|
KOMPAS,
16 Juli 2013
Kalau sekarang pemerintah disibukkan dengan bantuan langsung
sementara masyarakat sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, diam-diam perguruan
tinggi negeri juga menikmati bantuan serupa: bantuan operasional perguruan
tinggi negeri.
Bedanya,
bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) diberikan kepada masyarakat miskin
karena kelompok masyarakat miskin perlu diberdayakan, bantuan operasional
perguruan tinggi negeri (BOPTN) diberikan kepada semua PTN, dengan jumlah yang
bervarasi: semakin kuat sebuah PTN akan semakin banyak dana BOPTN yang
diterimanya. Pemerintah mengalokasikan BOPTN setiap tahun. Jumlah alokasi pada
tahun berikutnya dapat naik atau turun. Pada tahun 2013 alokasi BOPTN sebanyak
Rp 2,7 triliun bagi 94 PTN.
”Evaluasi ini
berdasarkan faktor kualitas sesuai akreditasi,” kata Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh saat memberikan keterangan pers di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (27/5), seperti yang diberitakan
melalui laman Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di www.dikti.go.id.
Apa artinya kualitas?
Tulisan ini
mencoba memaknai jumlah dana BOPTN yang diterima masing-masing oleh 12 PTN
(berdasarkan urutan jumlah dana yang diterima), berikut jumlah publikasi
internasional yang terindeks di Scopus per 23 April 2013 yang dihasilkan PTN
yang menerima BOPTN dimaksud. Data Scopus tertanggal 23 April 2013 ini saya
kira sangat tepat dihadirkan karena dua hal.
Pertama, dana
BOPTN dibagikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang terjadi di sekitar
April 2013. Kedua, karena Dirjen Dikti paling ngotot agar publikasi
internasional dijadikan dasar penilaian bagus-tidaknya sebuah PTN, publikasi
internasional seharusnya jadi indikator sangat penting dalam penentuan jumlah
dana BOPTN yang diterima PTN.
Sosialisasi dan
aturan main tentang publikasi internasional yang dilakukan Prof Djoko Santoso,
selaku Dirjen Dikti, benar-benar luar biasa. Hal ini tecermin dari beberapa
surat edaran serta dalam bentuk ceramah-ceramah langsung. Masalah publikasi ini
jadi berita paling panas tentang perguruan tinggi sejak Djoko menjadi Dirjen
Dikti. Oleh karena itu, seharusnya kualitas yang dimaksud M Nuh sama dan
sebangun dengan kualitas yang dimaksud Djoko Santoso.
Seperti telah
dikemukakan, jumlah dana yang disalurkan BOPTN ini adalah Rp 2,7 triliun.
Jumlah yang diterima keseluruhan PTN, setelah dikurangi satuan kerja Ditjen
Dikti (untuk Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Rp 500 miliar dan BOPTN untuk
PTN baru Rp 25.348.039.239) serta satuan kerja Universitas Terbuka sebesar Rp
100 miliar, yang tersisa dan diperebutkan oleh PTN seluruh Indonesia adalah Rp
2.074.651.960.761.
Berdasarkan
jumlah dana yang diterima, Universitas Indonesia bertengger di urutan pertama
dengan dana Rp 226.790.370.292. Ini berarti UI menyerap hampir 11 persen dana
BOPTN. Jumlah publikasi UI yang terindeks di Scopus (per 23 April 2013) juga
terbilang fantastis untuk ukuran Indonesia, yaitu 2.531. Namun, dibandingkan
Universiti Malaya yang punya publikasi sekitar 20.000 atau National University
of Singapore yang memiliki publikasi 70.000 lebih, UI (apalagi PTN lain) tampak
menjadi universitas yang tidak berdaya.
Namun, yang
juga menarik, dalam beberapa hal jumlah BOPTN yang diterima tidak sesuai dengan
jumlah publikasi yang dihasilkan PTN. Ini artinya, faktor kualitas sesuai
akreditasi, seperti yang dikatakan Mohammad Nuh, tidak ada hubungannya dengan
jumlah publikasi internasional yang dihasilkan PTN. Jadi, jumlah publikasi
internasional yang tinggi tak ada hubungannya dengan akreditasi yang mereka
dapatkan. Ini bertolak belakang dengan program Dirjen Dikti yang sangat
menggebu-gebu dalam hal publikasi internasional.
Sebagai contoh,
IPB terpelanting ke urutan ke-4, padahal sesuai publikasi internasional yang
mereka miliki mestinya IPB di posisi ke-3. Publikasi internasional IPB (1.047)
hampir tiga kali lipat daripada Universitas Brawijaya (360) yang ada di
peringkat ke-3. Universitas Andalas (309) dan Universitas Syiah Kuala (249),
yang punya jumlah publikasi hampir sama tercampak di urutan ke-9 dan ke-10,
padahal kalau publikasi internasional yang dijadikan ukuran, seharusnya dua
universitas ini berada pada peringkat ke-5 dan ke-6.
Tak kalah
menarik, Universitas Negeri Malang dan Universitas Negeri Surabaya menjadi
universitas-universitas yang sangat beruntung karena mampu duduk di urutan ke-6
dan ke-7 meskipun tidak mempunyai publikasi internasional sama sekali yang
tercatat di indeks Scopus. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada dua
universitas ini saja. Universitas bekas IKIP yang lainnya juga mengalami nasib
serupa: menerima jumlah dana BOPTN yang banyak, tapi minim publikasi
internasional.
Ini memerlukan
analisis yang sempurna, untuk mencari akar masalahnya. Karena
universitas-universitas ini bergerak dalam bidang yang sangat strategis (bidang
pendidikan), seharusnya institusi ini juga didorong untuk melakukan publikasi
internasional sebanyak-banyaknya.
Akreditasi dan
publikasi
Tampak dari
analisis di atas bahwa kualitas sebuah PTN yang dimaksud oleh pemerintah
sedikit sekali hubungannya dengan publikasi internasional yang dihasilkan oleh sebuah
PTN. Saya juga yakin di level paling bawah, yaitu level program studi (prodi),
publikasi internasional juga tidak menjadi ukuran akreditasi sebuah prodi.
Kalau dugaan ini betul, pekerjaan yang dilakukan Dirjen Dikti menjadi pekerjaan
yang agak sia-sia.
Agar pekerjaan
(sosialisasi dan tuntutan publikasi internasional) ini tidak menjadi pekerjaan
mubazir yang berkepanjangan, ke depan akreditasi prodi dan akreditasi
universitas, basisnya harus didasarkan pada publikasi internasional. Kalau ini
ingin dijalankan secara konsisten, jumlah dana BOPTN yang diterima PTN pun
seharusnya mempunyai korelasi positif dengan publikasi internasional yang
dihasilkan PTN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar