Sabtu, 26 Oktober 2013

Peta Krisis Utang Indonesia

Peta Krisis Utang Indonesia
Makmur Keliat  ;   Peneliti pada ASEAN Studies Center, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 25 Oktober 2013


BARU-baru ini (Agustus 2013) Bank Indonesia mengeluarkan laporan perkembangan utang luar negeri Indonesia. Publikasi itu sangat menarik karena data yang tercantum di dalamnya dapat memberikan dua manfaat.

Kedua manfaat tersebut adalah, pertama, mengidentifikasikan warisan utang yang ditinggalkan oleh rezim SBY. Kedua, memproyeksikan pilihan kebijakan, ke arah manakah ekonomi Indonesia akan bergerak pasca-2014.

Interpretasi peta

Terdapat sejumlah interpretasi yang dapat diberikan dari kumpulan data yang termuat dalam laporan itu. Pada intinya, seluruh interpretasi itu akan menjadi warisan bagi siapa pun yang memimpin Indonesia pada tahun 2014 yang akan datang. Pertama, utang luar negeri Indonesia, baik itu utang pemerintah (termasuk bank sentral) maupun utang swasta, terus meningkat dalam satu dasawarsa terakhir. Jika pada tahun 2006 utang Indonesia 132,633 miliar dollar, pada tahun 2013 (tercatat hingga Juni) telah meningkat menjadi 257,980 miliar dollar AS. Ini berarti terdapat peningkatan hampir 94 persen. Jika penduduk Indonesia kini diperkirakan 240 juta jiwa, salah satu interpretasi yang dapat dilakukan adalah setiap warga Indonesia kini berutang sekitar 1.000 dollar AS.

Kedua, persentase peningkatan tertinggi terjadi di utang swasta. Jika pada 2006 utang swasta 56,813 miliar dollar AS, pada 2013 meningkat menjadi 133,988 miliar dollar AS. Ini berarti peningkatan 135,8 persen. Adapun utang pemerintah meningkat sekitar 63,5 persen. Jika pada 2006, utang pemerintah 75,820 miliar dollar AS, pada Juni 2013 tercatat 123,992 miliar dollar AS. Peningkatan drastis jumlah utang swasta ini setidaknya menyampaikan pesan bahwa pihak swasta telah menjadi pemetik manfaat utama dari kebijakan liberalisasi lalu lintas modal di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.

Ketiga, pihak swasta memiliki potensi gagal bayar (default) lebih besar dibandingkan pemerintah. Interpretasi seperti ini muncul dari besaran beban pembayaran utang dalam kategori jangka pendek. Jumlah utang Indonesia kategori jangka pendek—pelunasannya kurang dari setahun—per Juni 2013 adalah 46,678 miliar dollar AS. Adapun jumlah utang jangka panjang (lebih dari setahun) 211,302 miliar dollar AS. Dari besaran utang jangka pendek itu, persentase swasta 84,79 persen. Untuk utang jangka panjang, situasi sebaliknya terjadi. Persentase utang pemerintah jauh lebih besar daripada swasta. Utang jangka panjang pemerintah (termasuk utang BI) adalah 55,32 persen.

Keempat, hingga Desember 2013, kewajiban pihak swasta untuk pembayaran utang diperkirakan empat kali lebih besar daripada pemerintah. Untuk pemerintah, utang luar negeri jatuh tempo diperkirakan 5,591 miliar dollar AS, terdiri dari utang pokok 3,852 miliar dollar AS dan cicilan utang bunga 1,739 miliar dollar AS. Situasi berbeda terjadi untuk utang swasta. Jumlah jatuh tempo hingga Desember 2013 adalah 22,266 miliar dollar AS.

Kelima, setelah 2013, yaitu Januari-Juni 2014 kewajiban pembayaran utang pemerintah diperkirakan 2,647 miliar dollar AS dengan rincian utang pokok 1,586 miliar dollar AS dan cicilan bunga 1,060 miliar dollar AS. Adapun kewajiban pihak swasta untuk kurun waktu sama 9,808 miliar dollar AS. Ini berarti total kewajiban pembayaran utang luar negeri pihak swasta setahun ke depan (Juni 2013-Juni 2014) diperkirakan 32,034 miliar dollar AS. Jika kewajiban pembayaran utang pemerintah dengan kewajiban pembayaran utang swasta digabung, total yang harus dibayar hingga Desember 2014 40,272 miliar dollar AS.

Keenam, alokasi utang terbesar terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja terkecil. Persentase utang terbesar kini di sektor keuangan/persewaan dan jasa perusahaan. Jika pada 2006, persentasenya 25,5 persen, pada 2013 meningkat menjadi 43,1 persen. Peningkatan cukup cepat juga terjadi di pertambangan dari 4,3 persen menjadi 10,0 persen. Sektor yang mengalami penurunan utang luar negeri adalah industri manufaktur dari 15,7 persen menjadi 10,8 persen, infrastruktur untuk listrik, gas, dan air bersih dari 9,9 persen menjadi 8,1 persen, serta bangunan dari 7,9 persen menjadi 4,3 persen. Dari data ini, setidaknya bisa diinterpretasikan, utang luar negeri umumnya telah dialokasikan pada sektor-sektor yang daya serap tenaga kerjanya paling sedikit. Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 2,4 persen dari pekerja Indonesia, pertambangan 10,6 persen. Pertanian yang menyerap tenaga kerja terbesar (35,1 persen) hanya menerima 3,1 persen utang luar negeri.

Ketujuh, bagian terbesar dari utang luar negeri yang dibuat pihak swasta Indonesia saat ini bukan oleh institusi bank, melainkan oleh perusahaan keuangan nonbank dan perusahaan nonkeuangan. Dari utang swasta 133,988 miliar dollar AS per Juni 2013, porsi utang bank hanya 23,341 miliar dollar AS. Sisanya (110,647 miliar dollar AS) dimiliki bukan bank dengan komposisi 7,797 miliar dollar AS oleh lembaga keuangan nonbank dan 102,670 miliar dollar AS oleh perusahaan bukan lembaga keuangan. Dengan kata lain, posisi lembaga bank sejauh ini tampak tidak menjadi faktor yang dapat memicu krisis. Ini bukan berarti tidak terdapat sama sekali kemungkinan krisis di sektor perbankan. Karena bisa saja terdapat kaitan erat dari bisnis yang dijalankan bank dengan bisnis yang dijalankan oleh lembaga keuangan nonbank. Angka-angka ini hanya dimaksudkan untuk menyatakan bahwa kalau dilihat dari segi jumlah, bank kini bukan lagi peminjam terbesar dibandingkan dengan institusi keuangan nonbank.

Kedelapan, dilihat dari mata uangnya, jumlah utang Indonesia terbesar dalam dollar AS. Persentasenya mencapai 68 persen. Tahun 2006, persentasenya hanya 58,2 persen. Utang dalam bentuk rupiah juga meningkat dari 7,2 persen menjadi 13,3 persen. Utang dalam yen dan euro sebaliknya turun tajam, masing-masing dari 22,9 persen dan 8,2 persen menjadi 12,5 persen dan 2,5 persen. Komposisi utang seperti ini perlu dicermati dalam kaitannya dengan penguatan dan penurunan nilai tukar masing-masing mata uang itu. Peningkatan nilai tukar dollar AS terhadap seluruh mata uang tentu saja akan menambah beban pembayaran utang Indonesia karena jumlah rupiah yang dibutuhkan jauh lebih besar untuk membayar utang luar negeri dalam dollar AS itu. Strategi yang biasanya dipakai untuk mengatasi ketidakpastian nilai tukar ini adalah mendiversifikasikan cadangan devisa dalam beberapa mata uang.

Kesembilan, dilihat dari negara kreditornya, terdapat empat aktor negara pemberi utang terbesar, yakni AS, Belanda, Jepang, dan Singapura, dengan porsi lebih dari 50 persen. Jika sebelumnya (pada 2006) negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia adalah Jepang (24,8 persen), disusul Singapura (10,5 persen), AS (9,4 persen), dan Belanda (8,9 persen), kini pemberi utang terbesar Singapura (17,3 persen), disusul Jepang (14,2 persen), AS (13,9 persen), dan Belanda (5,2 persen). Data ini setidaknya menunjukkan bahwa Singapura dan AS kian memiliki peran dan pengaruh lebih besar terhadap dinamika dan stabilitas ekonomi Indonesia dibandingkan Jepang dan Singapura. Data ini juga unik karena walau secara perdagangan kita jadi lebih dekat dengan China, tetapi negeri yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia tidak memberikan utang yang signifikan bagi Indonesia.

Kesepuluh, jika dilihat dari lembaga kreditornya, terdapat tiga lembaga pemberi utang terbesar bagi Indonesia, yaitu Bank Dunia (IBRD) sekitar 4,0 persen, Bank Pembangunan Asia (ADB) 4,0 persen, dan IMF 1,1 persen. Ada dua catatan menarik dibandingkan data 2006. Pertama, persentase Bank Dunia dan ADB mengalami penurunan. Porsi masing-masing pada 2006 adalah 5,6 dan 7,2 persen. Kedua, Indonesia tidak tercatat memiliki utang kepada IMF pada 2006, dan baru muncul pada 2009 sebesar 3,093 miliar dollar AS. Saat ini (per Juni 2013) utang Indonesia kepada IMF 2,978 miliar dollar AS. Tidak ada penjelasan BI mengapa data utang IMF ini muncul pada waktu itu.

Skenario kebijakan

Jika kita merujuk pada krisis 1997, salah satu indikator yang biasanya dapat digunakan untuk menilai potensi krisis keuangan yang muncul dari beban pembayaran utang itu adalah dengan melihat rasio antara utang jangka pendek dan besaran cadangan devisa. Pada krisis 1997, rasio tercatat 170 persen. Jika rasio ini dipakai, situasi sekarang tentu saja relatif aman. Rasionya jauh lebih rendah daripada 1997. Hingga Juni 2013 rasio tercatat 55,7 persen dengan cadangan devisa saat ini di kisaran 98 miliar dollar AS.

Namun, patokan rasio ini juga tidak memberikan kepastian jaminan yang mutlak. Harus dicatat pula bahwa ketika Malaysia juga terkena krisis pada 1997, rasio utang jangka pendek negara itu terhadap cadangan devisanya hanya sekitar 60 persen. Karena itu, satu-satunya yang bisa dikatakan adalah: ”lampu kuning” tampaknya tengah menyala. Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang harus dilakukan pemerintah yang akan datang untuk membuat ”lampu kuning” itu kembali menjadi ”lampu hijau”?


Ada dua skenario kebijakan yang tersedia. Pertama, melakukan restrukturisasi utang jangka pendek. Opsi kebijakan seperti ini tentu saja dapat membawa dampak psikologis negatif bagi pasar tentang ketahanan ekonomi makro Indonesia. Opsi seperti ini juga dapat membuat menurunnya pertumbuhan ekonomi makro Indonesia karena mengharuskan adanya persyaratan cukup ketat dalam mengakses sumber pendanaan. Kedua, memfokuskan kebijakan pada peningkatan cadangan devisa. Ini berarti menggenjot ekspor dan mengurangi impor. Pilihan kebijakan ini juga tidak mudah. Peningkatan ekspor dimungkinkan jika kondisi ekonomi global, terutama China, membaik. Pengurangan impor, terutama impor energi, hanya dimungkinkan jika terjadi liberalisasi harga satuan energi di pasar domestik. Pilihan kebijakan apa pun yang diambil, seluruh kekuatan politik yang ikut dalam pemilu tahun 2014 harus dapat menawarkan opsi kebijakan apakah yang akan diambil untuk mengatasi warisan suram (grim legacy) dari beban utang yang telah dihasilkan pemerintah sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar