Minggu, 27 Oktober 2013

Sail Komodo dan Wilfrida

Sail Komodo dan Wilfrida
Wahyu Susilo  ;   Analis Kebijakan Migrant Care, Sedang Melakukan Penelitian tentang Penempatan Buruh Migran Asal NTT
KOMPAS, 25 Oktober 2013


Kemeriahan Sail Komodo baru saja berlalu di ujung barat Nusa Tenggara Timur, tepatnyadi Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo. Sebuah kegiatan mempromosikan pariwisata NTT yang berlang-sung dua bulan hingga Sep-tember 2013. Apakah kegiatan ini punya dampak signifikan meningkatkan kesejahteraan rakyat NTT?

Dalam perbincangan dengan berbagai lapisan masyarakat di Labuan Bajo, saat penulis berkunjung ke Labuan Bajo awal September 2013, jawaban yang diberikan hampir sama: Sail Komodo itu punya orang Jakarta untuk menghibur wisatawan mancanegara.

Beberapa media massa lokal dan nasional melaporkan, ribuan warga di lereng Gunung Rokatenda di Sikka kekurangan pasokan air karena kapal yang biasanya memasok kebutuhan air bersih sedang dikonsentrasikan untuk memasok kebutuhan air minum peserta dan Sail Komodo.

Enam program

Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang sekarang menjadi acuan pembangunan ekonomi regional mencanangkan enam program unggulan untuk percepatan pembangunan di NTT, yaitu NTT sebagai pusat garam nasional, lumbung jagung dan kakao, penyuplai daging sapi, penyuplai produk kelautan (perikanan dan rumput laut), dan daerah tujuan wisata (terutama Pulau Komodo).

Program unggulan tersebut tampaknya tak beda dengan rencana proyek ambisius food estate di Papua yang rentan eksploitasi sumber daya alam dan penggusuran.

Mengacu pada data kualitatif hasil riset Ecosoc Rights Institute tentang ke(tidak)cukupan pangan dan gizi di NTT, seharusnya prioritas program pembangunan di NTT mampu menjawab terlebih dahulu pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduknya dan tak usah berambisi menjadi pemasok dan lumpung nasional.

Sangat disayangkan pula, program percepatan pembangunan di NTT sama sekali tidak menyentuh soal kesehatan masyarakat.

Dalam pengukuran kualitas hidup manusia menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM), terutama untuk indikator angka kematian ibu melahirkan, NTT dianggap sebagai kontributor terbesar rendahnya IPM Indonesia. Kondisi ini pula yang bisa membuat Indonesia gagal dalam pencapaian komitmen global Tujuan Pembangunan Milenium.

Menurut data Human Development Report yang dikeluarkan Program Pembangunan PBB (UNDP) setiap tahun, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Tahun 2005 sampai tahun 2006, angka kematian ibu melahirkan 310 per 100.000 kelahiran. Kondisi itu memburuk pada tahun 2007 ketika IPM UNDP menyatakan ada peningkatan signifikan pada angka kematian ibu melahirkan di Indonesia menjadi 420 per 100.000 kelahiran. Angka tersebut terus bertahan hingga IPM UNDP tahun 2010.

Data lebih menyesakkan lagi adalah tentang situasi kesehatan di Indonesia yang ternyata paling rendah dalam tingkat akses dan pembiayaan kesehatan dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
Alokasi anggaran kesehatan di Indonesia per kapita 81 dollar AS per tahun, lebih baik dari Myanmar yang hanya 21 dollar AS, tetapi lebih rendah dari Laos (84 dollar AS), Kamboja (108 dollar AS), Filipina (130 dollar AS), dan Vietnam (183 dollar AS).

Sementara untuk alokasi tenaga kesehatan, Indonesia menempati urutan paling rendah dengan komposisi 1 per 10.000 (1 tenaga kesehatan melayani 10.000 penduduk), sementara di Kamboja 2 per 10.000, Laos 3 per 10.000, Myanmar 4 per 10.000, Vietnam 6 per 10.000, dan Filipina 12 per 10.000.
Jika gambaran tersebut mencerminkan situasi di tingkat nasional, gambaran lebih suram terjadi di tingkat NTT karena IPM di NTT lebih rendah ketimbang rata-rata IPM tingkat nasional.

Hal lain yang luput dari perhatian pemerintah adalah eskalasi kasus-kasus buruh migran asal NTT. Secara historis, masyarakat di NTT (terutama Flores) memiliki tradisi migrasi bekerja di tanah seberang, terutama Sabah, Malaysia timur, tetapi dalam tata kelola migrasi modern, model migrasi tersebut dikriminalisasi dengan stigma ”TKI ilegal”. Masyarakat NTT yang ingin bekerja ke luar negeri diwajibkan melalui saluran resmi perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS).

Alih-alih mengakomodasi jejak historis migrasi ke Sabah yang telah memiliki akar kultural dan kapital sosial, yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan sebagai elemen perlindungan, introduksi kebijakan migrasi modern mencoba mengalihkan wilayah tujuan dari Sabah ke Malaysia semenanjung, Singapura, dan Hongkong.

Kapitalisasi kebijakan migrasi ke luar negeri di wilayah NTT bahkan difasilitasi oleh donor internasional sebagai media mobilisasi sumber daya keuangan (remitansi) yang semakin signifikan menjadi sumber pembiayaan pembangunan tanpa memikirkan aspek perlindungan.

Dengan orientasi kebijakan migrasi yang lebih berorientasi pada ekonomi, yang secara langsung mengambil keuntungan dari operasional penempatan buruh migran dari NTT adalah PPTKIS yang terus tumbuh tak terkendali dan aparat birokrasi dengan instrumen pungutan (baik resmi maupun liar). Sementara idaman buruh migran keluar dari kemiskinan sering kali berakhir dengan penderitaan. Salah satu yang menggegerkan adalah kasus Nirmala Bonat, pertengahan tahun 2004.

Menurut catatan Migrant Care, kasus kekerasan yang dialami buruh migran asal NTT terus meningkat. Penanda paling jelas adalah makin banyaknya jumlah buruh migran NTT di penampungan perwakilan RI di Malaysia dan Singapura. Sebagian besar diberangkatkan oleh PPTKIS, yang selama ini diklaim pemerintah sebagai satu-satunya saluran resmi dan aman untuk penempatan buruh migran Indonesia.


Kasus terakhir yang perlu segera mendapat respons pemerintah adalah ancaman hukuman mati terhadap Wilfrida Soik, buruh migran asal Belu, NTT. Menurut investigasi Migrant Care, Wilfrida Soik saat ditempatkan ke Malaysia masih berusia kanak-kanak dan merupakan korban sindikat perdagangan manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar