Sabtu, 26 Oktober 2013

Perppu dan Kedudukan Hakim MK

Perppu dan Kedudukan Hakim MK
Yohanes Usfunan  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara
Universitas Udayana Denpasar, Bali
KOMPAS, 25 Oktober 2013


PERDEBATAN setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi sebaiknya diakhiri, mengingat ontologi peraturan ini justru untuk melegitimasi dan memperkokoh kedudukan hakim-hakim MK.

Berdasarkan perppu ini, transparansi perekrutan hakim MK bisa terselenggara secara obyektif sehingga menjamin kepastian hukum kedudukan hakim-hakim MK. Selama ini seleksi hakim MK terkesan sarat dengan muatan kepentingan politik sehingga memberi peluang kepada oknum-oknum politisi avonturir menjadikan profesi hakim konstitusi maupun hakim agung sebagai pilihan spekulatif.

Akibatnya, masih sulit mencari hakim MK yang punya integritas dan kepribadian tak tercela, adil, dan negarawan sebagaimana diinginkan Pasal 24C Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Hakim-hakim MK cenderung ”menolak” pengawasan dari Komisi Yudisial ataupun institusi lain, dan ini membuat hakim-hakim MK ”lupa diri”. Perppu No 1/2013 tentang MK secara hakiki bertujuan menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD. Asas legalitas dalam negara hukum mewajibkan segala tindak tanduk pejabat negara harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kemerosotan integritas dan kepribadian tercela sebagaimana tergambar dari kasus Akil menjadi kriteria ihwal kepentingan yang memaksa. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 22 Ayat (1) bahwa dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU. Oleh karena itu, mungkin tidak pada tempatnya dan kurang bijaksana apabila ada kalangan yang bersikap terlalu skeptis terhadap perppu ini. Sebab, perppu tersebut bertujuan mengubah ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi.

Perppu tentang perubahan kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK perlu mendapat dukungan publik, termasuk harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya sesuai ketentuan Pasal 22 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sebaliknya, jika perppu tersebut tidak mendapat persetujuan, perppu tersebut harus dicabut sesuai ketentuan Pasal 22 Ayat (3). Karenanya, ketentuan Pasal 1 Ayat (4) Perppu No 1 Tahun 2013 menentukan, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh MK dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi. Ayat (5) Perppu Nomor 1 Tahun 2013 menentukan, Panel Ahli adalah perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.

Hakim konstitusi ideal

Ketentuan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang perlunya pengawasan terhadap hakim konstitusi, uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi merupakan ketentuan responsif yang menjadi harapan masyarakat selama ini. Pasal 18A Ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2013 menentukan, hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) sebelum ditetapkan presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Ayat (2) perppu ini menentukan, MA, DPR, dan/atau presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.

Ayat (3) menentukan, Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud Ayat (2) sesuai jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada MA, DPR, dan/atau presiden. Ketentuan Ayat (4), dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan kurang dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, MA, DPR, dan/atau presiden mengajukan kembali calon hakim konstitusi lain paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang masih dibutuhkan.

Ketentuan Ayat (5) dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sama dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, MA, DPR, dan/atau presiden dapat langsung mengajukannya kepada presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan tambahan paling banyak 3 (tiga) calon hakim konstitusi lain untuk diuji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli.

Ayat (6) MA, DPR, dan/atau presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya kepada presiden untuk ditetapkan.

Pilkada

Setelah terbongkarnya skandal suap Akil Mochtar terkait pilkada, muncul ”gugatan” dari sebagian kalangan yang menghendaki penyelesaian sengketa pilkada diserahkan kepada Pengadilan Tinggi dan MA. Namun sebaliknya, kalangan lain menghendaki penyelesaian sengketa pilkada tetap ditangani MK.
Dari perspektif normatif, perlu mengkaji hal-hal berikut. Pertama, Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara RI 1945, menentukan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Oleh karenanya, pemilihan kepala daerah sesuai ketentuan pasal ini tak bisa dimasukkan dalam rezim pemilu. Dengan demikian, penanganan sengketa pilkada jadi kompetensi Pengadilan Tinggi dan MA.


Kedua, Pasal 22E Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menentukan, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dan DPD. Salah satu kewenangan MK, sesuai Pasal 24C Ayat (1) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tersebut, MK kemudian menetapkan pilkada masuk rezim pemilihan umum. Ketiga, untuk mengefektifkan wewenang MK ke depan, kiranya penanganan sengketa pilkada tetap ditangani MK dengan meningkatkan pengawasan dan perbaikan sistem perekrutan calon hakim MK. Pengawasan terhadap hakim konstitusi akan lebih mudah ketimbang mengawasi hakim-hakim pengadilan tinggi di semua wilayah provinsi di Tanah Air dalam penanganan sengketa pilkada.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar