|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Judul di atas memang provokatif. Ini
sengaja ditampilkan karena suka atau tidak, harus diakui, sampai hari ini
keberadaan Dewan Perwakilan Daerah belum terasa menggema di masyarakat. DPD
hanya muncul jika menyangkut pemberitaan dirinya sendiri, terutama rencana
perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 dan sempat diramaikan soal pembangunan
gedung perwakilan DPD di daerah. Apalagi yang dilakukan atau disuarakan anggota
DPD?
Sinyalemen ini bukan tanpa data dan
fakta. Sepanjang tahun 2009-2013 (Mei 2013), misalnya, Pusat
Informasi Kompas (PIK) menampilkan 4.098 berita terkait DPD. Itu pun
tidak seluruhnya merupakan berita tentang Dewan Perwakilan Daerah, melainkan
juga dewan pimpinan daerah partai politik atau organisasi kemasyarakatan karena
kata kunci yang dipakai adalah DPD.
Bandingkan dengan ”saudara tua”
DPD, yakni DPR. Pada periode yang sama, PIK menampilkan 18.430 berita. Dengan
kata kunci MPR, yang merupakan joint session DPD dan DPR dan relatif
bekerja lima tahun sekali, kecuali untuk menerima tamu dan menyosialisasikan
empat pilar berbangsa, masih muncul 1.860 berita. Dengan kata kunci DPRD,
tertampilkan 12.968 berita.
Kondisi serupa bisa kita lihat
sesuai pencarian pada Jumat (21/6). Jika menggunakan laman ”pencari”
www.google.co.id untuk melihat perbandingan jumlah penyebutan Dewan Perwakilan
Daerah, ditemukan 1,18 juta ”data” dengan kata kunci itu. Data itu pun termasuk
dengan kata kunci Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sebaliknya, dengan kata kunci
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditemukan 701.000 data. Selain itu, ditemukan
data Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak 3,79 juta. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ditemukan 2,75 juta data.
Memang ada ”permakluman”, jumlah
anggota DPD ”hanya” 132 orang. Bandingkan dengan anggota DPR yang 560 orang dan
anggota DPRD yang ribuan orang. Namun, kalau kita cermati, baik di DPD, MPR,
maupun DPR, sebenarnya narasumber yang muncul ya itu-itu saja. Dari DPD,
misalnya, yang paling sering muncul adalah nama Ketua DPD Irman Gusman—mengutip
data PIK sepanjang tahun 2009-2013 (Mei 2013) dalam 223 berita. Wakil Ketua DPD
Laode Ida muncul dengan 133 berita dan GKR Hemas sebanyak 101 berita.
Kemunculan anggota DPD lain jauh di bawah pimpinan lembaga perwakilan daerah
itu.
Mereka pun lebih banyak berbicara
tentang berbagai masalah kebangsaan, terutama politik secara umum, dibandingkan
dengan bicara mengenai persoalan di daerah. GKR Hemas sebagai wakil dari Daerah
Istimewa (DI) Yogyakarta memang banyak muncul terkait pembahasan Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Keistimewaan DI Yogyakarta saat itu, selain tentang
peran kaum perempuan dalam politik.
Bandingkan dengan pimpinan DPR,
seperti Marzuki Alie. Pada periode yang sama, PIK mencatat 778 berita dengan
kata kunci nama ketua parlemen itu. Anggota DPR, seperti Bambang Soesatyo, pun
mencatat kemunculan lebih banyak dibandingkan dengan pimpinan DPD, yakni 499
berita pada periode yang sama. Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Mahfud MD,
pada periode yang sama lebih sering lagi muncul dan menyampaikan pendapatnya,
yakni sebanyak 951 berita yang tercatat di PIK.
Padahal, dari survei yang diadakan
Lembaga Survei Indonesia terhadap 1.220 orang berusia minimal 17 tahun atau
sudah menikah di 33 provinsi pada 7-18 Desember 2011, dengan margin of error (ambang batas
kekeliruan) lebih kurang 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen, hampir
dua pertiga responden mengetahui DPD. Mereka juga memilih wakilnya secara
langsung dalam pemilu. Warga juga tahu, tugas DPD adalah mewakili rakyat di
daerah pada tingkat pusat (Kompas,
27/2/2012).
Panggung
harus direbut
Dari ”riset” kecil itu terlihat
betapa penampilan DPD masih memprihatinkan. DPD lebih banyak tak bersuara,
bahkan untuk sebuah persoalan yang menyangkut daerah. Padahal, menurut Ketua
Panitia Perancang UU tentang DPD Muspani (Bengkulu), dalam posisinya sebagai
”wakil daerah”, idealnya DPD dapat dijadikan mediator jika terjadi hubungan
pusat dan daerah yang tidak sesuai.
Namun, sekali lagi, niat DPD
mengemban amanat sebagai lembaga
perwakilan daerah tidak mudah. Penyebabnya antara lain kewenangan konstitusional terbatas dan instrumen politik dalam rangka mengemban amanat masyarakat dan daerah sangat terbatas (Kompas, 13/1/2009).
perwakilan daerah tidak mudah. Penyebabnya antara lain kewenangan konstitusional terbatas dan instrumen politik dalam rangka mengemban amanat masyarakat dan daerah sangat terbatas (Kompas, 13/1/2009).
Ahli hukum tata negara dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fajrul Falaakh, mengungkapkan, selama ini
kewenangan DPD sangat terbatas sehingga DPD tidak bisa mengambil keputusan
politik dan seperti ornamen demokrasi saja. Padahal, DPD juga dipilih rakyat
secara langsung. DPD perlu diperkuat dan itu hanya bisa dilakukan melalui
perubahan konstitusi (Kompas, 27/2/2012).
Keterbatasan dan minoritas memang
terkadang membuat seseorang atau suatu komunitas terpuruk dalam
ketidakberdayaan. Namun, tidak sedikit pula keterbatasan dan kondisi minoritas
itu membuat seseorang atau komunitas tertentu justru lebih kreatif, mendorong
memiliki daya juang dan upaya hidup yang tinggi, sehingga mereka menjadi
pemenang.
Kisah keberhasilan masyarakat China
di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, dalam menguasai perekonomian
bisa menjadi inspirasi. Kisah sukses dari kaum pendatang di Jakarta juga bisa
menginspirasi untuk meraih keberhasilan.
Kuncinya, panggung harus direbut!
Dalam dunia politik atau bidang lain yang sarat dengan persaingan tidak pernah
ada pemenang yang sukarela menyerahkan podiumnya. Tak ada keberhasilan tanpa
perjuangan dan usaha keras. Keterbatasan dan minoritas adalah tantangan.
Dalam dunia balap, mulai dari balap
sepeda sampai Formula 1, tidak pernah ada sirkuit yang berupa jalan lurus.
Selalu berliku, penuh dengan tantangan dan kesulitan dengan derajat yang beragam,
bahkan harus berulang-ulang dilalui.
Itulah ”medan perjuangan” anggota DPD untuk meraih keberhasilan, termasuk dalam
memperjuangkan penguatan dirinya melalui amandemen kelima UUD 1945.
Pengalaman menunjukkan, jalan lurus
yang ditawarkan DPD, mewacanakan perubahan UUD 1945 secara terbuka, tanpa
basa-basi, untuk ”kepentingan” penguatan DPD sejak tahun 2007, berujung pada
kegagalan. Sesungguhnya banyak sekali panggung” yang bisa direbut DPD untuk
mulai memperjuangkan penguatan dirinya. Strategis atau tidak sebuah isu atau
gagasan dalam dunia yang ”konsumtif” saat ini sangat tergantung pada kemasan
dan cara mempresentasikannya kepada masyarakat. Karena itu, kini berkembang
ilmu pemasaran politik dan politik public
relation.
Sebagai contoh, kondisi frustrasi
yang dialami ”warga” Jakarta dalam menghadapi kemacetan dan banjir akibat
perubahan iklim yang ekstrem dewasa ini sesungguhnya juga bisa menjadi pintu
masuk untuk isu penguatan DPD melalui perubahan UUD 1945. Tragedi yang menimpa
warga Wasior, Papua, atau daerah lain akibat banjir bandang juga adalah
panggung kosong yang sebenarnya lebih mudah direbut anggota DPD.
Namun, di mana anggota DPD?
Penampilan dan pernyataan dari pimpinan DPD yang dimuat media massa tidaklah
cukup.
Amandemen UUD 1945 sesungguhnya
hanya stempel bagi penguatan DPD jika DPD dengan keterbatasan dan minoritasnya sudah
lebih dahulu memperkuat dirinya sendiri dalam masyarakat. Keberadaan DPD
sungguh dirasakan masyarakat, khususnya daerah yang diwakili, dengan
tertampilkannya aspirasi mereka. DPD mampu merebut panggung masyarakat melalui
panggung media massa.
Jangan lupa, media massa adalah
cermin masyarakat. Dan, jurnalisme itu bertanggung jawab kepada publik. Jika
rakyat merasakan benar-benar aspirasinya sering disuarakan anggota DPD dan
keberadaan anggota DPD dirasakan masyarakat, penguatan DPD melalui perubahan konstitusi
hanyalah soal waktu.
Keberhasilan itu tergantung pada
panjang atau pendek lintasan sirkuitnya dan kecepatan yang bisa digenjot oleh
”mobil” DPD. DPD harus menambah kecepatannya karena tak tahu panjang
lintasannya.
Perdebatan amandemen UUD 1945 jangan
lagi dipersempit sekadar perebutan kewenangan DPD dan DPR, melainkan harus dikaitkan dengan persoalan
yang lebih besar, sesuai dengan potensi dan persoalan di daerah. Karena
sesungguhnya itulah makna kehadiran DPD di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar