|
SINAR
HARAPAN, 15 Juli 2013
Setelah
melalui proses pembahasan yang cukup panjang, dua rancangan undang-undang
(RUU), yaitu RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) dan RUU Pencegahan
Perusakan Hutan (P2H), akhirnya disepakati untuk disahkan menjadi
undang-undang.
RUU
P3 selain untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, bencana alam, dan risiko
usaha, serta gejolak ekonomi global dan sistem pasar yang memarjinalkan petani,
juga merupakan wujud pengakuan negara atas hak-hak dasar petani yang wajib
dilindungi.
Sementara
itu RUU P2H terutama didorong maraknya pertambangan, perkebunan, pembalakan
liar, termasuk land clearing melalui aktivitas pembakaran yang merusak hutan.
Kekhawatiran mengenai kemungkinan kriminalisasi terhadap petani yang ada di
sekitar hutan akhirnya dijawab melalui penyempurnaan nomenklatur
“terorganisasi” dalam ketentuan umum RUU P2H ini.
Kelompok
masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan
perladangan tradisional dan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak
untuk tujuan komersial tidak termasuk dalam kategori pelaku pembalakan liar dan
perusakan hutan yang terorganisasi.
Mungkinkah
petani atau peladang tradisional ini juga sekaligus diberdayakan sebagai jagawana,
menjaga hutan sambil melakukan aktivitas budi daya di bawah tegakan dan
mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) di atasnya?
Peran
sebagai Jagawana
Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Di
dalam hutan inilah, petani atau peladang tradisional dan masyarakat adat
melakukan berbagai ritual kehidupan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di
dalam hutan. Ikan dari sungai, hewan buruan, kayu, dan rotan untuk pondokan,
madu alam hingga bahan bakar dari ranting dan serasah.
Dalam
ketentuan mengenai peran serta masyarakat, pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, antara lain dengan cara turut serta melakukan pengawasan dalam
penegakan hukum pemberantasan perusakan hutan; dan/atau melakukan kegiatan lain
yang bertujuan untuk pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Di
Nganjuk, kelompok tani yang biasa membudidayakan umbi porang di bawah tegakan
jati telah menerapkan sanksi terhadap para pencuri kayu yang tertangkap; denda
senilai harga kayu yang dicuri dan menanam 10 pohon untuk setiap pohon yang
dicuri.
Selain
sebagai jagawana, petani juga bisa membantu manggala agni dalam mengatasi
kebakaran hutan.
Penanganan kebakaran di Sepahat dan Pelintung, Riau, sudah
melibatkan Masyarakat Peduli Api (MPA).
Untuk
mengatasi ego sektoral, seperti yang tampak dalam persoalan kebakaran ini, RUU
P2H juga mengamanahkan pembentukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan yang
bersifat independen, serta berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada presiden.
RUU
ini juga membedakan subjek hukum atas tindakan pidana perusakan hutan menjadi
satu orang atau pelaku individual dan korporasi.
Tindakan
pidana perusakan hutan secara garis besar meliputi penebangan atau pembalakan
liar, menadah dan mengedarkan hasil pembalakan liar, memiliki peralatan yang
biasa digunakan dalam aktivitas pembalakan liar tanpa izin, membantu
berlangsungnya pembalakan liar, serta menjalankan dan memanfaatkan hasil
tambang dan hasil perkebunan di kawasan hutan tanpa izin dari pihak berwenang.
Satu
hal yang sebenarnya tak kalah merusak adalah pembalakan legal yang berlangsung
secara masif. Hasil hutan hasil pembalakan liar juga sering diputihkan melalui
penerbitan surat keterangan seolah-olah kayu tersebut berasal dari kawasan
hutan produksi tetap yang sudah ada izinnya.
Adanya
ketentuan bahwa pejabat yang mengetahui dan membiarkan berlangsungnya
pembalakan liar dan perusakan hutan juga akan dikenai pidana mudah-mudahan bisa
mengurangi potensi penyimpangan seperti ini.
Hak
Petani
Bagaimana
dengan hak-hak petani dalam RUU P3? Menurut RUU ini, pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan bantuan ganti rugi gagal
panen akibat kejadian luar biasa sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Untuk
melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat bencana alam, serangan
organisme pengganggu tanaman, wabah penyakit menular, dampak perubahan iklim,
dan jenis risiko lainnya, juga ada skema perlindungan melalui asuransi
pertanian.
Selain
itu ada pula fasilitasi pembiayaan dan permodalan yang dilakukan melalui
pinjaman modal kepemilikan lahan, bantuan penguatan modal, subsidi bunga
pinjaman dan pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau
program Kemitraan dan Bina Lingkungan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Baik
program asuransi maupun pembiayaan usaha tentu saja perlu dijalankan secara
profesional, dan mau tidak mau harus BUMN yang kompeten yang menjalankannya.
Pembiayaan
usaha pertanian bisa melalui penugasan pada Bank BRI, sedangkan asuransi
kerugian dan jaminan sosial untuk petani bisa dijalankan oleh Jamsostek atau
perusahaan asuransi yang sudah berpengalaman. Pembiayaan dan asuransi perlu
dibuat dengan skema yang kompatibel dengan karakteristik usaha tani dan jam
kerja petani.
RUU
P3 ini juga membedakan antara kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi
petani. Kelembagaan petani terdiri atas kelompok tani, gabungan kelompok tani,
asosiasi, dan dewan komoditas nasional.
Kelembagaan
ekonomi petani berupa badan usaha milik petani. Badan hukumnya diusulkan berupa
koperasi atau badan hukum lain sesuai perundang-undangan. Pengarustamaan
koperasi merupakan sebuah terobosan penting dalam RUU ini.
Perlindungan
petani juga menggunakan instrumen tarif bea masuk dan tarif bea keluar,
rekomendasi produk yang bisa masuk, karantina dan sertifikasi kesehatan,
subsidi dan imbal jasa, serta pemanfaatan pasar modern dalam pemasaran produk
lokal.
Namun,
RUU ini belum secara tegas mendukung reforma agraria melalui program
peningkatan luas lahan bagi petani gurem secara progresif dan belum mencakup
perlindungan nelayan. Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah melalui penerbitan
peraturan pemerintah atau pun legislator yang akan datang melalui usul
inisiatif RUU Reforma Agraria dan RUU Perlindungan Nelayan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar