|
Kemeriahan Sail Komodo baru saja berlalu di ujung barat Nusa
Tenggara Timur, tepatnyadi Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo. Sebuah
kegiatan mempromosikan pariwisata NTT yang berlang-sung dua bulan hingga
Sep-tember 2013. Apakah kegiatan ini punya dampak signifikan meningkatkan
kesejahteraan rakyat NTT?
Dalam perbincangan dengan berbagai lapisan masyarakat di
Labuan Bajo, saat penulis berkunjung ke Labuan Bajo awal September 2013,
jawaban yang diberikan hampir sama: Sail Komodo itu punya orang Jakarta untuk
menghibur wisatawan mancanegara.
Beberapa media massa lokal dan nasional melaporkan, ribuan
warga di lereng Gunung Rokatenda di Sikka kekurangan pasokan air karena kapal
yang biasanya memasok kebutuhan air bersih sedang dikonsentrasikan untuk
memasok kebutuhan air minum peserta dan Sail Komodo.
Enam program
Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) yang sekarang menjadi acuan pembangunan ekonomi regional
mencanangkan enam program unggulan untuk percepatan pembangunan di NTT, yaitu
NTT sebagai pusat garam nasional, lumbung jagung dan kakao, penyuplai daging
sapi, penyuplai produk kelautan (perikanan dan rumput laut), dan daerah tujuan
wisata (terutama Pulau Komodo).
Program unggulan tersebut tampaknya tak beda dengan rencana
proyek ambisius food estate di Papua yang rentan eksploitasi sumber
daya alam dan penggusuran.
Mengacu pada data kualitatif hasil riset Ecosoc Rights
Institute tentang ke(tidak)cukupan pangan dan gizi di NTT, seharusnya prioritas
program pembangunan di NTT mampu menjawab terlebih dahulu pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi penduduknya dan tak usah berambisi menjadi pemasok dan lumpung
nasional.
Sangat disayangkan pula, program percepatan pembangunan di
NTT sama sekali tidak menyentuh soal kesehatan masyarakat.
Dalam pengukuran kualitas hidup manusia menurut Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), terutama untuk indikator angka kematian ibu
melahirkan, NTT dianggap sebagai kontributor terbesar rendahnya IPM Indonesia.
Kondisi ini pula yang bisa membuat Indonesia gagal dalam pencapaian komitmen
global Tujuan Pembangunan Milenium.
Menurut data Human Development Report yang dikeluarkan
Program Pembangunan PBB (UNDP) setiap tahun, angka kematian ibu melahirkan
masih tinggi. Tahun 2005 sampai tahun 2006, angka kematian ibu melahirkan 310
per 100.000 kelahiran. Kondisi itu memburuk pada tahun 2007 ketika IPM UNDP
menyatakan ada peningkatan signifikan pada angka kematian ibu melahirkan di
Indonesia menjadi 420 per 100.000 kelahiran. Angka tersebut terus bertahan
hingga IPM UNDP tahun 2010.
Data lebih menyesakkan lagi adalah tentang situasi kesehatan
di Indonesia yang ternyata paling rendah dalam tingkat akses dan pembiayaan
kesehatan dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
Alokasi anggaran kesehatan di Indonesia per kapita 81 dollar
AS per tahun, lebih baik dari Myanmar yang hanya 21 dollar AS, tetapi lebih
rendah dari Laos (84 dollar AS), Kamboja (108 dollar AS), Filipina (130 dollar
AS), dan Vietnam (183 dollar AS).
Sementara untuk alokasi tenaga kesehatan, Indonesia menempati
urutan paling rendah dengan komposisi 1 per 10.000 (1 tenaga kesehatan melayani
10.000 penduduk), sementara di Kamboja 2 per 10.000, Laos 3 per 10.000, Myanmar
4 per 10.000, Vietnam 6 per 10.000, dan Filipina 12 per 10.000.
Jika gambaran tersebut mencerminkan situasi di tingkat
nasional, gambaran lebih suram terjadi di tingkat NTT karena IPM di NTT lebih
rendah ketimbang rata-rata IPM tingkat nasional.
Hal lain yang luput dari perhatian pemerintah adalah eskalasi
kasus-kasus buruh migran asal NTT. Secara historis, masyarakat di NTT (terutama
Flores) memiliki tradisi migrasi bekerja di tanah seberang, terutama Sabah,
Malaysia timur, tetapi dalam tata kelola migrasi modern, model migrasi tersebut
dikriminalisasi dengan stigma ”TKI ilegal”. Masyarakat NTT yang ingin bekerja
ke luar negeri diwajibkan melalui saluran resmi perusahaan pengerah tenaga
kerja Indonesia swasta (PPTKIS).
Alih-alih mengakomodasi jejak historis migrasi ke Sabah yang
telah memiliki akar kultural dan kapital sosial, yang sebenarnya masih bisa
dimanfaatkan sebagai elemen perlindungan, introduksi kebijakan migrasi modern
mencoba mengalihkan wilayah tujuan dari Sabah ke Malaysia semenanjung,
Singapura, dan Hongkong.
Kapitalisasi kebijakan migrasi ke luar negeri di wilayah NTT
bahkan difasilitasi oleh donor internasional sebagai media mobilisasi sumber
daya keuangan (remitansi) yang semakin signifikan menjadi sumber pembiayaan
pembangunan tanpa memikirkan aspek perlindungan.
Dengan orientasi kebijakan migrasi yang lebih berorientasi
pada ekonomi, yang secara langsung mengambil keuntungan dari operasional
penempatan buruh migran dari NTT adalah PPTKIS yang terus tumbuh tak terkendali
dan aparat birokrasi dengan instrumen pungutan (baik resmi maupun liar).
Sementara idaman buruh migran keluar dari kemiskinan sering kali berakhir
dengan penderitaan. Salah satu yang menggegerkan adalah kasus Nirmala Bonat,
pertengahan tahun 2004.
Menurut catatan Migrant Care, kasus kekerasan yang dialami
buruh migran asal NTT terus meningkat. Penanda paling jelas adalah makin
banyaknya jumlah buruh migran NTT di penampungan perwakilan RI di Malaysia dan
Singapura. Sebagian besar diberangkatkan oleh PPTKIS, yang selama ini diklaim
pemerintah sebagai satu-satunya saluran resmi dan aman untuk penempatan buruh
migran Indonesia.
Kasus terakhir yang perlu segera mendapat respons pemerintah
adalah ancaman hukuman mati terhadap Wilfrida Soik, buruh migran asal Belu,
NTT. Menurut investigasi Migrant Care, Wilfrida Soik saat ditempatkan ke
Malaysia masih berusia kanak-kanak dan merupakan korban sindikat perdagangan
manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar