|
SEPERTI
halnya Suriah, Irak akhir-akhir ini kembali diguncang berbagai aksi kekerasan
beragam bentuk, seperti serangan bersenjata, bom mobil, dan bom bunuh diri yang
merenggut nyawa banyak orang. Kemerebakan tindak kekerasan di Irak sekarang
menunjukkan makin memburuknya konflik sektarian di negeri yang pada zaman dulu
terkenal dengan sebutan Mesopotamia itu.
Memburuknya
konflik sektarian itu membuat penderitaan warga Irak makin panjang. Masyarakat
sudah menderita sejak 23 tahun silam, sejak PBB mengembargo total ekonomi
menyusul agresi militer Saddam Hussein atas Kuwait. Perang Teluk Januari-Februari
1991 yang mengakhiri pendudukan tentara Irak di Kuwait, disusul tetap
diberlakukannya sanksi ekonomi internasional, membuat hidup rakyat Irak makin
menderita.
Invasi
militer Amerika Serikat (AS) bersama Sekutu ke Irak 20 Maret 2003 untuk mengakhiri
kekuasaan otoriter Presiden Saddam menjadi awal penyemaian benih konflik
sektarian di Negeri Seribu Satu Malam itu. Perang di Irak selain diwarnai
perang kelompok-kelompok pejuang bersenjata melawan pasukan pendudukan AS
bersama sekutu, juga perang antarmilisi terutama milisi Sunni versus Syiah.
Silang-sengkarut perang Irak sejak 2003 itu sangat sulit diurai dan diatasi.
Penarikan
mundur seluruh pasukan AS dari Irak pada akhir Desember 2011 tidak serta-merta
menciptakan keamanan, perdamaian, demokrasi dan kemakmuran di negara
tersebut. Irak justru makin nyata
terjerumus dalam lembah konflik sektarian berdarah-darah.
Gelombang
konflik Sunni-Syiah memang sempat agak melandai pada periode 2009-2012. Namun,
gelombang konflik tersebut kembali meninggi sejak April 2013, dipicu oleh
bentrok berdarah di Kota Hawijah (Irak Utara) antara pasukan keamanan Irak dan
para demonstran Sunni menewaskan sekurangnya 53 orang.
Sejak itu
rentetan aksi kekerasan terus terjadi nyaris tiap hari. Korban jiwa pun berjatuhan.
Bulan Oktober ini lebih dari 390 orang
tewas. Jumlah korban tewas akibat aksi kekerasan di Irak keseluruhannya sudah
mencapai 5100 orang sepanjang tahun 2013 ini (SM, 19/10/13).
Banyak
pihak mengkhawatirkan meningkatnya aksi kekerasan antara Sunni-Syiah
sekarang akan mengulang kembali
dahsyatnya konflik sektarian pada periode 2006-2007 yang merenggut paksa nyawa
puluhan ribu warga Irak. Itu sebabnya, Ketua Parlemen Irak Osama Al-Nujaifi
menyeru Perdana Menteri (PM) Nouri Al-Maliki segera membubarkan pemerintahannya
yang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum (pemilu) Maret 2010 dan
secepatnya menggelar pemilu untuk membentuk pemerintahan baru.
Persoalannya,
seandainya seruan Nujaifi tersebut dipenuhi, pemerintahan baru hasil pemilu
nanti dipastikan tidak akan mengakhiri penderitaan dan kesengsaraan hidup
segenap masyarakat Irak. Derita rakyat sekarang ini sungguh luar biasa
memrihatinkan. Masyarakat menghadapi problem sosial ekonomi kelewat berat.
Sekitar 4
juta penduduk menghadapi ancaman kelaparan, 2,5 juta jiwa tinggal di kamp-kamp
pengungsian domestik, dan 2 juta lainnya tersebar di luar negeri. Penduduk
umumnya mengalami krisis air bersih dan krisis listrik.
Krisis Sosial
Memang AS
sudah merekomendasikan 53 miliar dolar, 8,7 miliar dolar di antaranya diberikan
menjelang penarikan seluruh pasukan AS Desember 2011, guna membantu
rekonstruksi Irak pascapendudukan AS. Tetapi, hal itu belum berhasil mengatasi
masalah atau krisis sosial ekonomi penduduk yang sangat parah tersebut.
Krisis
sosial ekonomi itu telah makin memperberat penderitaan hidup masyarakat Irak
yang tengah dilanda konflik sektarian antara kaum Sunni yang minoritas dan
Syiah yang mayoritas tadi. Banyaknya kelompok radikal dari kedua faham (aliran)
seperti Barisan Muhammad, Front Jihad, dan loyalis Muqrada Al-Sadr mempersulit
upaya rekonsiliasi nasional. Apa lagi Al-Qaedah of Iraq (AQI) ikut nimbrung
dalam konflik sektarian tersebut: menjadikan upaya rekonsiliasi Irak terlampau
sulit dilakukan.
Memutus
siklus kekerasan di Irak dipandang menjadi langkah paling strategis untuk
mengakhiri rangkaian aksi kekerasan di negeri yang kesohor dengan hikayat
Seribu Satu Malam itu, sebagai langkah awal menciptakan perdamaian sejati demi
pengakhiran penderitaan panjang masyarakat Irak. Masalahnya tentu, langkah konkret
apa yang perlu segera ditempuh?
Penempatan
pasukan perdamaian PBB di Irak, seperti pernah dilakukan di Lebanon, agaknya
menjadi langkah paling rasional dan objektif
yang perlu segera dilakukan. Penempatan pasukan perdamaian PBB di
Lebanon menjadi langkah strategis yang terbukti berhasil menengahi pihak-pihak
berperang dalam perang saudara, yang juga bernuansa sektarian, di Lebanon tahun
1975-1990.
Apabila
PBB memutuskan menerjunkan pasukan perdamaiannya di Irak, langkah tersebut
diharapkan dapat menengahi pihak-pihak berkonflik dan menjadi langkah awal
penting. Bahkan menjadi upaya komprehensif mewujudkan keamanan, perdamaian, dan
demokrasi hakiki demi mengakhiri penderitaan panjang masyarakat Irak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar