat “kebutuhan” yang selalu melampuai batas produksi. Bahkan, konsumsi
melampaui produksi, berimbas pada konsumsi tanpa henti, rakus, dan serakah.
Ketiga, Phillipe (2011)
merujuk paragraf enam Deklarasi Konferensi Degrowth di Paris tahun 2008 yang menyatakan
“pertumbuhan produksi dan konsumsi secara global berimbas pada
ketidakberlanjutan (unsustainable)
sosial dan ketidak-ekonomian”.
Keempat, Martinez-Alier et
al (2010) pun berpendapat senada, dominasi paradigma pertumbuhan ekonomi lebih
menghargai konsumsi dan investasi swasta (private)
berhadapan dengan publik (public),
ketimbang modal alamiah (natural capital).
Kelima, Zaccai (2009) malah
membuktikan kelemahan indikator pertumbuhan berupa gross domestic product
(GDP), yaitu hanya mengukur nilai aktivitas ekonomi dari penduduk suatu negara
dalam setahun. Persis sama dengan Simon Kuztnet yang mengingatkan kelemahan GDP
yang hanya mengukur output ekonomi sehingga tak dapat digunakan sebagai
indikator kemajuan sebuah bangsa.
Keenam, GDP pun absen mengukur
kerja domestik maupun sosial (kedermawanan) yang sejatinya juga berimbas pada
aktivitas ekonomi maupun lingkungan (Robert-Demontrond,
2008; Stiglitz et al, 2009).
Ketujuh, yang menarik adalah
laporan kerja Commission on the
Measurement of Economic Performance and Social Progress (CMEPSP) yang
diketuai Profesor Joseph E Stiglitzh, Profesor Amartya Sen (Ketua Penasehat
Komisi), dan Profesor Jean-Paul Fitoussi dari Siences-Po (Institut d’Etudes Politique de Paris) yang menjabat Presiden
Lembaga Penelitian Elite Prancis (Observatoire
des Conjuctures Economiques, OFCE) yang didaulat sebagai Koordinator
Komisi.
Hasil kerja komisi ini
berupa Report by the Commision on the
Measurement of Economic Performance and Social Progress.
Komisi ini merekomendasikan
indikator pengukuran kesejahteraan baru dari beragam dimensi, yaitu standar
hidup material (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); kesehatan; pendidikan;
aktivitas individu termasuk bekerja; suara politik dan tata pemerintahan;
hubungan dan kekerabatan sosial; lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa
depan); dan ketidakamanan, baik bersifat ekonomi maupun fisik.
Pemikiran/gerakan ekonomi
alternatif telah berkembang dalam beragam varian. Mulai yang masih dalam mazhab
arus utama hingga menyempal. Setidaknya hingga kini terbagi dalam dua kelompok
besar.
Pertama, yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menambahkan
atribut “hijau” (green) dan “biru” (blue). Umpamanya, Green Economy
(UNEP, OECD), Europe 2020 (Europe Commision), Study Commission on Growth (17 Anggota
Parlemen Jerman), The Blue Economy (Gunter Pauli), Cradle to Cradle (Michael
Braungart), hingga Factor X (Friedrich Schmidt-Bleek, dan Ernst Ulrich von
Weizsacker).
Kedua, yang menyoal hingga
menolak pertumbuhan ekonomi. Variannya terbagi dua, pertama menyoal/menggugat
pertumbuhan ekonomi berupa (i) Steady State Economy (Herman E Daly), (ii)
Degrowth (aktivis gerakan masyarakat sipil); (iii) PostGrowth Society (Tim
Jackson, Nico Paech, dan Peter Victor).
Kedua, menekankan
kesejahteraan manusia tanpa pertumbuhan, yaitu (i) Buen Vivier yang berkembang
di Bolivia dan Ekuador (Alberrto Costa dan Eduardo Gydunas), (ii) Common
Welfare Economy (Christian Felber dan 500 perusahaan) ; (iii) The Solidarity
Economy (beragam aktor), dan (iv) The Transition Movement (Rob-Hopkins, Naresh
Giangrande, dan Louise Rooney). Contohnya, Buen Vivir.
Buen Vivir adalah aktivitas
ekonomi yang bertujuan menjaga keseimbangan alam, mengurangi ketidakadilan
sosial berdasarkan solidaritas dan kemajemukan dalam berdemokrasi, dengan
memberi ruang partisipasi sosial bagi masyarakat sipil (Series Zukunftdossiers, 2012).
Alternatif ala Indonesia
Beragam pemikiran alternatif yang
kini menjamur di seluruh dunia bukan berarti di Indonesia tidak berkembang. Di
Indonesia, model pemikiran alternatif yang mirip Eropa Barat,
Amerika Latin, hingga Amerika Utara sudahberkembang di level mikro.
Sayangnya, para pengambil
kebijakan ekonomi dan pembangunan di negeri ini, mengabaikan hal ini dan
terlalu menghambah ekonomi arus utama. Umpamanya, praktik sosial
entrepreneurship yang sudah berkembang pesat di Indonesia khususnya pada
etnik Minang, Bugis Makassar, Buton, Madura, Sunda (Tasikmalaya), dan
Jawa.
Simaklah (i) bisnis warung
padang; (ii) Jaringan bisnis saudagar Bugis-Makassar; (iii) Usaha besi tua
orang Madura; (iv) Bisnis kelontong orang Buton di pasar-pasar tradisional di
Indonesia Timur (Maluku hingga Papua); (v) Kredit barang kebutuhan rumah tangga
Tasikmalaya; dan (vi) Usaha batik di Jawa Tengah (Solo, Pekalongan),
Yogyakarta, hingga Jawa Barat.
Tentu masih banyak model
lain bila ditelusuri di seluruh kepulauan Indonesia. Eksisnya ekonomi
alternatif ini disebabkan; pertama, kuatnya solidaritas intergenerasi
(intergenerational solidarity) (Cruz
Saco, 2010).
Kedua, kuatnya jiwa
kewirausahaan social (social
entrepreneurship) (Ziegler, 2009). Ketiga, kekuatan ekonomi pengaruh
nilai-nilai budaya dalam menopang aktivitas ekonomi (cultural informed economics) (Jackson, 2009). Keempat,
berkembangnya hubungan patron-client egaliter, khususnya yang berkembang
dalam masyarakat Buton di wilayah Indonesia bagian timur.
Suatu pola hubungan patron-client
yang dilandasi lima modal yaitu spiritual, agama, budaya, finansial, dan sosial
(Lutfi, 2010). Keempat hal itulah menyebabkan model ekonomi alternatif berkembang sejak sebelum
lahirnya Indonesia hingga kini.
Praktiknya yaitu konsep ekonomi
alternatif Barat (yang mengedepankan efisiensi, inovasi, kreativitas, dan
ramah lingkungan versi Barat) disinergikan dengan ekonomi lokal yang
menunjung tinggi nilai-nilai tradisi, agama, budaya, pengetahuan lokal, dan bersahabat
dengan alam sehingga menghasilkan model ekonomi heterodoks/eklektik menyempal
dari kapitalisme maupun sosialisme.
Model ekonomi ini tak bisa
dikembangkan secara seragam. Melainkan beragam (Pluralism Economics) di seluruh Indonesia bergantung pada
sumber daya, budaya, tata nilai, geografi, hingga pengetahuan lokalnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar