|
PERTEMUAN Kerja
Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali sudah selesai. Para anggota delegasi
pun sudah kembali ke negara masing-masing. Bagaimanakah nasib pasar tradisional
dan hasil pertanian di Indonesia beberapa tahun ke depan setelah deklarasi
Bogor Goals benar-benar diberlakukan?
Inti Bogor
Goals adalah hilangnya hambatan aliran barang, jasa, dan modal di kawasan APEC
yang mulai berlaku tahun 2020. Jika tidak bersiap dari sekarang, pasar kita
akan dibanjiri produk 21 negara anggota APEC, −di antaranya kelompok Brasil,
Rusia, India, dan China (BRIC) −yang sangat agresif memproduksi dan
memperdagangkan hasil pertanian.
Namun, sebelum
2020, Indonesia dan para negara anggota ASEAN juga sepakat memberlakukan
perdagangan bebas yang terkenal dengan sebutan ASEAN Economic Community mulai
2015.
Kekhawatiran petani
Menghadapi era
perdagangan bebas, yang paling mengkhawatirkan adalah kalah bersaing dengan
hasil petani luar. Kekhawatiran ini dapat dipahami mengingat produk pangan
petani Indonesia terus berhadapan dengan produk impor, dari pasar tradisional
hingga toko swalayan. Impor yang semula untuk menutup kekurangan produk dalam
negeri kini kebablasan demi keuntungan sesaat.
Maka, beras,
jagung, kedelai, terigu, kacang tanah, daging sapi, bawang putih, dan bahkan
garam terus didatangkan. Belum lagi produk seperti paprika, bunga kol, dan
bawang bombai. Bahkan, tomat dan cabai yang biasanya produk dalam negeri saja
surplus kini harganya bisa meroket tiba-tiba sehingga pemerintah punya alasan
impor untuk menurunkan harga.
Dari studi
banding yang difasilitasi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Juli lalu,
diketahui bahwa harga pokok produksi atau break event point (BEP) cabai di Thailand hanya Rp 1.800 per
kilogran. Bandingkan dengan BEP produk cabai yang sama di beberapa sentra
produksi, mulai dari Banyuwangi, Jember, Kediri, Blitar, Magelang, Brebes,
Majalengka, hingga Garut, yang berkisar Rp 4.000 hingga Rp 5.600 per kilogram.
Di Myanmar dan
India, BEP bawang merah hanya Rp 1.250 per kilogram. Sementara BEP produk
bawang merah dari sentra produksi di Probolinggo, Nganjuk, dan Brebes sebagai
penyuplai terbesar pasar bawang merah di Indonesia rata-rata Rp 3.846 per
kilogram. Bahkan, di beberapa daerah, BEP-nya lebih dari Rp 4.500 per kilogram.
Tanpa
antisipasi, nasibnya seperti bawang putih yang saat ini sudah lebih dari 92
persen kebutuhan nasional dipenuhi dari produk impor. Padahal, ada sekitar
57.000 hektar lahan di Indonesia yang potensial sebagai sentra produksi bawang
putih. Bahkan, pejabat setingkat menteri koordinator, beberapa bulan lalu,
membuat pernyataan bahwa Indonesia tidak cocok untuk mengembangkan tanaman
bawang putih sehingga harus impor. Suatu pernyataan yang keliru.
BEP komoditas
bawang putih juga rendah di negara-negara ASEAN dan APEC. Bawang putih dari
China dijual di Pasar Induk Osowilangun, Surabaya, Rp 4.800 per kilogram.
Padahal, BEP bawang putih lokal di lereng Gunung Sumbing, Magelang, atau di
dataran tinggi Bima, NTB, lebih dari Rp 5.000 per kilogram. Padahal, umbinya jauh
lebih kecil.
Yang harus dilakukan
Pemerintah dan
petani harus mencari berbagai upaya agar produk pangan Indonesia menang
bersaing walau hanya di pasar domestik. Upaya itu di antaranya menemukan
teknologi efisien agar BEP rendah dengan memanfaatkan berbagai lembaga
penelitian pertanian yang tersedia, membangun kelembagaan petani-produsen yang
berbentuk korporasi, membangun jaringan pasar komoditas nasional, dan membangun
nasionalisme konsumsi produk nasional.
Yang dimaksud
korporasi adalah gabungan para petani produsen, saat ini disebut kelompok tani.
Sejak dibentuk awal tahun 1970-an, kelompok petani ini ditujukan untuk
mengelola bersama hamparan usaha tani seluas 25-35 hektar. Motonya adalah
bertani lebih baik (better farming),
berusaha tani lebih menguntungkan (better
business), dan hidup lebih baik (better
living). Dengan bekerja sama, dari pembelian sarana produksi sampai
penerapan teknologi, diharapkan terjadi peningkatan kemampuan pengelolaan
sekaligus efisiensi biaya.
Kelompok tani
yang satu bekerja sama dengan kelompok tani lain sehingga menjadi suatu ”unit
usaha”. Inilah yang mewujud menjadi corporate
farming atau badan usaha milik desa. Dari corporate farming yang formal ini dapat diatur produksi yang
unggul spesifik, efisien, kontinu, dan siap bersaing di pasar. Sisa produk yang
dijual segar juga bisa diolah menjadi produk pangan olahan, seperti saus tomat
dan saus sambal, yang bisa saling melengkapi dengan industri pedesaan yang
tumbuh.
Kelompok tani
yang saling berjaringan juga akan memunculkan jaringan pasar yang luas dan
kuat. Pasar berjaringan nasional yang dikelola secara nasional bisa berhubungan
formal dengan korporasi produsen kabupaten. Terjadilah keseimbangan pasokan
antardaerah sehingga disparitas harga bisa ditekan.
Pengalaman
membuktikan, walau baru terbentuk empat pasar induk dari 16 pasar induk yang
dirancang secara nasional, Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) yang menjalankan
Program Akses Pasar bagi gabungan kelompok tani/korporasi mampu melindungi
harga jual produk.
Kalau sistem jaringan
pasar secara nasional ini terbentuk semua, korporasi mampu menyediakan produk
bermutu dan BEP-nya rendah. Komoditas akan tersedia secara nasional dengan
harga yang rasional pula. Konsep inilah yang dijalankan Pasir-Panjang Trade Centre sebagai ”pasar induk hortikultura” kelas
internasional di Singapura sehingga Singapura mampu ”mengekspor” komoditas apa
pun walaupun dia tak punya kebun.
Di sisi lain,
pemerintah perlu membangun nasionalisme untuk mencintai produk dalam negeri.
Semua tokoh dan pimpinan daerah kabupaten dan provinsi bisa menjadi pelopor
konsumsi produk daerahnya dengan mencontoh Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Kalau itu terwujud, kita tak perlu cemas lagi menghadapi tahun 2015 dan 2020.
Masih ada waktu untuk mewujudkannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar