|
Setiap orang ingin
dibilang pintar, tetapi publik menolak orang yang sok pintar. Setiap orang
ingin mendapat pendidikan yang tinggi, tetapi publik menolak orang yang
menonjol-nonjolkan gelarnya. Demikianlah publik menghargai karya-karya hebat,
tetapi menolak yang sok hebat. Intelek tetapi tidak sok intelek, kaya tetapi
tidak pamer kekayaan.
Tetapi, bukankah media massa sekarang dipenuhi orang-orang yang senang pamer diri? Pamer Lamborghini dan Ferrari meski lalu lintasnya padat merayap. Pamer rumah mewah meski hasil korupsi. Pamer bahasa Inggris meski 90 persen tata bahasanya ngawur. Pamer ritual keimanan meski tak beriman. Pamer keahlian meski baru pemula dan seterusnya.
Semua itu lalu ditayangkan lewat social media, termasuk social TV. Dari pribadi ditayangkan di Instagram dan YouTube, ditulis lewat berbagai saluran media sosial.
Dalam peradaban kamera ini, praktis semua orang senang berpikir, memotret, dipotret, menanyakan dan dibicarakan, dikomentari dan diberi jempol.
Syahrini
Ketika ibu negara geram terhadap para follower-nya yang mempertanyakan foto-foto yang dia tayangkan di situs Instagram, seorang hairstylist yang banyak digemari kaum hawa mengatakan begini, "Ibu Negara harus belajar dari Syahrini."
Mengapa Syahrini? "Iya, tokoh masyarakat, apalagi orang-orang terkenal, biasa mencari perhatian dan diperhatikan. Kalau tak diperhatikan publik, kan curhatnya hanya bisa ke saya," ujarnya. Lalu, saya bertanya lagi, mengapa Syahrini?
Semua orang tahu Syahrini adalah artis papan atas yang gemar membuat istilah-istilah baru dan tentu saja ia sama seperti Anda dan saya: Kadang kita salah berucap, salah menulis istilah. "Tapi, Syahrini ndablek," ujarnya. Dia terlalu sering memberi istilah-istilah baru. Tapi, bukankah dia berhasil menarik perhatian? Tengok saja penampilan-penampilan barunya yang jadi pembicaraan dan selalu saja ada yang menyukainya. Kata-kata yang diangkatnya kerap menjadi ciri khasnya, tetapi juga selalu dikomentari publik. Kadang sekadar komentar, namun kadang juga cemoohan. "Namun, apa yang dia lakukan begitu kata-katanya di-bully banyak orang di dunia maya?" tanya hairstylist itu.
"Dia hanya lebih banyak mendiamkan, paling-paling berkomentar sedikit, lalu membuat sensasi lagi," ujarnya. Tetapi, begitu selesai menutup sebuah berita yang dialami ibu negara di sebuah sosial media, saya menerima sebuah link tentang ucapan Syahrini yang sudah disunting seorang penggemarnya di situs video YouTube. Saya yakin Anda pun sudah menyaksikannya dan pasti mengaitkannya dengan cara bicara Vicky Prasetyo yang disampaikan dengan penuh percaya diri, namun ternyata justru mengungkapkan aibnya sendiri, yaitu kekacauan berpikir dan sesuatu yang justru ditolak publik.
Azwar Anas
Saat kolom ini saya tulis, di Bandara Soekarno-Hatta duduk seorang tua yang ditemani ajudannya. Pagi pukul 05.10 suaranya berat, menandakan wibawa. Dia bersuara agak keras, meminta diambilkan bubur ayam. Saya menengok ke kanan dan menyaksikan sosok yang masih saya kenal. Tetapi, di ruang VIP itu, di antara para eksekutif muda, tak ada satu pun yang masih mengenalnya.
Azwar Anas, mantan gubernur Sumatera Barat dan pernah menjadi menteri perhubungan dan Menko Kesra yang sangat disegani di era mendiang Soeharto, kini harus berjalan sendiri tanpa perhatian dari orang-orang di sekelilingnya.
Sama seperti ibu negara, artis-artis terkenal, dan pengamat-pengamat politik terkemuka, kita semua kelak mengalami kehidupan biasa yang jauh dari perhatian, jauh dari layanan-layanan khusus.
Perhatian itu menyenangkan karena hidup kita penuh layanan, pujian, dan sanjungan. Tetapi, perhatian yang berlebihan juga menyimpan sejumlah masalah. Tidak ada privasi. Segala hal dikomentari, harus berhati-hati dalam berbicara dan menuliskan perasaan, serta siap menerima berbagai hal yang kurang menyenangkan. Kelak semua itu hilang, apalagi pujian tersebut datang semata karena jabatan atau kedudukan.
Kelak Anda juga harus mengambil minum sendiri, membawa tas sendiri, dan bahkan harus menyebut nama sendiri yang tak lagi dikenal orang seperti yang dialami Azwar Anas, 83, yang saat saya sapa mengatakan, "Saya Azwar Anas".
Ibu negara dan pejabat-pejabat publik memang bukan artis. Artis butuh perhatian untuk menjaga keberlangsungan komersialnya yang tak berlangsung lama. Tetapi, semuanya sama-sama menjalankan camera branding. Syahrini dan artis-artis lainnya tahu persis bahwa penghasilan terbesar mereka telah berubah dari dapur rekaman ke "off air". Apa artinya mendapat uang royalti Rp 1-2 miliar bila dibandingkan dengan sekali tampil menyanyikan tiga-empat buah lagu mendapat Rp 150-200 juta.
Mereka butuh panggung pembicaraan yang mampu mengingatkan kembali para pembuat acara agar nama mereka selalu diingat dan dihadirkan. Tetapi, peradaban kamera itu tengah menggeser sebuah idiom dari cameragenic yang serbafisik (cantik, ganteng, tinggi besar, dan seterusnya) menjadi auragenic.
Aura seseorang yang dulu bisa disembunyikan dalam diam kini justru tampak saat manusia berinteraksi lewat jawaban-jawaban spontan. Aura hanya tampak saat manusia bergerak, berbicara, mengeluh, marah, bereaksi spontan, bahkan saat menulis.
Dan, aura itu tidak dapat lagi disembunyikan, sekali seseorang terlibat dalam media sosial, dalam media interaktif. Betapa pun Anda memolesnya, publik tetap menghendaki sesuatu yang genuine, yang orisinal, namun bukan yang serbasok, yang dilebih-lebihkan. Sebab, sesuatu yang dilebih-lebihkan itu adalah kebohongan dan topeng belaka. Keaslian seseorang yang terungkap dalam peradaban kamera ini seperti dalam buku Camera Branding (2013). ●
Tetapi, bukankah media massa sekarang dipenuhi orang-orang yang senang pamer diri? Pamer Lamborghini dan Ferrari meski lalu lintasnya padat merayap. Pamer rumah mewah meski hasil korupsi. Pamer bahasa Inggris meski 90 persen tata bahasanya ngawur. Pamer ritual keimanan meski tak beriman. Pamer keahlian meski baru pemula dan seterusnya.
Semua itu lalu ditayangkan lewat social media, termasuk social TV. Dari pribadi ditayangkan di Instagram dan YouTube, ditulis lewat berbagai saluran media sosial.
Dalam peradaban kamera ini, praktis semua orang senang berpikir, memotret, dipotret, menanyakan dan dibicarakan, dikomentari dan diberi jempol.
Syahrini
Ketika ibu negara geram terhadap para follower-nya yang mempertanyakan foto-foto yang dia tayangkan di situs Instagram, seorang hairstylist yang banyak digemari kaum hawa mengatakan begini, "Ibu Negara harus belajar dari Syahrini."
Mengapa Syahrini? "Iya, tokoh masyarakat, apalagi orang-orang terkenal, biasa mencari perhatian dan diperhatikan. Kalau tak diperhatikan publik, kan curhatnya hanya bisa ke saya," ujarnya. Lalu, saya bertanya lagi, mengapa Syahrini?
Semua orang tahu Syahrini adalah artis papan atas yang gemar membuat istilah-istilah baru dan tentu saja ia sama seperti Anda dan saya: Kadang kita salah berucap, salah menulis istilah. "Tapi, Syahrini ndablek," ujarnya. Dia terlalu sering memberi istilah-istilah baru. Tapi, bukankah dia berhasil menarik perhatian? Tengok saja penampilan-penampilan barunya yang jadi pembicaraan dan selalu saja ada yang menyukainya. Kata-kata yang diangkatnya kerap menjadi ciri khasnya, tetapi juga selalu dikomentari publik. Kadang sekadar komentar, namun kadang juga cemoohan. "Namun, apa yang dia lakukan begitu kata-katanya di-bully banyak orang di dunia maya?" tanya hairstylist itu.
"Dia hanya lebih banyak mendiamkan, paling-paling berkomentar sedikit, lalu membuat sensasi lagi," ujarnya. Tetapi, begitu selesai menutup sebuah berita yang dialami ibu negara di sebuah sosial media, saya menerima sebuah link tentang ucapan Syahrini yang sudah disunting seorang penggemarnya di situs video YouTube. Saya yakin Anda pun sudah menyaksikannya dan pasti mengaitkannya dengan cara bicara Vicky Prasetyo yang disampaikan dengan penuh percaya diri, namun ternyata justru mengungkapkan aibnya sendiri, yaitu kekacauan berpikir dan sesuatu yang justru ditolak publik.
Azwar Anas
Saat kolom ini saya tulis, di Bandara Soekarno-Hatta duduk seorang tua yang ditemani ajudannya. Pagi pukul 05.10 suaranya berat, menandakan wibawa. Dia bersuara agak keras, meminta diambilkan bubur ayam. Saya menengok ke kanan dan menyaksikan sosok yang masih saya kenal. Tetapi, di ruang VIP itu, di antara para eksekutif muda, tak ada satu pun yang masih mengenalnya.
Azwar Anas, mantan gubernur Sumatera Barat dan pernah menjadi menteri perhubungan dan Menko Kesra yang sangat disegani di era mendiang Soeharto, kini harus berjalan sendiri tanpa perhatian dari orang-orang di sekelilingnya.
Sama seperti ibu negara, artis-artis terkenal, dan pengamat-pengamat politik terkemuka, kita semua kelak mengalami kehidupan biasa yang jauh dari perhatian, jauh dari layanan-layanan khusus.
Perhatian itu menyenangkan karena hidup kita penuh layanan, pujian, dan sanjungan. Tetapi, perhatian yang berlebihan juga menyimpan sejumlah masalah. Tidak ada privasi. Segala hal dikomentari, harus berhati-hati dalam berbicara dan menuliskan perasaan, serta siap menerima berbagai hal yang kurang menyenangkan. Kelak semua itu hilang, apalagi pujian tersebut datang semata karena jabatan atau kedudukan.
Kelak Anda juga harus mengambil minum sendiri, membawa tas sendiri, dan bahkan harus menyebut nama sendiri yang tak lagi dikenal orang seperti yang dialami Azwar Anas, 83, yang saat saya sapa mengatakan, "Saya Azwar Anas".
Ibu negara dan pejabat-pejabat publik memang bukan artis. Artis butuh perhatian untuk menjaga keberlangsungan komersialnya yang tak berlangsung lama. Tetapi, semuanya sama-sama menjalankan camera branding. Syahrini dan artis-artis lainnya tahu persis bahwa penghasilan terbesar mereka telah berubah dari dapur rekaman ke "off air". Apa artinya mendapat uang royalti Rp 1-2 miliar bila dibandingkan dengan sekali tampil menyanyikan tiga-empat buah lagu mendapat Rp 150-200 juta.
Mereka butuh panggung pembicaraan yang mampu mengingatkan kembali para pembuat acara agar nama mereka selalu diingat dan dihadirkan. Tetapi, peradaban kamera itu tengah menggeser sebuah idiom dari cameragenic yang serbafisik (cantik, ganteng, tinggi besar, dan seterusnya) menjadi auragenic.
Aura seseorang yang dulu bisa disembunyikan dalam diam kini justru tampak saat manusia berinteraksi lewat jawaban-jawaban spontan. Aura hanya tampak saat manusia bergerak, berbicara, mengeluh, marah, bereaksi spontan, bahkan saat menulis.
Dan, aura itu tidak dapat lagi disembunyikan, sekali seseorang terlibat dalam media sosial, dalam media interaktif. Betapa pun Anda memolesnya, publik tetap menghendaki sesuatu yang genuine, yang orisinal, namun bukan yang serbasok, yang dilebih-lebihkan. Sebab, sesuatu yang dilebih-lebihkan itu adalah kebohongan dan topeng belaka. Keaslian seseorang yang terungkap dalam peradaban kamera ini seperti dalam buku Camera Branding (2013). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar