|
REPUBIKA,
04 Juli 2013
Tahun
pelajaran baru segera dimulai. Saat ini, jutaan calon siswa baru sedang sibuk
menanti nasib mereka di sekolah barunya. Inilah ritual setiap awal tahun
pelajaran. Orang tua pun sangat sibuk mencarikan sekolah terbaik bagi buah
hati mereka. Bagi calon siswa yang memiliki nilai di atas rata-rata, hal
ini bukanlah saat yang mendebarkan mana kala mereka turut mengadu nasib di
sekolah unggulan. Namun, kondisi ini akan berbanding terbalik bagi mereka yang
memiliki nilai pas-pasan.
Sementara
itu, dari pihak sekolah, ada beberapa sekolah yang sangat ramai dikunjungi
calon siswa baru. Bahkan, ada sebagian sekolah yang kehabisan formulir
pendaftaran. Di sisi lain juga ada sekolah yang justru kekurangan peminat, atau
bahkan tidak diminati sama sekali.
Dikotomi
sekolah favorit dan sekolah tidak favorit memang bukan fenomena yang baru lagi.
Bagi masyarakat, ini bukanlah mitos. Mereka yakin bahwa menyekolahkan anak di
sekolah favorit dapat menjanjikan berbagai kesuksesan.
Sehingga, banyak di antara orang tua murid yang rela berkorban demi anaknya
supaya dapat diterima di sekolah favorit.
`Klasifi
kasi' sekolah favorit telah menjadi mitos yang diyakini secara turun-temurun.
Sekolah A favorit, sekolah B tidak favorit. Mengapa harus ada anggapan seperti
ini? Apa yang membedakan kedua sekolah tersebut sehingga yang satu dikatakan
favorit, sedangkan yang lain dikatakan tidak favorit?
Dalam
kajian ilmu sosiologi, masalah ini secara tidak langsung telah menguatkan
argumen bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum merata. Ketidakmerataan
ini tentu saja menyebabkan masyarakat akan memilih sekolah yang dipandang
`berkualitas' dalam kacamata mereka dan kemudian disebut sebagai sekolah
favorit.
Mitos dikotomi
Dikotomi
sekolah favorit dan sekolah tidak favorit sebenarnya hanyalah mitos belaka. Ada
beberapa alasan yang dapat menguatkan pernyataan ini. Pertama, benarkah keberhasilan
siswa di sekolah favorit adalah benar-benar akibat sekolah mereka yang
benar-benar bagus?
Pertanyaan
ini dapat dijawab ya dan tidak. Pertanyaan ini dapat dijawab tidak karena kita
dapat melihat pada faktor input siswa. Siswa yang masuk di sekolah-sekolah
favorit sudah melewati seleksi yang ketat, sehingga sebenarnya kualitas mereka
sudah baik sebelum mereka masuk di sekolah tersebut.
Dengan
kata lain, ini bukan disebabkan kepandaian sekolah mengolah siswanya sehingga
menjadi pintar, namun lebih disebabkan sejak awal siswa yang terseleksi masuk
memang sudah berkualitas bagus. Hal ini dapat kita bandingkan dengan kondisi di
sekolah-sekolah yang tidak favorit. Mereka lebih banyak menerima siswa yang
tidak berhasil diterima di sekolah favorit. Secara sistemik, inilah alasan kuat
yang menjelaskan mitos ini.
Kedua,
pertanyaan pertama juga dapat dijelaskan dari sisi sekolah. Sekolah favorit
dapat mencetak siswa yang `lebih pintar' karena didukung fasilitas yang lebih
lengkap. Hal ini dapat juga kita bandingkan dengan sekolah tidak favorit.
Fasilitas mereka tidak selengkap fasilitas sekolah favorit. Apalagi jika se-
kolah tersebut jauh dari pusat pemerintahan, fasilitas yang tersedia akan jauh
dari kata layak.
Dari aspek pembiayaan, alasan kedua juga disebabkan sekolah favorit tentu saja
berbiaya sangat mahal.
Dengan biaya mahal mereka dapat dengan mudah melengkapi
sekolahnya dengan faslitas yang lengkap. Ini dapat dibandingkan dengan sekolah
tidak favorit, mereka tidak mungkin menarik biaya yang mahal.
Lalu,
pertanyaan yang sulit dijawab adalah: sebuah sekolah mahal karena ia adalah sekolah
favorit, atau karena sebuah sekolah terkenal mahal, maka ia menjadi favorit.
Akibatnya, hanya orang kaya saja yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah
tersebut, sehingga mereka juga akan mampu mengikuti bimbingan belajar di luar
sekolah.
Ada
beberapa dampak sosial akibat kepercayaan masyarakat pada mitos ini.
Pertama, sekolah favorit menjadi mahal, akibatnya pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati masyarakat dari kelas atas. Kedua, gengsi sosial. Bersekolah di sekolah favorit merupakan kebanggaan tersendiri bagi siswa dan orang tua. Sehingga, banyak orang tua yang rela menempuh segala cara agar anaknya dapat diterima di sekolah favorit, termasuk dengan cara menyuap pihak sekolah. Ini akan berujung pada komersialisasi sekolah.
Pertama, sekolah favorit menjadi mahal, akibatnya pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati masyarakat dari kelas atas. Kedua, gengsi sosial. Bersekolah di sekolah favorit merupakan kebanggaan tersendiri bagi siswa dan orang tua. Sehingga, banyak orang tua yang rela menempuh segala cara agar anaknya dapat diterima di sekolah favorit, termasuk dengan cara menyuap pihak sekolah. Ini akan berujung pada komersialisasi sekolah.
Ketiga,
selain prestise bagi anak dan orang tua, prestise juga dirasakan oleh guru.
Guru yang mengajar di sekolah favorit memiliki gengsi sosial yang lebih tinggi.
Selain itu, mereka juga `lebih santai' karena mengajar siswa-siswa yang sudah
pintar.
Tugas
mereka menjadi lebih ringan daripada guru yang mengajar di sekolah tidak
favorit dengan kualitas siswa di bawah rata-rata. Perjuangan mereka akan
semakin berat ketika anak didik mereka diadu dengan anak-anak dari sekolah
favorit dalam ujian nasional. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa guru-guru
yang mengajar di sekolah favorit relatif lebih sejahtera daripada yang lain.
Langkah strategis
Ada
beberapa langkah strategis untuk mulai menghapus dikotomi ini. Pertama,
pemerintah harus berani menjamin pemerataan kualitas pendidikan, sehingga akses
warga miskin dalam pendidikan juga akan terjamin. Tidak hanya secara kuantitas,
namun juga jaminan kualitas pendidikan bagi mereka.
Dari sisi
input, setiap sekolah harus mengalokasikan pemerataan input. Seolah favorit
harus mengalokasikan 50 persen kursinya untuk calon siswa dengan nilai di bawah
rata-rata. Dengan mekanisme seperti ini, siswa yang kurang cerdas dapat
termotivasi belajar ketika mereka harus belajar dengan siswa yang lebih pintar.
Ketiga,
rotasi guru. Pemerintah harus melakukan rotasi guru. Guru harus mengalami
rotasi agar kemampuan mereka selalu berkembang. Guru-guru yang tahun ini
mengajar di sekolah favorit, tahun depan mereka harus siap ditempatkan di
sekolah tidak favorit dengan kondisi siswa yang sangat berbeda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar