|
Relasi Islam dan politik di Indonesia
senantiasa menarik untuk diperbincangkan dari dulu hingga sekarang. Selain
karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi
politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen.
Aspirasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Sejak era sebelum kemerdekaan hingga hari ini aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal dan saling berkontestasi satu kelompok dengan lainnya. Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, sebagian kaum muslim mendesak bahwa Islam haruslah berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan keistimewaan.
Meskipun para pendiri bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara, ada sebagian dari mereka yang meminta agar Islam tercantum secara eksplisit dalam konstitusi negara ini. Itu tampak pada Piagam Jakarta yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara, namun dengan penambahan kata-kata “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” (Bahtiar Effendy, 2003).
Piagam Jakarta yang awalnya disetujui masuk dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk kompromi dengan umat Islam itu ternyata tidak diterima secara bulat oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Beberapa anggota dari kelompok sekuler dan nasionalis tidak menyetujui itu. Pada 18 Agustus 1945, setelah para anggota BPUPKI dari kelompok Islam didekati dan dilobi oleh para anggota dari kelompok nasionalis dan nonmuslim, akhirnya Piagam Jakarta ditarik dari Pembukaan UUD 1945.
Meskipun para founding fathers bangsa dari kalangan Islam saat itu menyetujui penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, tidaklah semua umat Islam menyetujui kompromi politik itu. Bagi sebagian tokoh dan umat Islam, penarikan Piagam Jakarta adalah awal mula kekalahan umat Islam di pentas politik nasional yang terus berlanjut hingga hari ini.
Karena itu, aspirasi untuk menegakkan syariat Islam terus terjadi dan dilakukan terusmenerus. Bagi sebagian umat Islam yang lain, penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari konsensus nasional bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara sekuler.
Politik Islam Pascareformasi
Pascareformasi 1998 kontestasi antara kelompok Islam politik (Islamis) dan politik Islam (Islam substantif) terus terjadi dan berjalan secara dinamis. Islamis adalah sebuah kelompok dalam Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai sebuah keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sebuah sistem Islam atau Islamic state. Mereka ini terus berusaha menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.
Kelompok ini dalam banyak hal diwakili oleh Islam transnasional. Kelompok ini banyak beraktivitas dalam organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok tarbiyah yang banyak berinduk dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai politik Islam seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dikelompokkan dalam kelompok ini. Hingga hari ini, dengan caranya masing-masing, mereka terus menyuarakan aspirasi politik Islam secara formal, baik di tingkat negara maupun peraturan- peraturan daerah.
Berbeda dengan aspirasi umat Islam mainstream di negara ini, kelompok yang disebut sebagai Islam Syariat ini banyak mengagendakan terwujudnya sistem Islam di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Haedar Nashir dalam Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (MAARIF Institute & Mizan, 2013), mengkaji secara mendalam tentang geneologi, konsep, metode, dan cita-cita politik kelompok Islam ini.
Di sisi lain, kelompok politik Islam substantif cenderung menyerukan pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan. Hingga hari ini organisasi muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara.
Mereka juga menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa. Islam substantif ini juga diwakili oleh sebagian aktivis Islam yang aktif di berbagai organisasi sekuler dan partai nasionalis. Tampaknya memang telah terjadi pergeseran di kalangan muslim Indonesia terkait aspirasi politiknya. Mereka berpikir bahwa aspirasi politik Islam bisa disalurkan lewat partai lain yang bervisi inklusif dan kebangsaan (Anies Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, 2004). Jadi aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam.
Fenomena sebetulnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah dimulai di Partai Golkar sejak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Pascareformasi fenomena ini semakin berkembang karena banyak pimpinan inti partai-partai nasionalis yang berasal dari kaum santri. PDI Perjuangan dan Demokrat bahkan membentuk sayap organisasi Islam.
Tidak Berhenti pada Partai Islam
Terkait partai Islam, berbagai survei terakhir yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, Lembaga Survei Indonesia, dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa suara partai Islam diperkirakan akan semakin merosot ke bawah. Jika pemilu digelar pada hari ini, ada beberapa partai Islam yang kemungkinan besar tidak lolos electoral threshold. Itu disebabkan antara lain oleh performa partai Islam yang makin memudar akibat konflik internal, fenomena korupsi para pimpinannya, dan kekaburan visi dari partai Islam bila dibandingkan partai nasional lain.
Tidak heran jika suara partai Islam terus menurun dan tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada level calon pemimpin nasional pun, dalam banyak survei terakhir, tidak muncul nama pimpinan partai Islam yang popularitas dan elektabilitasnya tampil secara meyakinkan. Namun, diskusi tentang ekspresi politik umat Islam tentu tidak bisa hanya dibatasi pada soal partai Islam. Banyak aspek dalam politik Islam yang menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi.
Riset yang dilakukan Sunny Tanuwidjaja menunjukkan bahwa fenomena Indonesia pascareformasi tampak jelas menunjukkan bahwa Islam telah dan terus memainkan posisi penting dalam politik Indonesia meskipun suara partai Islam terus turun secara signifikan (Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline, 2010). Itu misalnya tampak pada fenomena dukungan partai-partai nasionalis terhadap agenda perda-perda syariat di berbagai daerah.
Juga pada dukungan partai-partai di parlemen terhadap undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam seperti RUU Sisdiknas Tahun 2003, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Zakat, dan sebagainya. Pada titik tertentu kebijakan politik luar negeri Indonesia yang mengampanyekan tentang Islam moderat juga bentuk lain dari aspirasi politik Islam pascareformasi.
Jika sebelumnya suara Islam nyaris absen dalam politik luar negeri Indonesia, tampaknya pergeseran geopolitik internasional dan aspirasi umat Islam di tingkat nasional turut memengaruhi politik luar negeri itu. Faktor para tokoh Islam yang berhasil mengajak para anggotanya untuk berpartisipasi mengawal transisi demokrasi di Indonesia hingga terkonsolidasi merupakan contoh lain dari ekspresi politik Islam.
Jika dibandingkan dengan fenomena politik Islam yang terjadi di Timur Tengah, terutama pasca-Arab Spring yang tidak jelas arahnya hingga hari ini, politik Islam di Indonesia lebih maju dan terkonsolidasi. Karena itu, diskusi tentang Islam dan masa depan politik Islam di negeri ini sepertinya masih akan tetap menarik. Wallahualam. ●
Aspirasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Sejak era sebelum kemerdekaan hingga hari ini aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal dan saling berkontestasi satu kelompok dengan lainnya. Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, sebagian kaum muslim mendesak bahwa Islam haruslah berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan keistimewaan.
Meskipun para pendiri bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara, ada sebagian dari mereka yang meminta agar Islam tercantum secara eksplisit dalam konstitusi negara ini. Itu tampak pada Piagam Jakarta yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara, namun dengan penambahan kata-kata “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” (Bahtiar Effendy, 2003).
Piagam Jakarta yang awalnya disetujui masuk dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk kompromi dengan umat Islam itu ternyata tidak diterima secara bulat oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Beberapa anggota dari kelompok sekuler dan nasionalis tidak menyetujui itu. Pada 18 Agustus 1945, setelah para anggota BPUPKI dari kelompok Islam didekati dan dilobi oleh para anggota dari kelompok nasionalis dan nonmuslim, akhirnya Piagam Jakarta ditarik dari Pembukaan UUD 1945.
Meskipun para founding fathers bangsa dari kalangan Islam saat itu menyetujui penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, tidaklah semua umat Islam menyetujui kompromi politik itu. Bagi sebagian tokoh dan umat Islam, penarikan Piagam Jakarta adalah awal mula kekalahan umat Islam di pentas politik nasional yang terus berlanjut hingga hari ini.
Karena itu, aspirasi untuk menegakkan syariat Islam terus terjadi dan dilakukan terusmenerus. Bagi sebagian umat Islam yang lain, penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari konsensus nasional bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara sekuler.
Politik Islam Pascareformasi
Pascareformasi 1998 kontestasi antara kelompok Islam politik (Islamis) dan politik Islam (Islam substantif) terus terjadi dan berjalan secara dinamis. Islamis adalah sebuah kelompok dalam Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai sebuah keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sebuah sistem Islam atau Islamic state. Mereka ini terus berusaha menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.
Kelompok ini dalam banyak hal diwakili oleh Islam transnasional. Kelompok ini banyak beraktivitas dalam organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok tarbiyah yang banyak berinduk dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai politik Islam seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dikelompokkan dalam kelompok ini. Hingga hari ini, dengan caranya masing-masing, mereka terus menyuarakan aspirasi politik Islam secara formal, baik di tingkat negara maupun peraturan- peraturan daerah.
Berbeda dengan aspirasi umat Islam mainstream di negara ini, kelompok yang disebut sebagai Islam Syariat ini banyak mengagendakan terwujudnya sistem Islam di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Haedar Nashir dalam Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (MAARIF Institute & Mizan, 2013), mengkaji secara mendalam tentang geneologi, konsep, metode, dan cita-cita politik kelompok Islam ini.
Di sisi lain, kelompok politik Islam substantif cenderung menyerukan pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan. Hingga hari ini organisasi muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara.
Mereka juga menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa. Islam substantif ini juga diwakili oleh sebagian aktivis Islam yang aktif di berbagai organisasi sekuler dan partai nasionalis. Tampaknya memang telah terjadi pergeseran di kalangan muslim Indonesia terkait aspirasi politiknya. Mereka berpikir bahwa aspirasi politik Islam bisa disalurkan lewat partai lain yang bervisi inklusif dan kebangsaan (Anies Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, 2004). Jadi aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam.
Fenomena sebetulnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah dimulai di Partai Golkar sejak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Pascareformasi fenomena ini semakin berkembang karena banyak pimpinan inti partai-partai nasionalis yang berasal dari kaum santri. PDI Perjuangan dan Demokrat bahkan membentuk sayap organisasi Islam.
Tidak Berhenti pada Partai Islam
Terkait partai Islam, berbagai survei terakhir yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, Lembaga Survei Indonesia, dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa suara partai Islam diperkirakan akan semakin merosot ke bawah. Jika pemilu digelar pada hari ini, ada beberapa partai Islam yang kemungkinan besar tidak lolos electoral threshold. Itu disebabkan antara lain oleh performa partai Islam yang makin memudar akibat konflik internal, fenomena korupsi para pimpinannya, dan kekaburan visi dari partai Islam bila dibandingkan partai nasional lain.
Tidak heran jika suara partai Islam terus menurun dan tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada level calon pemimpin nasional pun, dalam banyak survei terakhir, tidak muncul nama pimpinan partai Islam yang popularitas dan elektabilitasnya tampil secara meyakinkan. Namun, diskusi tentang ekspresi politik umat Islam tentu tidak bisa hanya dibatasi pada soal partai Islam. Banyak aspek dalam politik Islam yang menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi.
Riset yang dilakukan Sunny Tanuwidjaja menunjukkan bahwa fenomena Indonesia pascareformasi tampak jelas menunjukkan bahwa Islam telah dan terus memainkan posisi penting dalam politik Indonesia meskipun suara partai Islam terus turun secara signifikan (Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline, 2010). Itu misalnya tampak pada fenomena dukungan partai-partai nasionalis terhadap agenda perda-perda syariat di berbagai daerah.
Juga pada dukungan partai-partai di parlemen terhadap undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam seperti RUU Sisdiknas Tahun 2003, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Zakat, dan sebagainya. Pada titik tertentu kebijakan politik luar negeri Indonesia yang mengampanyekan tentang Islam moderat juga bentuk lain dari aspirasi politik Islam pascareformasi.
Jika sebelumnya suara Islam nyaris absen dalam politik luar negeri Indonesia, tampaknya pergeseran geopolitik internasional dan aspirasi umat Islam di tingkat nasional turut memengaruhi politik luar negeri itu. Faktor para tokoh Islam yang berhasil mengajak para anggotanya untuk berpartisipasi mengawal transisi demokrasi di Indonesia hingga terkonsolidasi merupakan contoh lain dari ekspresi politik Islam.
Jika dibandingkan dengan fenomena politik Islam yang terjadi di Timur Tengah, terutama pasca-Arab Spring yang tidak jelas arahnya hingga hari ini, politik Islam di Indonesia lebih maju dan terkonsolidasi. Karena itu, diskusi tentang Islam dan masa depan politik Islam di negeri ini sepertinya masih akan tetap menarik. Wallahualam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar