|
PERDEBATAN setelah terbitnya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Mahkamah Konstitusi sebaiknya diakhiri, mengingat ontologi peraturan ini justru
untuk melegitimasi dan memperkokoh kedudukan hakim-hakim MK.
Berdasarkan perppu ini,
transparansi perekrutan hakim MK bisa terselenggara secara obyektif sehingga
menjamin kepastian hukum kedudukan hakim-hakim MK. Selama ini seleksi hakim MK
terkesan sarat dengan muatan kepentingan politik sehingga memberi peluang
kepada oknum-oknum politisi avonturir menjadikan profesi hakim konstitusi
maupun hakim agung sebagai pilihan spekulatif.
Akibatnya, masih sulit mencari
hakim MK yang punya integritas dan kepribadian tak tercela, adil, dan negarawan
sebagaimana diinginkan Pasal 24C Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Hakim-hakim
MK cenderung ”menolak” pengawasan dari Komisi Yudisial ataupun institusi lain,
dan ini membuat hakim-hakim MK ”lupa diri”. Perppu No 1/2013 tentang MK secara
hakiki bertujuan menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta
mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga negara yang
menjalankan fungsi menegakkan UUD. Asas legalitas dalam negara hukum mewajibkan
segala tindak tanduk pejabat negara harus diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Kemerosotan integritas dan
kepribadian tercela sebagaimana tergambar dari kasus Akil menjadi kriteria
ihwal kepentingan yang memaksa. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 22 Ayat (1)
bahwa dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti UU. Oleh karena itu, mungkin tidak pada
tempatnya dan kurang bijaksana apabila ada kalangan yang bersikap terlalu
skeptis terhadap perppu ini. Sebab, perppu tersebut bertujuan mengubah
ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis
kehormatan hakim konstitusi.
Perppu tentang perubahan kedua atas
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK perlu mendapat dukungan publik, termasuk
harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya sesuai ketentuan
Pasal 22 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sebaliknya, jika perppu
tersebut tidak mendapat persetujuan, perppu tersebut harus dicabut sesuai
ketentuan Pasal 22 Ayat (3). Karenanya, ketentuan Pasal 1 Ayat (4) Perppu No 1
Tahun 2013 menentukan, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah perangkat
yang dibentuk oleh MK dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan perilaku
hakim konstitusi. Ayat (5) Perppu Nomor 1 Tahun 2013 menentukan, Panel Ahli
adalah perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan
kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan
Presiden.
Hakim konstitusi ideal
Ketentuan dalam Perppu Nomor 1
Tahun 2013 tentang perlunya pengawasan terhadap hakim konstitusi, uji kelayakan
dan kepatutan calon hakim konstitusi merupakan ketentuan responsif yang menjadi
harapan masyarakat selama ini. Pasal 18A Ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2013
menentukan, hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1)
sebelum ditetapkan presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan
kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Ayat (2) perppu ini menentukan,
MA, DPR, dan/atau presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli
masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang
dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Ayat (3) menentukan, Panel Ahli
menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud Ayat (2) sesuai jumlah hakim konstitusi yang
dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada MA, DPR, dan/atau presiden. Ketentuan
Ayat (4), dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan
dan kepatutan kurang dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, MA, DPR,
dan/atau presiden mengajukan kembali calon hakim konstitusi lain paling banyak
3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang masih dibutuhkan.
Ketentuan Ayat (5) dalam hal calon
hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sama dengan
jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, MA, DPR, dan/atau presiden dapat
langsung mengajukannya kepada presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan
tambahan paling banyak 3 (tiga) calon hakim konstitusi lain untuk diuji
kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli.
Ayat (6) MA, DPR, dan/atau presiden
memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang
dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya
kepada presiden untuk ditetapkan.
Pilkada
Setelah terbongkarnya skandal suap
Akil Mochtar terkait pilkada, muncul ”gugatan” dari sebagian kalangan yang
menghendaki penyelesaian sengketa pilkada diserahkan kepada Pengadilan Tinggi
dan MA. Namun sebaliknya, kalangan lain menghendaki penyelesaian sengketa
pilkada tetap ditangani MK.
Dari perspektif normatif, perlu
mengkaji hal-hal berikut. Pertama, Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara RI 1945,
menentukan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Oleh
karenanya, pemilihan kepala daerah sesuai ketentuan pasal ini tak bisa
dimasukkan dalam rezim pemilu. Dengan demikian, penanganan sengketa pilkada
jadi kompetensi Pengadilan Tinggi dan MA.
Kedua, Pasal 22E Ayat (2) UUD
Negara RI Tahun 1945 menentukan, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota
DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dan DPD. Salah satu kewenangan MK, sesuai
Pasal 24C Ayat (1) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tersebut, MK kemudian menetapkan pilkada
masuk rezim pemilihan umum. Ketiga, untuk mengefektifkan wewenang MK ke depan,
kiranya penanganan sengketa pilkada tetap ditangani MK dengan meningkatkan
pengawasan dan perbaikan sistem perekrutan calon hakim MK. Pengawasan terhadap
hakim konstitusi akan lebih mudah ketimbang mengawasi hakim-hakim pengadilan
tinggi di semua wilayah provinsi di Tanah Air dalam penanganan sengketa
pilkada. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar