|
DEKRIMINALISASI penyalah guna narkotika merupakan model
penghukuman nonkriminal sebagai salah satu paradigma hukum modern, yang
bertujuan menekan suplai narkotika ilegal, dan diharapkan mempercepat
penyelesaian masalah narkotika di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
penyalah guna narkotika wajib direhabilitasi. Penyalah guna adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan. Ini
diperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang penempatan
penyalah guna, bahwa korban penyalah guna dan pencandu narkotika ditempatkan ke
dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Dengan demikian, penyalah guna
adalah korban kejahatan narkotika.
Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, 30 Maret 1961,
menghasilkan Single Convention Narcotic Drugs 1961 dan selanjutnya dalam sidang
PBB di Vienna tahun 1972, konvensi ini diubah dengan Protokol 1971. Pada
konvensi ini setiap negara diharuskan mencegah dan merehabilitasi penyalahgunaan
narkotika dengan cara edukasi, perawatan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Sidang PBB Tahun 1988 di Vienna menyepakati bahwa penyalah
guna mendapat sanksi alternatif selain pidana penjara. Sanksi alternatif
tersebut dapat berupa perawatan, edukasi, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
Konvensi-konvensi Internasional tersebut telah diratifikasi
melalui UU Narkotika Nomor 9 Tahun 1976, kemudian disempurnakan menjadi UU
Nomor 22 Tahun 1997 selanjutnya diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 yang saat
ini berlaku, memosisikan penyalah guna sebagai korban yang perlu mendapatkan
perawatan.
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, salah satu
tujuannya yang tercantum dalam Pasal 4 adalah menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pencandu
narkotika. Namun, fakta di lapangan, para penyalah guna dan pencandu narkotika
dihukum penjara.
Terapi
lebih baik
Mengacu tiga peneliti di Portugal, Fatima Trigueros, Paula
Victoria, dan Lucia Diaz, mereka menyimpulkan penyalah guna narkoba ”lebih baik
di terapi daripada dihukum”.
Justin B Shapiro, yang juga melakukan penelitian tahun 2010
di Meksiko, berkesimpulan, ”Menuntut para penyalah guna dan pencandu narkotika
akan menghambur-hamburkan sumber daya penegakan hukum serta mendorong timbulnya
korupsi bagi penegak hukum”.
Dekriminalisasi penyalah guna narkotika telah dipraktikkan di
beberapa negara. Di Belanda, kepemilikan semua jenis narkotika adalah
pelanggaran, tetapi kepemilikan dengan jumlah kecil untuk kepentingan pribadi
hanya pelanggaran ringan. Penyalahgunaan narkotika untuk pribadi ditoleransi
penegak hukum dan ada izin penjualan di coffee shop di Red Line District. Dekriminalisasi model ini
menurunkan pengguna narkotika pemula dan penggunaan hard drugs.
Di Portugal, dekriminalisasi penyalah guna narkotika diatur
dalam Undang-Undang Narkotika Portugal Pasal 2 (1). Pembelian, kepemilikan, dan
penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi selama 10 hari merupakan
pelanggaran administrasi, apabila kepemilikan melebihi batas pemakaian selama
10 hari, secara hukum pemilik narkotika adalah pengedar.
Penyalahgunaan narkotika tetap dilarang. Dampak dari
dekriminalisasi di Portugal adalah penurunan angka penggunaan narkotika usia
produktif, penurunan ketertarikan penggunaan narkotika, penurunan peredaran
narkotika, maupun pengidap HIV, hepatitis, dan kematian akibat penggunaan
narkotika.
Saat ini ada sekitar 23.779 warga binaan pemasyarakatan
merupakan penyalah guna narkotika yang menjalani hukuman pidana. Hal ini terjadi
akibat penyalah guna narkotika diputus hukuman pidana, padahal hakim dapat
memutuskan hukuman berupa tindakan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika.
Faktor kontekstual lain yang memengaruhi penyalah
guna/pengguna mendapat hukuman pidana adalah para penegak hukum yang khusus
menangani penyalahgunaan narkotika tidak mengacu pada ”roh” UU Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Padahal, tujuan dibentuknya undang-undang tercantum
dalam Pasal 4 yang menjamin pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial bagi penyalah guna dan pencandu narkotika.
Peran
penting hakim
UU Nomor 35 Tahun 2009 tentan Narkotika mengatur double track system pemidanaan,
yaitu hakim dapat memutuskan hukuman pidana penjara dan dapat memutuskan
tindakan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika. Hakim berperan sangat
penting—sesuai amanat UU—untuk melakukan dekriminalisasi sehingga permintaan
berkurang. Langkah ini bisa mengurangi suplai yang berdampak pada
penanggulangan masalah narkoba di Indonesia.
Kerangka hukum dekriminalisasi dalam hukum positif di
Indonesia termaktub secara limitatif dalam undang-undang, tetapi belum dapat
dioperasionalkan karena belum ada mekanisme hukum yang membedakan secara
operasional klasifikasi penyalah guna narkotika.
Implementasi dekriminalisasi penyalah guna narkotika di
Indonesia masih terkendala adanya perbedaan penafsiran hukum, tentang unsur
”tanpa hak atau melawan hukum”, budaya hukum, dan pemahaman terhadap tujuan UU
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap penyalah guna narkotika.
Akibatnya, penyalah guna dikonstruksi dengan pasal di luar pasal pengguna
(Pasal 127) yang berorientasi pada bukan tindakan rehabilitasi.
Untuk memfungsikan pelaksanaan dekriminalisasi penyalah guna
narkotika di Indonesia agar negeri kita bebas narkoba, disarankan pembentukan
mekanisme hukum berupa tim kecil di tiap kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat
pusat yang beranggotakan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, dan Koordinator Drug
Control Policy. Tugas dan kewenangan tim kecil ialah menentukan peran
tersangka yang tertangkap tangan atas permintaan penyidik Polri dan BNN,
menentukan kriteria pencandu sesuai jenis kandungan yang dikonsumsi, kondisi
ketika ditangkap dan tempat mengonsumsi serta kondisi situasi ekonomi, serta
menentukan rencana terapi dan jangka waktu penyalah guna direhabilitasi.
Rekomendasi tim kecil bisa menjadi keterangan ahli dalam berkas perkara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar