|
Dokter Indonesia memang telah
mengukirkan sejarahnya dalam gerakan memperjuangkan kemerdekaan Negara Republik
Indonesia.
Siapa pun warga negara Republik Indonesia, pasti mengakui dan tidak mungkin menutup mata untuk tidak mengenal dr Wahidin Sudirohusodo, dr Soetomo, dr Cipto Mangunkusumo, dan yang lainnya. Mereka adalah dokter-dokter yang sadar akan hak dan kewajibannya serta perannya kepada umat manusia dan bangsanya. Hal di atas merupakan fakta sejarah peran serta dokter pada proses pembentukan fondasi negara Indonesia pada awal abad kedua puluh. Bagaimana keberadaan figur dokter pribumi sebagai pelopor semangat nasionalisme dan kesadaran berbangsa.
Eratnya jalinan benang merah keberadaan dokter dengan lahirnya semangat tersebut, tidak terlepas dari watak yang dibentuk melalui proses pendidikan kedokteran disertai sumpah serta etika yang harus dipatuhinya sebagai seorang dokter. Sejarah pula yang mencatat bahwa kelompok pertama yang menginisiasi semangat nasionalisme adalah dokter. Sebuah semangat, yang kemudian menjadi embrio kesadaran dan kemandirian berbangsa dan bernegara, sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional. Sebuah momentum yang akhirnya mendorong proses menuju kemerdekaan bangsa.
Dan, hasil dari proses tersebut membuktikan bahwa untuk merdeka dan menjadi bangsa yang terhormat harus dilandasi dengan kesadaran berbangsa serta rasa nasionalisme yang tinggi. Hari kebangkitan juga menjadi awal pergerakan nasional untuk menuju kemerdekaan bangsa. Sebuah pergerakan yang memiliki visi dan tujuan “Kedudukan Bangsa yang Terhormat”. Peran kesejarahan dokter Indonesia berlanjut pada fasefase memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa komunitas dokter Indonesia termasuk dalam kelompok yang dalam situasi kritis, secara objektif akan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau golongannya. Keterpanggilan atas peran tersebut dimungkinkan karena sejalan dengan nilai-nilai luhur dan kultur profesi kedokteran yang sarat dengan nilai altruisme serta berhubungan langsung dengan nilai humanisme dan dijiwai oleh semangat sumpah dokternya.
*** Selama ini peran dokter lebih terlihat pada upaya penyehatan fisik. Para dokter telah terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Para dokter akhirnya hanya memahami bahwa ilmu kedokteran hanyalah mempelajari segala sesuatu tentang penyakit. Peran dokter tereduksi secara tidak sadar dan telah berlangsung sekian lama. Fungsi dokter hanya menjadi agent of treatment. Akibatnya kewajiban untuk menyehatkan rakyat hanya sekedar mengobati pasien yang sakit.
Dokter lupa bahwa selain melakukan intervensi fisik, juga harus berperan dalam intervensi mental dan sosial di tengah masyarakat. Dokter dalam kiprahnya saat ini dan masa mendatang seyogianya menerapkan dalam perannya sebagai “pemimpin-intelektual-profesional”, yang tugasnya antara lain sebagai agent of treatment, agent of change, dan agent of development. WHO baru tahun 1994 mengidentifikasikan kiprah ini dan menyebutnya sebagai “the five star doctors”, yaitu community leader, communicator, manager, decision maker, dan care provider.
Pada dasarnya, dokter adalah bagian dari kelompok intelektual yang dalam menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat dan dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala tindakannya. Nilai profesi itu antara lain adalah kemanusiaan, etika dan kompetensi. Nilai profesi ini yang menjadi dasar keprofesian dokter dalam menjalankan profesionalismenya. Di mana pun dokter ditempatkan, selayaknya harus menjalankan peran intelektual profesional.
Karena itu, peran dokter saat ini harus dikembalikan kepada peran dokter yang dicontohkan oleh Dokter Wahidin dan kawan- kawan. Dokter tidak hanya menjadi agent of treatment, tapi juga harus menjadi emansipator untuk menularkan nilai profesi dan kecendekiawanannya sehingga membuatnya menjadikan agent of mental social change dan agent of development dalam pembangunan bangsa. Dapatkah cita-cita yang ditanamkan oleh dr Wahidin dkk dengan menempatkan profesi dokter sebagai “leading profession” kembali dicapai pada masa sekarang?
Apakah para dokter Indonesia saat ini dapat menjadi “pemimpin intelektual profesional”? Peranan apa yang dapat dilanjutkan oleh para dokter yang hidup lebih dari seabad setelah era dokter Wahidin dkk tersebut? Pemahaman akan peranan dokter dalam pembangunan bangsa inilah yang harus dikedepankan pada peringatan 63 tahun pengabdian Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang jatuh hari ini. Momen ini harus menjadi momentum untuk merekonstruksi peran dan bakti para dokter kepada bangsanya.
Bung Hatta (1933) pernah menyatakan: “Kalau kita harapkan tabib dari luar, kita akan menunggu orang yang tidak akan datang; yang sanggup mengobatinya banyak atau sedikit ialah rakyat kita sendiri. Dan pokok segala usaha ialah kemauan yang tetap. Kemauan itulah yang harus kita bangkitkan. Itulah dasarnya self help yang senantiasa menjadi buah bibir kita. Rakyat kita sebagian besar adalah rakyat yang kena sugesti (pukau) ketidakmampuan. Pukul dan bunuh sugesti itu dengan propaganda dan contoh.” Kini dengan makin berkembangnya peradaban manusia, organisasi IDI pun dituntut untuk mengembangkan peran-peran strategisnya.
Peran strategis yang akan dikembangkan di masa depan selain karena anggotanya adalah profesional kesehatan. IDI juga dituntut untuk memerankan diri sebagai organisasi orang-orang terpelajar atau cendekiawan. Peran di atas bukan hal yang mustahil bagi IDI, mengingat IDI beranggotakan orangorang terdidik atau sarjana. Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini adalah bagaimana agar organisasi IDI dengan seluruh jajarannya dapat merevitalisasi dan merekonstruksi peran pengabdiannya sehingga dapat menciptakan kader-kader bangsa yang mampu memerankan fungsi dan peran sebagai “pemimpin intelektual profesional”.
Di sektor kesehatan, IDI dan anggotanya diharapkan melebarkan lapangan pengabdiannya dengan berkontribusi seluas- luasnya dalam upaya menyehatkan bangsa secara komprehensif (fisik, mental, dan sosial). Namun demikian, di luar lapangan kesehatan pun tidak tertutup bagi IDI dan anggotanya untuk melakukan Rekonstruksi Kepemimpinan Dokter Indonesia. Ke depan bukan sesuatu yang tidak mungkin, semakin banyak anggota IDI yang berkiprah di sektor pengambilan keputusan dalam makna yang lebih luas.
Di masa mendatang semakin banyak dokter yang berperan sebagai “subjek”. Hal yang sama, juga semakin terbuka kemungkinan bagi dokter Indonesia untuk tampil menjadi pemimpin bangsa, baik secara formal maupun nonformal, bahkan menjadi seorang negarawan sekalipun. Peluang menjalankan peran tersebut tentu selalu ada bila IDI dan anggotanya berupaya untuk itu.
Potensi untuk menjadi pemimpin bangsa dan menjadi negarawan, menjadi penyangga di tengah rakyat dan bangsanya juga dipunyai oleh dokter-dokter Indonesia. Dan tentunya, pemimpin yang dilahirkan akan menyanggah pada peran-peran mewujudkan Indonesia Sehat yang berdaulat. Berdaulat dengan membangun kemandirian bangsa. Lebih dari itu, kemandirian adalah dasar dari kehormatan dan martabat bangsa. ●
Siapa pun warga negara Republik Indonesia, pasti mengakui dan tidak mungkin menutup mata untuk tidak mengenal dr Wahidin Sudirohusodo, dr Soetomo, dr Cipto Mangunkusumo, dan yang lainnya. Mereka adalah dokter-dokter yang sadar akan hak dan kewajibannya serta perannya kepada umat manusia dan bangsanya. Hal di atas merupakan fakta sejarah peran serta dokter pada proses pembentukan fondasi negara Indonesia pada awal abad kedua puluh. Bagaimana keberadaan figur dokter pribumi sebagai pelopor semangat nasionalisme dan kesadaran berbangsa.
Eratnya jalinan benang merah keberadaan dokter dengan lahirnya semangat tersebut, tidak terlepas dari watak yang dibentuk melalui proses pendidikan kedokteran disertai sumpah serta etika yang harus dipatuhinya sebagai seorang dokter. Sejarah pula yang mencatat bahwa kelompok pertama yang menginisiasi semangat nasionalisme adalah dokter. Sebuah semangat, yang kemudian menjadi embrio kesadaran dan kemandirian berbangsa dan bernegara, sehingga melahirkan gerakan kebangkitan nasional. Sebuah momentum yang akhirnya mendorong proses menuju kemerdekaan bangsa.
Dan, hasil dari proses tersebut membuktikan bahwa untuk merdeka dan menjadi bangsa yang terhormat harus dilandasi dengan kesadaran berbangsa serta rasa nasionalisme yang tinggi. Hari kebangkitan juga menjadi awal pergerakan nasional untuk menuju kemerdekaan bangsa. Sebuah pergerakan yang memiliki visi dan tujuan “Kedudukan Bangsa yang Terhormat”. Peran kesejarahan dokter Indonesia berlanjut pada fasefase memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa komunitas dokter Indonesia termasuk dalam kelompok yang dalam situasi kritis, secara objektif akan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau golongannya. Keterpanggilan atas peran tersebut dimungkinkan karena sejalan dengan nilai-nilai luhur dan kultur profesi kedokteran yang sarat dengan nilai altruisme serta berhubungan langsung dengan nilai humanisme dan dijiwai oleh semangat sumpah dokternya.
*** Selama ini peran dokter lebih terlihat pada upaya penyehatan fisik. Para dokter telah terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Para dokter akhirnya hanya memahami bahwa ilmu kedokteran hanyalah mempelajari segala sesuatu tentang penyakit. Peran dokter tereduksi secara tidak sadar dan telah berlangsung sekian lama. Fungsi dokter hanya menjadi agent of treatment. Akibatnya kewajiban untuk menyehatkan rakyat hanya sekedar mengobati pasien yang sakit.
Dokter lupa bahwa selain melakukan intervensi fisik, juga harus berperan dalam intervensi mental dan sosial di tengah masyarakat. Dokter dalam kiprahnya saat ini dan masa mendatang seyogianya menerapkan dalam perannya sebagai “pemimpin-intelektual-profesional”, yang tugasnya antara lain sebagai agent of treatment, agent of change, dan agent of development. WHO baru tahun 1994 mengidentifikasikan kiprah ini dan menyebutnya sebagai “the five star doctors”, yaitu community leader, communicator, manager, decision maker, dan care provider.
Pada dasarnya, dokter adalah bagian dari kelompok intelektual yang dalam menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat dan dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala tindakannya. Nilai profesi itu antara lain adalah kemanusiaan, etika dan kompetensi. Nilai profesi ini yang menjadi dasar keprofesian dokter dalam menjalankan profesionalismenya. Di mana pun dokter ditempatkan, selayaknya harus menjalankan peran intelektual profesional.
Karena itu, peran dokter saat ini harus dikembalikan kepada peran dokter yang dicontohkan oleh Dokter Wahidin dan kawan- kawan. Dokter tidak hanya menjadi agent of treatment, tapi juga harus menjadi emansipator untuk menularkan nilai profesi dan kecendekiawanannya sehingga membuatnya menjadikan agent of mental social change dan agent of development dalam pembangunan bangsa. Dapatkah cita-cita yang ditanamkan oleh dr Wahidin dkk dengan menempatkan profesi dokter sebagai “leading profession” kembali dicapai pada masa sekarang?
Apakah para dokter Indonesia saat ini dapat menjadi “pemimpin intelektual profesional”? Peranan apa yang dapat dilanjutkan oleh para dokter yang hidup lebih dari seabad setelah era dokter Wahidin dkk tersebut? Pemahaman akan peranan dokter dalam pembangunan bangsa inilah yang harus dikedepankan pada peringatan 63 tahun pengabdian Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang jatuh hari ini. Momen ini harus menjadi momentum untuk merekonstruksi peran dan bakti para dokter kepada bangsanya.
Bung Hatta (1933) pernah menyatakan: “Kalau kita harapkan tabib dari luar, kita akan menunggu orang yang tidak akan datang; yang sanggup mengobatinya banyak atau sedikit ialah rakyat kita sendiri. Dan pokok segala usaha ialah kemauan yang tetap. Kemauan itulah yang harus kita bangkitkan. Itulah dasarnya self help yang senantiasa menjadi buah bibir kita. Rakyat kita sebagian besar adalah rakyat yang kena sugesti (pukau) ketidakmampuan. Pukul dan bunuh sugesti itu dengan propaganda dan contoh.” Kini dengan makin berkembangnya peradaban manusia, organisasi IDI pun dituntut untuk mengembangkan peran-peran strategisnya.
Peran strategis yang akan dikembangkan di masa depan selain karena anggotanya adalah profesional kesehatan. IDI juga dituntut untuk memerankan diri sebagai organisasi orang-orang terpelajar atau cendekiawan. Peran di atas bukan hal yang mustahil bagi IDI, mengingat IDI beranggotakan orangorang terdidik atau sarjana. Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini adalah bagaimana agar organisasi IDI dengan seluruh jajarannya dapat merevitalisasi dan merekonstruksi peran pengabdiannya sehingga dapat menciptakan kader-kader bangsa yang mampu memerankan fungsi dan peran sebagai “pemimpin intelektual profesional”.
Di sektor kesehatan, IDI dan anggotanya diharapkan melebarkan lapangan pengabdiannya dengan berkontribusi seluas- luasnya dalam upaya menyehatkan bangsa secara komprehensif (fisik, mental, dan sosial). Namun demikian, di luar lapangan kesehatan pun tidak tertutup bagi IDI dan anggotanya untuk melakukan Rekonstruksi Kepemimpinan Dokter Indonesia. Ke depan bukan sesuatu yang tidak mungkin, semakin banyak anggota IDI yang berkiprah di sektor pengambilan keputusan dalam makna yang lebih luas.
Di masa mendatang semakin banyak dokter yang berperan sebagai “subjek”. Hal yang sama, juga semakin terbuka kemungkinan bagi dokter Indonesia untuk tampil menjadi pemimpin bangsa, baik secara formal maupun nonformal, bahkan menjadi seorang negarawan sekalipun. Peluang menjalankan peran tersebut tentu selalu ada bila IDI dan anggotanya berupaya untuk itu.
Potensi untuk menjadi pemimpin bangsa dan menjadi negarawan, menjadi penyangga di tengah rakyat dan bangsanya juga dipunyai oleh dokter-dokter Indonesia. Dan tentunya, pemimpin yang dilahirkan akan menyanggah pada peran-peran mewujudkan Indonesia Sehat yang berdaulat. Berdaulat dengan membangun kemandirian bangsa. Lebih dari itu, kemandirian adalah dasar dari kehormatan dan martabat bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar