Kamis, 18 Juli 2013

Menggagas Pendidikan Kritis di Pesantren

Menggagas Pendidikan Kritis di Pesantren
Ali Usman;Pemerhati Pendidikan, Penulis buku “Kiai Mengaji, Santri Acungkan Jari”
MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2013


PESANTREN merupakan sebuah institusi pendidikan (Wahid, 1978), layaknya lembaga pendidikan nasional pada umumnya. Hanya, pesantren tidak berpusat pada pemerintah. Eksistensinya bergantung kepada pengelola yang berdiri secara independen, atau para kiai (ustaz) yang dibantu beberapa keluarga yang lain, tetapi adakalanya juga dibantu murid (santri) senior.

Karena merupakan institusi pendidikan, unsur-unsur penting seperti belajar mengajar, tanya jawab, evaluasi belajar (ujian), dan lain sebagainya, terjadi pula di pesantren. Selama ini, kritik yang menghunjam oleh para pakar dan praktisi pendidikan hanya dialamatkan pada model pendidikan nasional. Padahal, menurut saya, sangat penting juga mengkritik pola pembelajaran di pesantren—-sebagaimana sekolah umum—-untuk melahirkan generasi bangsa yang diimpikan masyarakat.

Apalagi, belakangan ini, pesantren dituding sebagai ‘sarang teroris’ oleh mereka yang berang atas tindakan teror yang mengatasnamakan agama. Lihatlah sejumlah pelaku teror bom yang terjadi di beberapa tempat di Tanah Air sebagian menunjukkan adanya keterlibatan para santri, atau setidaktidaknya mereka yang pernah belajar di pesantren.

Para pelaku selalu berdalih atas doktrin agama Islam yang diajarkan guru-guru mereka. Karena itu, terlepas diakui atau tidaknya kebenaran tersebut, sejatinya semua pihak, terutama kaum agamawan mesti mengintrospeksi diri pada pola pembelajaran yang diampu di pesantren.

Dalam merespons isu tersebut, banyak pihak lantas mengkritik pengelola pesantren agar membenahi dan mengevaluasi kurikulum yang dijadikan pedoman. Jika pun memang ada indikasi bahwa para pelaku teror itu bertindak atas nama doktrin agama, yang pernah mereka pelajari di pesantren, hemat saya, kesalahan tidak hanya pada persoalan kurikulum, tetapi metode pembelajarannyalah yang tidak tepat.

Metode pembelajaran

Hasil penelitian Zamakhsyari Dhofir (1982) tentang sistem pembelajaran di pesantren menarik untuk diketengahkan di sini. Menurutnya, sistem pembelajaran pesantren pada umumnya menggunakan cara tradisional, yang biasa disebut bandongan atau sorogan. Bandongan atau sorogan adalah metode pembelajaran keagamaan yang dilakukan kiai dan/atau santri senior dengan membaca serta menyimak kitab tertentu yang diikuti sejumlah santri dalam jumlah yang amat banyak.

Sepintas tak ada persoalan dengan metode ini. Sebagai sebuah metode pembelajaran agar santri bisa membaca `kitab gundul' (teks Arab yang tak berharakat), cara ini sangat efektif. Namun, pada tingkat pengetahuan tentang isi kitab, santri tak mudah memahaminya. Ini terjadi karena proses pembelajaran yang berlangsung cenderung berjalan monoton, indoktrinasi, teacher-centred, text-book, dan top-down.

Santri tidak diberi kesempatan bertanya oleh kiai. Terkadang, santri hanya disuruh membaca teks saja tanpa dibarengi dengan memahami makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Praktik pendidikan di pesantren dengan demikian, disadari atau tidak, meminjam istilah Paolu Freire, nyata-nyata telah menerapkan `model bank'. Ini juga berlaku pada semua pembelajaran lain yang lazimnya membahas tema-tema tertentu di dalam pesantren.

Pendidikan sejatinya berisi acts of cognition (Freire, 1991). Model pendidikan ini mengandaikan adanya sikap dialogis antara seorang santri dan kiai. Santri tidak lagi diperlakukan sebagai objek layaknya gelas kosong yang mesti diisi air sebanyak mungkin. Santri punya hak untuk `memprotes', membantah jika ia tak sependapat dengan apa yang disampaikan kiai dan berkata `cukup' bila air yang diisi ternyata meluap.

Singkatnya, iklim pembelajaran sejatinya menganut sebuah jargon: `kiai menerangkan, santri tak sungkan mengacungkan jari'---jika memang ada yang perlu dipertanyakan--sebagai tanda hubungan dialogis.
Jalan dialog---dalam pen didikan berbasis agama (Islam)---dapat membebaskan manusia dari kepasifan dan juga membebaskan dari dominasi terhadap manusia lain. Dialog adalah keniscayaan dalam pro ses humanisasi, sebab dengan begitu manusia menjadi lebih bermakna, dihargai, dan sederajat (Shofan, 2004).

Meleburkan subjek-objek

Karena itu, kelak, proses penyadaran ini sudah semestinya dilakukan secara masif kepada semua elemen terkait di pesantren. Saya mengasumsikan santri yang sejak awal belajar agama---dalam teori fenomenologi---sebagai seorang `pemula'. Karena sikapnya yang pemula itu, dalam benaknya tentu banyak memendam kegelisahan berupa pertanyaanpertanyaan kritis. Namun, karena sering kali terbentur doktrin agama ataupun doktrin yang bersumber langsung dari kiai, santri pun dengan sangat terpaksa `bertekuk lutut' dan `bungkam' menuruti apa kata doktrin.

Jadi, pada batas-batas tertentu---tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim kepada kiai---hubungan santri dan kiai dalam proses pembelajaran secara ideal sejatinya sama-sama bertindak sebagai subjek, bukan subjek-objek. Dengan posisi ini, kiai tidak lagi menggurui, tapi larut dalam suasana saling belajar dan melengkapi satu ama lain.

Dengan kata lain, tak ada lagi objek da lam hubung an belajar mengajar antara santri dan kiai. Objek yang semula ditimpakan keda santri kini berubah haluan pada realitas dan teks itu sendiri. Dengan demikian terciptalah suasana dialogis yang bersifat intersubjek di dalam memahami suatu objek bersama (Freire, 1984).

Dengan mendekonstruski hubungan santri dan kiai dalam proses pembelajaran itu, secara nyata akan mengantarkan nilai-nilai humanisme yang bertitik tolak pada fitrah manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tak pernah dibeda-bedakan, kecuali karena ketakwaannya semata—-sebagaimana dilansir Alquran surah al-Hujarat ayat 13. Bukankah kiai juga manusia biasa, yang boleh jadi, santri dapat melampaui tingkat ibadahnya, meski dalam wilayahwilayah tertentu?

Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktik pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki sebagai makhluk individu yang khas dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Artinya, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). ‘Pendidikan adalah proses pembebasan dan proses membangkitkan kesadaran kritis bagi setiap insan,’ kata Freire.

Jadi, nantinya, perbaikan sistem pesantren dalam koridor al-muhafadhah ‘ala al-qadim alshalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama, dan menerima tradisi baru) merupakan keniscayaan yang perlu dilakukan sesuai perkembangan zaman. Modernitas dan globalisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya tidak untuk dihindari, tetapi sebaliknya justru perlu disikapi secara bijak dan arif.

Kita perlu mengapresiasi banyak pesantren yang kini sudah semakin maju karena telah mengadopsi pendidikan modern. Para santri dapat menikmati akses informasi lebih luas dan leluasa. Sebuah anekdot mengatakan: ‘jika dahulu santri hanya secara monoton membaca kitab kuning dan Alquran, kini juga bisa membaca koran.’ Penggunaan komputer, fasilitas internet, dan penyediaan laboratorium misalnya, saat ini telah menjadi tren baru di pesantrenpesantren terkemuka.

Para santri diajari bagaimana memanfaatkan dan mengakses informasi agar selalu ‘siap’ menghadapi tantangan zaman yang kian modern.

Dengan demikian, pola pembelajaran yang baik di pesantren tersebut akan memengaruhi kualitas para alumnusnya di kemudian hari. Sebab, di Indonesia, banyak tokoh penting yang sampai saat ini dikenal luas masyarakat pernah mengenyam pendidikan pesantren. Di pesantren, santri juga sudah sejak awal dibekali dengan kearifan dan nilai-nilai kehidupan, seperti keberanian mengemukakan pendapat, toleransi, moderatisme, dan lainlain.

Itu sebabnya, ketika di kalangan pemuka agama terjadi perbedaan pandangan atau pendapat mengenai suatu persoalan, misalnya, yang paling aktual tentang penentuan awal mula Ramadan antara yang menggunakan metode hisab dan rukyat, kaum santri dan diikuti masyarakat umum menganggapnya hal lumrah. Perbedaan dalam hal apa pun merupakan kewajaran atau dalam bahasa agama disebut sunatullah.

Nabi Muhammad SAW bahkan menganggap perbedaan di kalangan umatnya sebagai rahmat. Karena itu, tidaklah baik jika terdapat sikap seorang pemuka agama atau siapa pun itu yang mempermasalahkan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, termasuk urusan agama.

Semoga nantinya eksistensi pesantren semakin maju dan berjaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar