Sabtu, 26 Oktober 2013

Masa Depan Petani

Masa Depan Petani
Soekam Parwadi  ;   Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional
KOMPAS, 24 Oktober 2013


PERTEMUAN Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali sudah selesai. Para anggota delegasi pun sudah kembali ke negara masing-masing. Bagaimanakah nasib pasar tradisional dan hasil pertanian di Indonesia beberapa tahun ke depan setelah deklarasi Bogor Goals benar-benar diberlakukan?
Inti Bogor Goals adalah hilangnya hambatan aliran barang, jasa, dan modal di kawasan APEC yang mulai berlaku tahun 2020. Jika tidak bersiap dari sekarang, pasar kita akan dibanjiri produk 21 negara anggota APEC, −di antaranya kelompok Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) −yang sangat agresif memproduksi dan memperdagangkan hasil pertanian.
Namun, sebelum 2020, Indonesia dan para negara anggota ASEAN juga sepakat memberlakukan perdagangan bebas yang terkenal dengan sebutan ASEAN Economic Community mulai 2015.
Kekhawatiran petani
Menghadapi era perdagangan bebas, yang paling mengkhawatirkan adalah kalah bersaing dengan hasil petani luar. Kekhawatiran ini dapat dipahami mengingat produk pangan petani Indonesia terus berhadapan dengan produk impor, dari pasar tradisional hingga toko swalayan. Impor yang semula untuk menutup kekurangan produk dalam negeri kini kebablasan demi keuntungan sesaat.
Maka, beras, jagung, kedelai, terigu, kacang tanah, daging sapi, bawang putih, dan bahkan garam terus didatangkan. Belum lagi produk seperti paprika, bunga kol, dan bawang bombai. Bahkan, tomat dan cabai yang biasanya produk dalam negeri saja surplus kini harganya bisa meroket tiba-tiba sehingga pemerintah punya alasan impor untuk menurunkan harga.
Dari studi banding yang difasilitasi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Juli lalu, diketahui bahwa harga pokok produksi atau break event point (BEP) cabai di Thailand hanya Rp 1.800 per kilogran. Bandingkan dengan BEP produk cabai yang sama di beberapa sentra produksi, mulai dari Banyuwangi, Jember, Kediri, Blitar, Magelang, Brebes, Majalengka, hingga Garut, yang berkisar Rp 4.000 hingga Rp 5.600 per kilogram.
Di Myanmar dan India, BEP bawang merah hanya Rp 1.250 per kilogram. Sementara BEP produk bawang merah dari sentra produksi di Probolinggo, Nganjuk, dan Brebes sebagai penyuplai terbesar pasar bawang merah di Indonesia rata-rata Rp 3.846 per kilogram. Bahkan, di beberapa daerah, BEP-nya lebih dari Rp 4.500 per kilogram.
Tanpa antisipasi, nasibnya seperti bawang putih yang saat ini sudah lebih dari 92 persen kebutuhan nasional dipenuhi dari produk impor. Padahal, ada sekitar 57.000 hektar lahan di Indonesia yang potensial sebagai sentra produksi bawang putih. Bahkan, pejabat setingkat menteri koordinator, beberapa bulan lalu, membuat pernyataan bahwa Indonesia tidak cocok untuk mengembangkan tanaman bawang putih sehingga harus impor. Suatu pernyataan yang keliru.
BEP komoditas bawang putih juga rendah di negara-negara ASEAN dan APEC. Bawang putih dari China dijual di Pasar Induk Osowilangun, Surabaya, Rp 4.800 per kilogram. Padahal, BEP bawang putih lokal di lereng Gunung Sumbing, Magelang, atau di dataran tinggi Bima, NTB, lebih dari Rp 5.000 per kilogram. Padahal, umbinya jauh lebih kecil.
Yang harus dilakukan
Pemerintah dan petani harus mencari berbagai upaya agar produk pangan Indonesia menang bersaing walau hanya di pasar domestik. Upaya itu di antaranya menemukan teknologi efisien agar BEP rendah dengan memanfaatkan berbagai lembaga penelitian pertanian yang tersedia, membangun kelembagaan petani-produsen yang berbentuk korporasi, membangun jaringan pasar komoditas nasional, dan membangun nasionalisme konsumsi produk nasional.
Yang dimaksud korporasi adalah gabungan para petani produsen, saat ini disebut kelompok tani. Sejak dibentuk awal tahun 1970-an, kelompok petani ini ditujukan untuk mengelola bersama hamparan usaha tani seluas 25-35 hektar. Motonya adalah bertani lebih baik (better farming), berusaha tani lebih menguntungkan (better business), dan hidup lebih baik (better living). Dengan bekerja sama, dari pembelian sarana produksi sampai penerapan teknologi, diharapkan terjadi peningkatan kemampuan pengelolaan sekaligus efisiensi biaya.
Kelompok tani yang satu bekerja sama dengan kelompok tani lain sehingga menjadi suatu ”unit usaha”. Inilah yang mewujud menjadi corporate farming atau badan usaha milik desa. Dari corporate farming yang formal ini dapat diatur produksi yang unggul spesifik, efisien, kontinu, dan siap bersaing di pasar. Sisa produk yang dijual segar juga bisa diolah menjadi produk pangan olahan, seperti saus tomat dan saus sambal, yang bisa saling melengkapi dengan industri pedesaan yang tumbuh.
Kelompok tani yang saling berjaringan juga akan memunculkan jaringan pasar yang luas dan kuat. Pasar berjaringan nasional yang dikelola secara nasional bisa berhubungan formal dengan korporasi produsen kabupaten. Terjadilah keseimbangan pasokan antardaerah sehingga disparitas harga bisa ditekan.
Pengalaman membuktikan, walau baru terbentuk empat pasar induk dari 16 pasar induk yang dirancang secara nasional, Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) yang menjalankan Program Akses Pasar bagi gabungan kelompok tani/korporasi mampu melindungi harga jual produk.
Kalau sistem jaringan pasar secara nasional ini terbentuk semua, korporasi mampu menyediakan produk bermutu dan BEP-nya rendah. Komoditas akan tersedia secara nasional dengan harga yang rasional pula. Konsep inilah yang dijalankan Pasir-Panjang Trade Centre sebagai ”pasar induk hortikultura” kelas internasional di Singapura sehingga Singapura mampu ”mengekspor” komoditas apa pun walaupun dia tak punya kebun.

Di sisi lain, pemerintah perlu membangun nasionalisme untuk mencintai produk dalam negeri. Semua tokoh dan pimpinan daerah kabupaten dan provinsi bisa menjadi pelopor konsumsi produk daerahnya dengan mencontoh Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Kalau itu terwujud, kita tak perlu cemas lagi menghadapi tahun 2015 dan 2020. Masih ada waktu untuk mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar