|
KOMPAS,
05 Juli 2013
Nyaris semua statistik yang mengukur
kemajuan pembangunan negeri ini telah mengonfirmasikan bahwa gemuruh
pembangunan yang dilakukan pemerintah telah menuai hasil: perbaikan ekonomi
yang terus terjadi.
Bank Dunia memproyeksikan
pertumbuhan ekonomi 5,9 persen pada tahun 2013. Seiring dengan pertumbuhan
ekonomi, pendapatan per kapita juga terus meningkat. Pada 2012, sebagai contoh,
pendapatan per kapita telah mencapai 3.563 dollar AS (BPS, 2012).
Di tengah berbagai kemajuan
pembangunan yang telah dicapai, kemiskinan (poverty),
kerentanan (vulnerability), dan
ketimpangan (inequality) masih
menjadi tantangan berat yang harus dibereskan negeri ini. Kenyataan
menunjukkan, kesenjangan ekonomi justru semakin lebar sehingga meski terjadi
peningkatan pendapatan, peningkatan itu lebih banyak berputar pada kelas
menengah ke atas.
Kelompok
miskin
Dengan demikian, pertumbuhan
ekonomi memang telah mendongkrak proporsi kelas menengah dan kaya, tetapi juga
masih menyisakan kelompok miskin dan rentan. Pada Maret 2012, misalnya, jumlah
penduduk miskin mencapai 29,13 juta orang, sementara penduduk rentan miskin (near poor) mencapai 26,39 juta orang
(BPS, 2012).
Penurunan kemiskinan juga berjalan
lambat, kurang dari 1 persen per tahun sejak 2009. Padahal, setiap tahun
anggaran untuk berbagai program penanggulangan kemiskinan terus ditingkatkan
oleh pemerintah hingga mencapai 99,2 triliun di 2012 (Kemenkeu, 2012).
Penurunan kemiskinan yang lambat
juga dibarengi dengan ketimpangan pendapatan yang kian melebar. Indeks Gini,
yang merupakan indikator untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan,
telah mencapai 0,41 di tahun 2012 (BPS, 2012). Artinya, ketimpangan pendataan
telah memasuki skala medium.
Ditengarai, penyebab penurunan
kemiskinan yang berjalan lambat dan meningkatnya ketimpangan distribusi
pendapatan adalah kebijakan penanggulangan kemiskinan yang abai terhadap fakta
bahwa kemiskinan di Indonesia sejatinya berpusat pada sektor pertanian dan
pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak
berkualitas ditunjukkan oleh sensitivitasnya yang lemah terhadap penurunan
kemiskinan karena lebih digerakkan oleh sektor jasa (non-tradable) ketimbang
sektor riil (tradable). Sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup bagi 40
persen angkatan kerja, misalnya, terjebak dalam pertumbuhan rendah dalam
beberapa tahun terakhir.
Sepanjang 2005-2011, sektor
pertanian tercatat hampir tidak pernah tumbuh di atas 4 persen kecuali pada
2008: tumbuh sebesar 4,83 persen. Jadi, tidak mengherankan kalau ekonomi tumbuh
mengesankan dan pendapatan per kapita terus meningkat, sementara pada saat yang
sama penurunan kemiskinan berjalan lambat dan ketimpangan distribusi pendapatan
juga terus melebar karena pendapatan penduduk golongan bawah tumbuh lebih
lambat dibandingkan kelompok kelas menengah dan kaya.
Faktual, sebagian besar penduduk
dengan tingkat kesejahteraan terendah (golongan bawah) menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian. Hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial yang
diselenggarakan BPS pada tahun 2011 (PPLS 2011) menunjukkan, 9,79 juta rumah
tangga atau 60,97 persen dari total rumah tangga dengan status kesejahteraan 30
persen terendah menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian—yang mencakup
subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan
kehutanan. Statistik ini menegaskan bahwa perbaikan kesejahteraan di sektor
pertanian merupakan kunci keberhasilan pengentasan rakyat dari kemiskinan dan
pemerataan distribusi pendapatan di Indonesia.
Sensus
pertanian
Selama ini berbagai program
penanggulangan kemiskinan pemerintah menggunakan Basis Data Terpadu (BDT) hasil
kegiatan PPLS. Data ini dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K).
BDT pada dasarnya adalah data
kemiskinan mikro yang memuat informasi mengenai keadaan sosial-ekonomi 24,5
juta (40 persen) rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah. Karena
merupakan data mikro, seluruh rumah tangga yang tercantum dalam BDT tertulis
dengan jelas identitasnya sehingga sangat membantu untuk program-program
penanggulangan kemiskinan yang sifatnya target sasaran.
Karena sebagian besar rumah tangga
miskin menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, integrasi antara data
hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013)—yang baru saja selesai diselenggarakan BPS
pada Mei lalu—dengan BDT dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai program
penanggulangan kemiskinan, terutama program-program yang bersifat pemberdayaan
seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), patut dipertimbangkan oleh pemerintah. Hal
ini mungkin dilakukan karena bakal ada kecocokon (compatibility) di antara kedua data tersebut. Keduanya merupakan
data mikro yang memuat identitas rumah tangga.
Identitas rumah tangga pertanian
dengan tingkat kesejahteraan yang rendah hasil pencacahan ST2013 hampir
dipastikan juga tercantum dalam BDT. Dengan demikian, pemerintah dapat
memfokuskan terkait pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan pada rumah
tangga-rumah tangga tersebut sehingga efektivitas program dapat ditingkatkan.
Ada banyak informasi—yang
dihasilkan melalui ST2103—yang dapat dimanfaatkan pemerintah jika perencanaan
dan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan hendak difokuskan pada rumah
tangga pertanian. Sebagai contoh, salah satu data pokok yang dihasilkan ST2013
adalah informasi mengenai rumah tangga petani gurem.
Terkait hal itu, pemerintah dapat
memfokuskan program penanggulangan kemiskinan yang memungkinkan rumah tangga
petani gurem—yang identitasnya terdapat dalam BDT—untuk memiliki sumber
pendapatan lain, selain dari ekonomi usaha tani.
Contoh lain, dari ST2013 juga
memuat informasi mengenai rumah tangga yang melakukan pengolahan hasil
pertanian milik sendiri menjadi produk lain untuk dijual. Ini tentu informasi
yang sangat berguna. Bayangkan, jika rumah tangga-rumah tangga tersebut
mendapatkan bantuan kredit usaha untuk meningkatkan nilai tambah produk
pertaniannya, kesejahteraan mereka tentu akan lebih baik.
Teramat sayang jika sensus yang
telah menghabiskan total anggaran sebesar Rp 1,59 triliun ini hanya
menghasilkan data statistik yang tidak dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar