|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Dukungan Australia pada kemerdekaan
Indonesia 1945-1949 adalah sejarah yang terekam sepanjang zaman. Namun, mengapa
kemudian hubungan kedua negara terus diliputi ketegangan?
Pernyataan sumber ketegangan
terkait hal yang disebut ”benturan kebudayaan” dalam bentuk paling
konvensional
sebenarnya mengabaikan fakta rumit pada kedua negara yang tarik-menarik seperti
magnet.
Ketegangan di permukaan ibarat
muara dari banyak kepentingan sosial dan bersumber pada persoalan politik
domestik. Kesadaran tentang hal itu sangat penting untuk menutup peluang
penyalahgunaan sentimen nasionalisme pada kedua negara dan semakin mengaburkan
masalah yang lebih fundamental.
Selama ini yang mendapat manfaat
dari ketegangan berbasis budaya dalam persepsi sempit adalah kepentingan
politik konservatif di kedua negara yang bertarung mendefinisikan kesetaraan,
demokrasi, hak asasi, dan martabat manusia.
Politik budaya yang pertama kali
harus menghapus pandangan tentang kultur yang homogen dan kecenderungan
memaksakan gambaran ideal suatu negara kepada negara lain.
Perbincangan tentang kultur selalu
berkaitan dengan kekuasaan dan relasi kuasa. Pengabaian aspek itu menyebabkan
kepekaan kultural yang keliru. Hal-hal terkait kepekaan kultural inilah yang
memengaruhi hubungan dua negara dan kadang mencapai masa penuh ketegangan.
Australia dianggap sering
memaksakan nilai-nilai budaya (liberal) kepada Indonesia. Bukan hanya oleh
orang Indonesia, melainkan juga oleh tokoh-tokoh kunci dalam perdebatan
kebijakan domestik Australia.
Pandangan nilai-nilai demokrasi
bukan kultur Indonesia memberi pengesahan kuat pada pemerintah otoriter Orde
Baru. Kepekaan kultural yang keliru tampak pada lobi politik di Australia yang
berpandangan hak asasi manusia bukan budaya Indonesia, sedangkan korupsi adalah
budaya Indonesia.
Harus dipahami bahwa perjuangan
demokrasi di Indonesia dilandasi pengalaman Indonesia mengenai isu sosial,
kesetaraan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, bukan sesuatu yang dipaksakan
pihak luar.
Sementara itu, ada kecenderungan
menjadikan nilai-nilai tertentu sebagai bagian tak terpisahkan dari Australia.
Namun, pengaruh neoliberal melalui kebijakan Pemerintah Australia yang merasuk
sejak dua dekade lalu semakin mengikis solidaritas sosial sebagai detak nadi
sosial demokrasi (sosdem) dalam negara kesejahteraan.
Melemahnya sosdem diikuti munculnya
pandangan chauvinistic (superioritas
sebagai bangsa) dan xenofobia
(ketakutan pada orang asing) di dalam masyarakat. Secara bersamaan pemahaman
toleransi liberal-pluralis sebagai bagian nilai intrinsik struktur sosial di
negeri itu dengan mudah dipatahkan jika melihat perlakuan terhadap kaum
aborigin sampai saat ini.
Berkelanjutan
Rezim otoritarianisme di Indonesia
telah berakhir. Namun, kontroversi mengenai isu hak asasi manusia
(HAM) dan demokrasi, perjuangan buruh, penyelundupan orang, dan terorisme terus berlanjut.
(HAM) dan demokrasi, perjuangan buruh, penyelundupan orang, dan terorisme terus berlanjut.
Pada saat bersamaan citra tentang
Indonesia, terutama yang disebarkan media internasional, selalu dikaitkan
dengan ketidakpastian dan tata kelola pemerintahan yang buruk.
Indonesia lalu dituding sebagai
biang kerok membanjirnya manusia kapal yang sebagian besar pengungsi dari Irak,
Afganistan, dan Sri Lanka. Mereka diselundupkan melalui Indonesia ke Australia
beberapa tahun terakhir.
Namun, ada fakta lain yang tak
dipaparkan. Setiap tahun sekitar 2.000 kapal masuk ke wilayah Australia dan
ratusan ribu visa diberikan kepada penduduk permanen. Pemerintah Australia juga
tidak bersoal dengan 50.000-60.000 visa warga negara Inggris, AS, dan Selandia
Baru yang melebihi batas waktu tinggal setiap tahun.
Tragedi bom Bali dan di hotel JW
Marriot seperti memperlihatkan keterkaitan antara demokrasi dan ketidakpastian
di Indonesia serta proses pilkada yang rusuh meski peristiwa sama terjadi di
negara lain. Dugaan seperti itu dalam beberapa hal memperlihatkan kelanjutan
pandangan mengenai ketidakcocokan kultural pemerintah non-otoritarian untuk
masyarakat Indonesia.
Alasan mempertahankan pandangan itu
bersifat multifaset. Beberapa negara, termasuk Australia, merasa lebih nyaman
dengan segala hal yang pasti seperti pada masa pemerintahan otoritarian yang
tersentralisasi, khususnya di bidang bisnis. Boleh dibilang kepentingan
sebenarnya kelompok sangat berkuasa di Australia adalah ketertiban dan
kepastian di Indonesia, bukan demokrasi meski retorika tentang demokrasi terus
digaungkan. (Baca juga Mereka Menyibak Tabir Transparansi di halaman ...)
Saling
mendukung
Atas nama kepekaan kultural (yang
keliru), terorisme di Indonesia juga dipandang sebagai akibat demokrasi yang
tidak pasti (chaotic), bukan
akibat keterpinggiran sosial puluhan tahun di bawah pemerintah otoriter.
Isu terorisme yang dikaitkan dengan
kecenderungan Islam garis keras di Indonesia mewarnai hubungan
Indonesia-Australia pasca-Soeharto. Dukungan kepada pasukan antiterorisme Polri
oleh Pemerintah AS dan Australia memicu perdebatan lebih luas dan konflik lebih
dalam di kedua negara.
Di Indonesia, wacana itu tak bisa
dipisahkan dari mobilisasi sentimen nasionalis oleh beberapa aktor politik.
Tuduhannya selain campur tangan asing terhadap urusan dalam negeri Indonesia,
juga bagian dari konspirasi menyerang Islam.
Hal itu berkaitan dengan perdebatan
di Indonesia mengenai posisi Islam dalam masyarakat dan negara modern, seperti
tecermin dalam kontroversi tentang perda syariah dan tindak kekerasan terhadap
kelompok agama minoritas.
Diskusi mengenai posisi warga
Muslim dalam masyarakat Australia juga memanas dalam konteks perang melawan
teror meski pasal hukumnya dicangkokkan pada aturan lama tentang imigrasi,
khususnya bagi warga negara non-Eropa.
Dengan kata lain, pemahaman orang
Australia tentang terorisme di Indonesia banyak diwarnai ketegangan di masyarakat
Australia terkait perang melawan teror. Situasi itu dimanfaatkan berbagai
kelompok berbeda kepentingan yang bersatu ketika ketegangan terjadi. Koalisi
sosial yang diuntungkan sentimen xenofobia mengadvokasi kebijakan imigrasi dan
menyebar ketakutan terhadap pendatang yang katanya akan menguras sumber daya
negara itu.
Seluruh pemaparan di atas
memperlihatkan diulangnya kasus terkait kepekaan kultural yang keliru sehingga
memberi angin kepentingan konservatif di kedua negara.
Terlepas dari semua itu sebenarnya
masyarakat Indonesia dan Australia menghadapi perjuangan sama, yakni mencapai
demokrasi bermakna, keadilan, martabat, dan kesetaraan sosial. Karena itu,
salah satu cara membangun pengertian di antara keduanya adalah menjauhi narasi
resmi yang keliru mengenai budaya dan saling mendukung perjuangan
masing-masing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar