Sabtu, 26 Oktober 2013

HPS, Krisis Tempe, dan Pangan Lokal

HPS, Krisis Tempe, dan Pangan Lokal
Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU, Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PTutupATPI) Cabang Sumatera Utara
SINAR HARAPAN, 24 Oktober 2013


Puncak perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) diadakan di Padang, Sumatera Barat, selama empat hari, 24-27 Oktober 2013. Perayaan ini mengambil tema “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.

Substansi tema ini sangat berkaitan dengan krisis tempe yang terjadi beberapa waktu lalu. Mogok perajin tempe se-Indonesia selama tiga hari dipicu defisit bahan baku berbasis sumber daya lokal.

Kenaikan harga kedelai (impor) dari Rp 7.500 menjadi Rp 10.000 – pemerintah sudah menurunkan harga sekitar Rp 8.500 per kg – memosisikan pelaku industri tempe pada ketidakpastian.

Munculnya double pressure dari konsumen dan pemasok kedelai amat mencemaskan masa depan makanan fermentatif sumber protein nabati terbaik ini. Pelaku industri tempe mengalami kerugian dan akan memasuki fase kebangkrutan.

Meski sering dianggap sebagai makanan ”rendahan”, tempe yang sempat kosong di pasar membuat warga kelimpungan. Sejumlah warga kecewa karena tidak bisa menemukan tempe. Langkah mogok produksi tempe telah mendongkrak harga tempe menjadi mahal. Kenaikan harga itu bukan hanya dapat memengaruhi inflasi, melainkan juga berakibat merosotnya kemampuan rakyat memenuhi kebutuhan protein.

Produsen Terbesar

Saat ini Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar pula di Asia. Sebanyak 50 persen dari jumlah kebutuhan kedelai di Indonesia dibuat dalam bentuk tempe, 40 persen untuk tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain, seperti tauco, kecap, dan susu kedelai. Seiring dengan itu, rata-rata konsumsi tempe di tengah warga Indonesia diprediksi mencapai 7,0 kg per orang per tahun.

Tidak seperti makanan berbasis kedelai lainnya yang umumnya berasal dari Tiongkok atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Makanan tradisional ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Solo.

Dalam buku Serat Centhini dengan setting Jawa abad ke-16 telah ditemukan kata "tempe". Di sana disebutkan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan. Diduga pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam yang berasal dari pedesaan Jawa Tengah dan DIY.

Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa tempe pada awalnya diperkenalkan dengan menggunakan bahan baku kacang koro dan kacang-kacang lain nonkedelai. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

Umumnya, masyarakat kebanyakan mengenal tempe yang terbuat dari kacang kedelai. Teknologinya masih sederhana dan merupakan warisan nenek moyang kita, karena sudah disebut dalam Kitab Centhini.

Pada tahap awal biji kedelai direbus untuk proses hidrasi, yaitu agar biji kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Perebusan juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya nantinya dapat menyerap asam pada tahap perendaman.

Pada tahap pengupasan, kulit kedelai dihilangkan agar miselium fungi dapat menembus biji kedelai selama proses fermentasi. Pengupasan dapat dilakukan dengan tangan, diinjak-injak dengan kaki, atau dengan alat pengupas kulit biji.

Setelah dikupas, biji kedelai direndam supaya terjadi fermentasi asam laktat yang bermanfaat meningkatkan nilai gizi dan menghilangkan bakteri-bakteri beracun. Inokulasi dilakukan setelah biji kedelai direndam.

Inokulum dapat berupa kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada daun waru atau daun jati (disebut usar; digunakan secara tradisional). Selanjutnya, biji-biji kedelai dibungkus daun pisang atau ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe.

Bahan Baku Lokal

Penelusuran jejak sejarah bahan baku tempe semakin penting dilakukan untuk menemukan alternatif bahan baku tempe nonkedelai berbasis sumber daya lokal.

Jika merujuk pada asul usulnya, tempe adalah asli makanan tradisional Indonesia, tetapi kacang kedelai bawaan dari Tiongkok. Besar dugaan bahwa tempe itu pada awalnya dibuat dari bahan baku yang bukan kacang kedelai, mengingat kacang kedelai tidak bisa tumbuh secara optimal di daerah tropis seperti Indonesia.

Terkait dengan itu, makin sulitnya mewujudkan swasembada kedelai di Indonesia harus menjadi pendorong naiknya adrenalin pemerintah untuk mencari substitusi kedelai sebagai bahan pembuat tempe. Ketergantungan yang tinggi pada kedelai impor juga seharusnya dijadikan momentum kebangkitan produksi tempe dari kacang-kacang lokal.

Masyarakat Indonesia punya banyak alternatif bahan tempe bukan kedelai. Yang selama ini ada di pasar adalah tempe gembus, oncom, lamtoro, dan kecipir.

Namun, tempe gembus tetap berbahan baku kedelai (ampas tahu), sementara oncom berbahan baku bungkil kacang tanah. Tempe bukan kedelai yang paling terkenal saat ini selain dari lamtoro dan kecipir adalah tempe koro benguk (Mucuna pruriens); masih banyak diproduksi di Jawa Tengah dan DIY.

Koro benguk memiliki perspektif yang baik karena harganya relatif lebih murah dibandingkan kedelai. Masyarakat dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk bahan baku tempe.

Pengolahannya menjadi tempe hampir sama dengan tempe kedelai pada umumnya, meski ada beberapa tahap tambahan yang harus dilakukan sehingga waktu pembuatan tempe berbahan koro benguk ini lebih lama dibandingkan dengan tempe kedelai.

Di samping itu, kandungan gizi tempe koro benguk hampir berimbang dengan gizi tempe berbahan kacang kedelai. Tidak salah jika kacang koro benguk mempunyai peluang besar dijadikan bahan baku tempe pengganti kedelai.

Menghadapi kenyataan meroketnya harga kedelai sudah tidak tepat lagi jika pemerintah mendorong petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai. Yang patut didorong adalah alih teknologi pembuatan tempe dari kacang koro dan kacang-kacangan lokal nonkedelai lainnya yang jenisnya di Indonesia mencapai ratusan.


Jika pemanfaatannya dilakukan secara maksimal, niscaya akan dapat mengurangi ketergantungan pada kedelai impor secara signifikan. Badan Pusat Statistik mencatat impor kedelai setiap tahun mencapai 2 juta ton dengan nilai US$ 1,24 miliar setara Rp 11,160 triliun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar