Sabtu, 26 Oktober 2013

Mobil Murah dan UMKM

Mobil Murah dan UMKM
Paul Sutaryono  ;  Pengamat Perbankan
KORAN SINDO, 25 Oktober 2013



Usai sudah hajatan pameran mobil pada September 2013 di Jakarta yang mengusung mobil irit BBM dan ramah lingkungan dengan tema program low cost green car (LCGC) alias mobil murah. Namun, pro dan kontra belum selesai. 

Bagaimana alternatif solusinya? Menggandeng mesra usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Kita lirik dulu penjualan mobil. Mobil terjual 300.569 unit pada 2001, 317.749 (2002), 354.331 (2003), 483.170 (2004), 533.922 (2005), 318.904 (2006), 434.473 (2007), 607.805 (2008), 486.061 (2009), 764.709 (2010), 894.164 (2011), 1.116.230 (2012) dan 601.952 (kuartal I/2013) (KORAN SINDO, 20 September 2013). Jadi, selama 11 tahun terakhir (2001–2012) penjualan mobil melejit 271,37%, lima tahun terakhir (2008–2012) melesat 83,65% dan tiga tahun terakhir (2010–2012) 45,97%. Kini hingga kuartal I/2013 penjualan mobil sudah mencapai 601.952 unit yang berarti 53,93% dari angka penjualan akhir 2012. 

Madu dan Racun 

Sesungguhnya, LCGC itu memiliki madu dan racun. Apa saja? Pertama, menyuburkan kredit kendaraan bermotor. Kondisi ekonomi nasional yang sedang temaram ini, sudah barang tentu akan sedikit menekan bisnis automotif. Untuk itu, LCGC itu akan memberikan pupuk untuk menyuburkan pertumbuhan kredit kendaraan bermotor bagi bank nasional dan perusahaan pembiayaan (multifinance). 

Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), Agustus 2013 yang terbit pertengahan Oktober 2013 mencatat pertumbuhan pembiayaan didominasi anjak piutang (factoring) yang meningkat signifikan 50,72% dari Rp4,14 triliun per Agustus 2012 menjadi Rp6,24 triliun per Agustus 2013. Hal itu diikuti pembiayaan konsumen yang tumbuh subur 15,37% dari Rp183,77 triliun menjadi Rp212,02 triliun. Kemudian menyusul sewa guna usaha (leasing) yang naik 6,49% dari Rp106,11 triliun menjadi Rp113,00 triliun. 

Pembiayaan kartu kredit melaju 100% dari Rp1 miliar menjadi Rp2 miliar. Data itu menegaskan bisnis multifinance tetap kinclong. Kedua, mengangkat bisnis onderdil dan ban. Bukan hanya itu. Program LCGC tersebut juga dapat mendongkrak bisnis onderdil dan ban baik mobil maupun sepeda motor. Ketiga, menciptakan kesempatan kerja lebih luas. Tentu saja, LCGC akan memberikan kontribusi berupa kesempatan kerja yang cukup tinggi dari aneka bidang. 

Sebut saja, bidang pemasaran, teknik, keuangan, perbankan, akuntansi dan manajemen. Keempat, meningkatkan konsumsi BBM. Namun selain madu, LCGC juga mengandung racun. Sekalipun LCGC menjanjikan irit BBM, tetapi dalam jangka menengah dan panjang juga akan menambah konsumsi BBM. Sementara itu, kondisi politik di kawasan Timur Tengah terutama Suriah saat ini sedang memanas. 

Kondisi ini akan mengancam kenaikan harga minyak dunia yang kemudian membebani neraca perdagangan. Itu berarti Indonesia bakal kian banyak dalam melakukan impor minyak mengingat selama ini Indonesia sebagai negara importir minyak dunia. Ujungnya, hal itu juga akan membebani anggaran pemerintah ke depan. Produksi LCGC akan mencapai 3% dan 10% masing-masing pada 2013 dan 2014. Namun, cepat atau lambat, LCGC bakal menjadi batu sandungan bagi pemerintah daerah untuk menyelesaikan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Jawa seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang.

Alternatif Solusi 

Bagi DKI Jakarta, LCGC dianggap tidak seiring dengan 17 langkah menyeluruh dalam menuntaskan kemacetan. Langkah itu antara lain menerapkan jalan berbayar (electronic road pricing/ERP), sterilisasi jalur Transjakarta, kebijakan perparkiran, optimalisasi kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, membangun sarana dan jalur transportasi massal atau mass rapid transit (MRT). 

Lantas, bagaimana alternatif solusinya? Pertama, pemerintah daerah menimba ilmu mengatur lalu lintas yang cantik dari negeri jiran Singapura dan Malaysia. Tengok saja, Malaysia telah menyediakan stasiun MRT, monorel, dan bus dengan tempat parkir yang luas bagi mobil dan sepeda motor. Hal itu bertujuan untuk menarik pemilik kendaraan bermotor untuk naik angkutan umum yang sejuk dan aman. 

Model ini amat layak dapat diterapkan di Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Kedua, monorel dan MRT sudah semestinya menjadi alternatif solusi kemacetan lalu lintas di Jakarta seperti yang telah dimulai Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Kelak, keberhasilan langkah itu akan ditiru pemerintah daerah lainnya mengingat ibu kota telah menjadi ikon bagi kotalainnya. Contoh, bus Transjakarta. 

Dengan demikian, impian masyarakat untuk memiliki angkutan umum yang terpadu, terjangkau, aman dan nyaman segera menjadi kenyataan. Ketiga, mobil mewah wajib mengonsumsi BBM nonsubsidi dan mobil murah wajib minum bahan bakar gas (BBG). Alhasil, mobil murah tidak membebani anggaran subsidi BBM yang terus membengkak mencapai Rp21,8 triliun. Keempat, mendorong bisnis UMKM. 

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM dapat menetapkan UMKM untuk mampu memasok onderdil mobil murah. Sebaliknya, produsen mobil murah wajib membeli pasokan onderdil dari UMKM. Tentu saja, ini memerlukan penetapan spesifikasi onderdil. Hal ini bertujuan untuk memberdayakan pelaku usaha MKM yang selama ini terbukti tahan banting terhadap krisis ekonomi. 

Kiat tersebut bukan hanya akan memberdayakan UMKM, namun juga bermanfaat untuk mencetak kesempatan kerja baru yang lebih luas. Pada gilirannya, hal itu akan menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,92% per Februari 2013 menipis dari 6,32% per Februari 2012. Sungguh, adalah tugas mulia bagi pemerintah untuk tiada henti memberdayakan pelaku usaha MKM sehingga cepat naik pangkat. 

Dengan bahasa lebih bening, pelaku usaha mikro promosi menjadi pelaku usaha kecil (retail). Pelaku usaha kecil naik posisi menjadi pelaku usaha menengah (middle). Pelaku usaha menengah naik jabatan menjadi pengusaha besar (wholesale) yang tangguh dan trengginas. Jangan lupa pula bahwa pemberdayaan UMKM semacam itu juga sejalan dengan tekad Bank Indonesia (BI) dalam mendorong bank nasional untuk memajukan UMKM. 

Bagaimana seninya? BI mewajibkan bank nasional untuk mengucurkan kredit ke segmen UMKM minimal 20% dari kredit produktif, yakni kredit modal kerja dan kredit investasi secara bertahap 2013 hingga 2018. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hampir semua kelompok bank termasuk Kelompok Bank Campuran dan Kelompok Bank Asing mulai rajin menggarap segmen UMKM. 

Bank ”wong cilik” Bank BRI telah membuktikan diri sebagai pemimpin pasar yang perkasa dalam segmen yang amat basah ini dengan margin yang sangat manis. Tak pelak lagi, UMKM bakal menjadi primadona bisnis perbankan yang menjanjikan profit tinggi. Berbekal aneka langkah strategis itu, mobil murah tetap melaju dengan langit biru sekaligus mendorong segmen UMKM untuk kian berdaya. Ekonomi pun semakin bergairah sehingga mampu tumbuh pada level 6% pada akhir 2013. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar