|
BARU-baru ini (Agustus 2013) Bank
Indonesia mengeluarkan laporan perkembangan utang luar negeri Indonesia.
Publikasi itu sangat menarik karena data yang tercantum di dalamnya dapat
memberikan dua manfaat.
Kedua manfaat tersebut adalah,
pertama, mengidentifikasikan warisan utang yang ditinggalkan oleh rezim SBY.
Kedua, memproyeksikan pilihan kebijakan, ke arah manakah ekonomi Indonesia akan
bergerak pasca-2014.
Interpretasi peta
Terdapat sejumlah interpretasi yang
dapat diberikan dari kumpulan data yang termuat dalam laporan itu. Pada
intinya, seluruh interpretasi itu akan menjadi warisan bagi siapa pun yang
memimpin Indonesia pada tahun 2014 yang akan datang. Pertama, utang luar negeri
Indonesia, baik itu utang pemerintah (termasuk bank sentral) maupun utang
swasta, terus meningkat dalam satu dasawarsa terakhir. Jika pada tahun 2006
utang Indonesia 132,633 miliar dollar, pada tahun 2013 (tercatat hingga Juni)
telah meningkat menjadi 257,980 miliar dollar AS. Ini berarti terdapat
peningkatan hampir 94 persen. Jika penduduk Indonesia kini diperkirakan 240
juta jiwa, salah satu interpretasi yang dapat dilakukan adalah setiap warga
Indonesia kini berutang sekitar 1.000 dollar AS.
Kedua, persentase peningkatan
tertinggi terjadi di utang swasta. Jika pada 2006 utang swasta 56,813 miliar
dollar AS, pada 2013 meningkat menjadi 133,988 miliar dollar AS. Ini berarti
peningkatan 135,8 persen. Adapun utang pemerintah meningkat sekitar 63,5
persen. Jika pada 2006, utang pemerintah 75,820 miliar dollar AS, pada Juni
2013 tercatat 123,992 miliar dollar AS. Peningkatan drastis jumlah utang swasta
ini setidaknya menyampaikan pesan bahwa pihak swasta telah menjadi pemetik
manfaat utama dari kebijakan liberalisasi lalu lintas modal di Indonesia dalam
satu dasawarsa terakhir.
Ketiga, pihak swasta memiliki
potensi gagal bayar (default) lebih
besar dibandingkan pemerintah. Interpretasi seperti ini muncul dari besaran
beban pembayaran utang dalam kategori jangka pendek. Jumlah utang Indonesia
kategori jangka pendek—pelunasannya kurang dari setahun—per Juni 2013 adalah
46,678 miliar dollar AS. Adapun jumlah utang jangka panjang (lebih dari
setahun) 211,302 miliar dollar AS. Dari besaran utang jangka pendek itu,
persentase swasta 84,79 persen. Untuk utang jangka panjang, situasi sebaliknya
terjadi. Persentase utang pemerintah jauh lebih besar daripada swasta. Utang
jangka panjang pemerintah (termasuk utang BI) adalah 55,32 persen.
Keempat, hingga Desember 2013,
kewajiban pihak swasta untuk pembayaran utang diperkirakan empat kali lebih
besar daripada pemerintah. Untuk pemerintah, utang luar negeri jatuh tempo
diperkirakan 5,591 miliar dollar AS, terdiri dari utang pokok 3,852 miliar
dollar AS dan cicilan utang bunga 1,739 miliar dollar AS. Situasi berbeda
terjadi untuk utang swasta. Jumlah jatuh tempo hingga Desember 2013 adalah
22,266 miliar dollar AS.
Kelima, setelah 2013, yaitu
Januari-Juni 2014 kewajiban pembayaran utang pemerintah diperkirakan 2,647 miliar
dollar AS dengan rincian utang pokok 1,586 miliar dollar AS dan cicilan bunga
1,060 miliar dollar AS. Adapun kewajiban pihak swasta untuk kurun waktu sama
9,808 miliar dollar AS. Ini berarti total kewajiban pembayaran utang luar
negeri pihak swasta setahun ke depan (Juni 2013-Juni 2014) diperkirakan 32,034
miliar dollar AS. Jika kewajiban pembayaran utang pemerintah dengan kewajiban
pembayaran utang swasta digabung, total yang harus dibayar hingga Desember 2014
40,272 miliar dollar AS.
Keenam, alokasi utang terbesar
terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja terkecil. Persentase utang
terbesar kini di sektor keuangan/persewaan dan jasa perusahaan. Jika pada 2006,
persentasenya 25,5 persen, pada 2013 meningkat menjadi 43,1 persen. Peningkatan
cukup cepat juga terjadi di pertambangan dari 4,3 persen menjadi 10,0 persen.
Sektor yang mengalami penurunan utang luar negeri adalah industri manufaktur
dari 15,7 persen menjadi 10,8 persen, infrastruktur untuk listrik, gas, dan air
bersih dari 9,9 persen menjadi 8,1 persen, serta bangunan dari 7,9 persen
menjadi 4,3 persen. Dari data ini, setidaknya bisa diinterpretasikan, utang
luar negeri umumnya telah dialokasikan pada sektor-sektor yang daya serap
tenaga kerjanya paling sedikit. Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 2,4
persen dari pekerja Indonesia, pertambangan 10,6 persen. Pertanian yang
menyerap tenaga kerja terbesar (35,1 persen) hanya menerima 3,1 persen utang
luar negeri.
Ketujuh, bagian terbesar dari utang
luar negeri yang dibuat pihak swasta Indonesia saat ini bukan oleh institusi
bank, melainkan oleh perusahaan keuangan nonbank dan perusahaan nonkeuangan.
Dari utang swasta 133,988 miliar dollar AS per Juni 2013, porsi utang bank
hanya 23,341 miliar dollar AS. Sisanya (110,647 miliar dollar AS) dimiliki
bukan bank dengan komposisi 7,797 miliar dollar AS oleh lembaga keuangan
nonbank dan 102,670 miliar dollar AS oleh perusahaan bukan lembaga keuangan.
Dengan kata lain, posisi lembaga bank sejauh ini tampak tidak menjadi faktor
yang dapat memicu krisis. Ini bukan berarti tidak terdapat sama sekali
kemungkinan krisis di sektor perbankan. Karena bisa saja terdapat kaitan erat
dari bisnis yang dijalankan bank dengan bisnis yang dijalankan oleh lembaga
keuangan nonbank. Angka-angka ini hanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
kalau dilihat dari segi jumlah, bank kini bukan lagi peminjam terbesar
dibandingkan dengan institusi keuangan nonbank.
Kedelapan, dilihat dari mata
uangnya, jumlah utang Indonesia terbesar dalam dollar AS. Persentasenya
mencapai 68 persen. Tahun 2006, persentasenya hanya 58,2 persen. Utang dalam
bentuk rupiah juga meningkat dari 7,2 persen menjadi 13,3 persen. Utang dalam
yen dan euro sebaliknya turun tajam, masing-masing dari 22,9 persen dan 8,2
persen menjadi 12,5 persen dan 2,5 persen. Komposisi utang seperti ini perlu
dicermati dalam kaitannya dengan penguatan dan penurunan nilai tukar
masing-masing mata uang itu. Peningkatan nilai tukar dollar AS terhadap seluruh
mata uang tentu saja akan menambah beban pembayaran utang Indonesia karena
jumlah rupiah yang dibutuhkan jauh lebih besar untuk membayar utang luar negeri
dalam dollar AS itu. Strategi yang biasanya dipakai untuk mengatasi
ketidakpastian nilai tukar ini adalah mendiversifikasikan cadangan devisa dalam
beberapa mata uang.
Kesembilan, dilihat dari negara
kreditornya, terdapat empat aktor negara pemberi utang terbesar, yakni AS,
Belanda, Jepang, dan Singapura, dengan porsi lebih dari 50 persen. Jika
sebelumnya (pada 2006) negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia adalah
Jepang (24,8 persen), disusul Singapura (10,5 persen), AS (9,4 persen), dan
Belanda (8,9 persen), kini pemberi utang terbesar Singapura (17,3 persen),
disusul Jepang (14,2 persen), AS (13,9 persen), dan Belanda (5,2 persen). Data
ini setidaknya menunjukkan bahwa Singapura dan AS kian memiliki peran dan
pengaruh lebih besar terhadap dinamika dan stabilitas ekonomi Indonesia
dibandingkan Jepang dan Singapura. Data ini juga unik karena walau secara
perdagangan kita jadi lebih dekat dengan China, tetapi negeri yang memiliki
cadangan devisa terbesar di dunia tidak memberikan utang yang signifikan bagi
Indonesia.
Kesepuluh, jika dilihat dari
lembaga kreditornya, terdapat tiga lembaga pemberi utang terbesar bagi
Indonesia, yaitu Bank Dunia (IBRD) sekitar 4,0 persen, Bank Pembangunan Asia
(ADB) 4,0 persen, dan IMF 1,1 persen. Ada dua catatan menarik dibandingkan data
2006. Pertama, persentase Bank Dunia dan ADB mengalami penurunan. Porsi
masing-masing pada 2006 adalah 5,6 dan 7,2 persen. Kedua, Indonesia tidak
tercatat memiliki utang kepada IMF pada 2006, dan baru muncul pada 2009 sebesar
3,093 miliar dollar AS. Saat ini (per Juni 2013) utang Indonesia kepada IMF
2,978 miliar dollar AS. Tidak ada penjelasan BI mengapa data utang IMF ini
muncul pada waktu itu.
Skenario kebijakan
Jika kita merujuk pada krisis 1997,
salah satu indikator yang biasanya dapat digunakan untuk menilai potensi krisis
keuangan yang muncul dari beban pembayaran utang itu adalah dengan melihat
rasio antara utang jangka pendek dan besaran cadangan devisa. Pada krisis 1997,
rasio tercatat 170 persen. Jika rasio ini dipakai, situasi sekarang tentu saja
relatif aman. Rasionya jauh lebih rendah daripada 1997. Hingga Juni 2013 rasio
tercatat 55,7 persen dengan cadangan devisa saat ini di kisaran 98 miliar dollar
AS.
Namun, patokan rasio ini juga tidak
memberikan kepastian jaminan yang mutlak. Harus dicatat pula bahwa ketika
Malaysia juga terkena krisis pada 1997, rasio utang jangka pendek negara itu
terhadap cadangan devisanya hanya sekitar 60 persen. Karena itu, satu-satunya
yang bisa dikatakan adalah: ”lampu kuning” tampaknya tengah menyala.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang harus dilakukan pemerintah yang akan
datang untuk membuat ”lampu kuning” itu kembali menjadi ”lampu hijau”?
Ada dua skenario kebijakan yang
tersedia. Pertama, melakukan restrukturisasi utang jangka pendek. Opsi
kebijakan seperti ini tentu saja dapat membawa dampak psikologis negatif bagi
pasar tentang ketahanan ekonomi makro Indonesia. Opsi seperti ini juga dapat
membuat menurunnya pertumbuhan ekonomi makro Indonesia karena mengharuskan
adanya persyaratan cukup ketat dalam mengakses sumber pendanaan. Kedua,
memfokuskan kebijakan pada peningkatan cadangan devisa. Ini berarti menggenjot
ekspor dan mengurangi impor. Pilihan kebijakan ini juga tidak mudah.
Peningkatan ekspor dimungkinkan jika kondisi ekonomi global, terutama China,
membaik. Pengurangan impor, terutama impor energi, hanya dimungkinkan jika
terjadi liberalisasi harga satuan energi di pasar domestik. Pilihan kebijakan
apa pun yang diambil, seluruh kekuatan politik yang ikut dalam pemilu tahun
2014 harus dapat menawarkan opsi kebijakan apakah yang akan diambil untuk
mengatasi warisan suram (grim legacy)
dari beban utang yang telah dihasilkan pemerintah sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar