|
POLRI
akan dipimpin Kapolri baru: Komisaris Jenderal Sutarman. Meski Sutarman masih
akan berdinas aktif hingga Oktober 2015, sulit dipastikan presiden yang
terpilih tahun depan akan tetap mempertahankan Sutarman sekitar Oktober 2014. Itu
berarti fungsi Kapolri yang sekarang lebih pada masa transisi, dengan perkiraan
masa tugas efektif 1-1,5 tahun. Sangat sulit berharap kepemimpinan transisi
sesingkat itu menghasilkan perubahan luar biasa pada sebuah institusi sebesar
Polri, yang posturnya sekitar 400.000 personel dengan citra publik yang tidak
jauh dari titik nadir.
Apa yang bisa diharapkan dari Kapolri baru? Hanya satu:
meletakkan landasan sistemik bagi renegerasi dan kepemimpinan selanjutnya. Kata
kuncinya hanya satu pula: pembenahan sumber daya manusia (SDM). Produk tiga
pilar reformasi Polri (instrumental, struktural, kultural) mandek pada aspek
kultural. Self-assessmentinternal juga menegaskan: sumber seluruh
persoalan polisi terletak pada SDM.
Langkah
pertama
Langkah pertama bisa dilakukan dari perwira tinggi (pati).
Pada masa awal Kapolri Timur Pradopo, ada kelebihan sekitar 40 pati di luar
matriks jabatan dan nonstruktural. Pada transisi kali ini, jumlah itu sudah
berkurang setengahnya, tetapi masih tetap inflasi. Matriks ideal hanya
menyediakan posisi bagi 160-180 pati, sudah termasuk di posisi nonstruktural
(penugasan di luar Polri).
Problem kedua pada manaje- men atas ini: rentang cohort (usia) dan batch (angkatan). Pada awal periode
Timur Pradopo rentang itu 13 tahun. Pati paling senior dari Angkatan (Akpol)
1974 dan paling yunior dari Akpol 1987. Rentang sejauh itu jelas makan korban
sejumlah angkatan yang kurang mampu bermanuver dalam politik internal Polri.
Korban itu termasuk Angkatan Sutarman (1981), yang hanya menghasilkan satu
bintang tiga, satu bintang dua, dan segelintir bintang satu.
Kini Sutarman memulainya dengan konstruksi rentang angkatan
yang lebih baik: sembilan tahun. Jenderal tertua dari Akpol 1978 dan termuda
Akpol 1988. Padahal, mengingat masa pakai pati, rentang ideal enam tahun. Di
masa Sutarman nanti, potensi korban dipikul Akpol 1986. Gejalanya sudah tampak
dari struktur dan persentase jumlah pati per angkatan dalam rentang sembilan
tahun itu.
Kondisi serupa ditemui pada jenjang perwira menengah (pamen).
Jumlah KBP (kombes pol) inflasi 300 lebih; AKBP kelebihan hampir 1.000
personel; makin ke bawah jumlahnya makin besar. Bahkan, di jenjang paling bawah
ada masalah dengan dihidupkannya kembali pangkat tamtama yang sesungguhnya
bertabrakan dengan peraturan dan tuntutan fungsional yang ada.
Tak sulit mendeteksi keresahan yang muncul. Cukup datangi
tempat makan atau masjid di sekitar Mabes Polri atau polda. Sebagian KBP yang
frustrasi malah membentuk Kelompok KBP Kantor Pos. Purnawirawan KBP nanti akan
mengambil pensiun di kantor pos. Jadi mereka sudah siap-siap pensiun meski usia
dinas aktif masih sekitar 10 tahun. Ini kerugian luar biasa bagi Polri dan
negara karena energi untuk mencetak KBP jelas tak sedikit.
Setidaknya dua sebab bagi terbentuknya struktur pati dan
pamen seperti itu yang berakibat pada keresahan dan frustrasi. Pertama, kurang
berlakunya merit system dalam penjenjangan karier. Good cops tak dapat reward yang pantas, bad cops tak diberi punishment memadai.
Perwira yang sudah berdarah- darah membangun institusi tiba-
tiba disalip perwira ”lewat jalan tol”. Contohnya, perwira terbaik dikirim
menjadi penyidik KPK. Ketika masa tugas usai dan kembali ke Polri, mereka sulit
memperoleh posisi strategis. Sebaliknya, perwira yang sudah menjadi mummy karena
berkasus tiba-tiba bangkit lagi di jabatan basah.
Kedua, inkonsistensi kebijakan. Contohnya syarat pendidikan
menjadi pati adalah menjalani Sespati (sekarang Sespimti), atau Lemhannas
(PPRA). Namun, banyak lulusan yang setengah menganggur terus-menerus. Bahkan,
ada kebijakan 10 alumnus terbaik Sespimti dikirim lagi ke PPRA Lemhannas,
disiapkan sebagai prioritas pati. Pada kenyataan angkatan pertama eksperimen
ini baru tujuh yang menjadi pati, disalip mereka yang sebelumnya tak
diprioritaskan.
Dampak dari kondisi SDM seperti itu terasa sekali pada
tampilan kapasitas dan kapabilitas eksternal Polri. Perwira lebih banyak yang
mencari job dengan tanggung
jawab ringan tetapi basah. Mereka menghindari penugasan dengan risiko tinggi
karena kalau gagal karier akan habis, sementara kalau berhasil, reward-nya tak jelas dan tak pasti.
Gaya
hidup
Gaya hidup para perwira muda sangat memprihatinkan. Dengan
mudah setiap hari dapat dijumpai perwira muda yang nampang di mal
papan tengah dan atas: naik mobil bermerek dan kelas menengah, menggandeng
pasangan cantik, dan mengenakan barang bermerek. Karena tidak ada standar
etika, parkiran STIK (PTIK) seperti showroom mobil.
Jadi, kinerja Polri yang dinilai buruk oleh masyarakat selama
ini bukan lagi ekses karena merupakan produk dari kondisi internal SDM. Kunci
keberhasilan kepemimpinan Kapolri transisi terletak pada kebijakan penataan
SDM. Harus drastis dan radikal sebab waktu Sutarman tak lama.
Apa yang bisa dilakukan Kapolri baru? Pertama-tama, ia harus
mencari asisten SDM Kapolri yang mampu merestrukturisasi postur angkatan serta
berani menolak titipan karier dari politisi, pejabat, dan pengusaha. Dalam
periode tahun politik hingga akhir periode Presiden SBY (dan karenanya juga
masa jabatan Sutarman), tekanan politik (terutama titip-menitip ”tanaman keras”
di tubuh personalia Polri) adalah keniscayaan.
Pada kebijakan makro SDM, As-SDM juga harus berani menyetop
tekanan arus pamen ke pati dan pama ke pamen. Pangkat tertinggi bagi karier
profesional menjadi polisi adalah KBP, selebihnya kapasitas manajemen. Begitu
pula dengan rem karier bagi front-line
officers yang berhenti pada pangkat AKP sebagai jenjang tertinggi
pama. Banyak inisiatif jenis reward yang
bisa di- berikan bagi pamen tanpa mengangkat mereka sebagai pati, dan bagi pama
tanpa mengangkat menjadi pamen.
Masalah yang dihadapi Kapolri baru bukan lagi akut, melainkan
kronis. Kapolri harus bersikap it’s
late, but it’s not too late. Kebijakan SDM apa pun memang sudah terlambat,
tetapi belum terlalu terlambat. Kondisinya masih bisa diselamatkan, asal Sutarman
mengangkat sejumlah ”anjing herder” pada pos- pos utama. Mereka harus mampu
menjaga marwahnya sebagai Kapolri.
As-SDM, misalnya, tak boleh orang yang ingin membangunkan
para mumi. Jika Sutarman gagal mereformasi Polri dalam satu tahun ke depan,
bangsa ini harus ikut bertanggung jawab. Tidak ada kepolisian yang terpisah
dari lingkungannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar