|
INDOPROGRESS,
05 Juli 2013
‘MILITER
Mesir Menumbangkan Morsi’ begitu tajuk utama BBC ketika Morsi jatuh. ‘Presiden Mersi Ditumbangkan
di dalam sebuah Kudeta,’ lapor CBC. The Guardian menulis, ‘Militer Mesir Menyingkirkan
Presiden Mohamed Morsi.’ Dengan berita bertubi-tubi dari berbagai media ini,
tiba-tiba sejumlah Kiri menjadi khawatir dan ikut-ikutan latah: ‘Bahaya kudeta militer,
bahaya kudeta militer!’ Tetapi benarkah ada kudeta
militer di Mesir?
Setelah
disahkannya UU Ormas, dan juga karena trauma kediktatoran militer Orde Baru di
Indonesia, memang kawan-kawan kita di Indonesia agak terlalu paranoid terhadap
apapun yang berhubungan dengan militer. Tetapi bukan hanya di Indonesia, di
negeri-negeri lain juga urat saraf Kiri-kiri kita juga begitu sensitif dan
mudah latah.
Militer Mesir mengintervensi
dan melengserkan Morsi karena tekanan yang begitu besar dari jutaan rakyat Mesir,
yang membanjiri jalan-jalan dan alun-alun di semua kota di Mesir. Menurut
laporan dari Menteri Interiornya Morsi sendiri, 17 juta rakyat Mesir turun ke
jalan. Laporan lain mengatakan 20 juta, dan bahkan sampai 30 juta rakyat. Ini
adalah demonstrasi terbesar di dalam sejarah umat manusia, yang jauh lebih
besar dibandingkan revolusi dua tahun yang lalu ketika Mubarak tumbang. Pada
revolusi babak kedua ini, seluruh lapisan rakyat – bukan hanya yang paling maju
saja, tetapi juga yang paling terbelakang – terlempar ke dalam arena politik
dan meletup-letup.[1] Bahkan
orang-orang yang setahun yang lalu memberikan suara mereka kepada Ikhwanul
Muslimin, juga turun ke jalan menuntut lengsernya Morsi. Mereka tidak lagi
punya ilusi pada demokrasi borjuasi, tidak lagi menunggu sampai masa jabatan
orang yang mereka pilih habis. Mereka membawa demokrasi langsung ke
jalan-jalan. Inilah demokrasi sesungguhnya, dan bukan setiap lima tahun sekali
mengikuti pemilu.
Rakyat
Mesir dalam jutaan bergerak dengan sendirinya dan bukan atas komando militer
sama sekali. Bukanlah militer yang mengumpulkan 22 juta tanda tangandari rakyat
yang menuntut diturunkannya Morsi, dan bukanlah militer yang mengorganisir
tanggal demonstrasi. Militer hanya mengintervensi ketika situasi sudahlah
sangat gawat dan dapat meledak menjadi revolusi rakyat sepenuhnya di luar
kendali siapapun. Rakyat sudah mengelilingi gedung-gedung pemerintah dan istana
presiden, dan siap merangsek dan membakarnya. Morsi sebenarnya sudah kehilangan
kekuasaan, tetapi dia tetap keras kepala. Bahkan para menterinya sudah turun
dan meminta dia untuk turun juga karena rakyat sudah begitu geram. Sebagian
kelas penguasa paham bahwa mereka harus mengorbankan Morsi dan Ikhwanul
Muslimin demi menjaga keberlangsungan seluruh sistem politik ini.
Kalau
militer tidak campur tangan, dengan berbicara di atas nama rakyat, tidak
diragukan kalau revolusi ini akan menjadi di luar kendali siapapun. Rakyat akan
mengambil kekuasaan di tangannya sendiri dan bahkan mempersenjatai diri mereka
sendiri. Kelas penguasa Mesir, dari yang berjenggot sampai yang berdasi rapi,
dan juga para petinggi Miiter, akan kehilangan seluruh kekuasaan mereka di
Mesir. Yang kita saksikan di sini bukanlah kudeta militer, tetapi manuver kelas
penguasa untuk menyelamatkan situasi.
Dua
tahun yang lalu ketika Mubarak ditumbangkan oleh rakyat, skenario yang serupa
juga terjadi. Militer campur tangan karena sang presiden terlalu keras kepala.
Dewan Agung Militer, setelah demonstrasi rakyat menjadi tambah radikal dan
tidak menampakkan tanda-tanda akan surut, lalu menyatakan ‘dukungannya terhadap
tuntutan-tuntutan sah rakyat,’ dan dengan ini secara resmi mencampakkan
dukungannya terhadap Mubarak. Militer lalu membentuk pemerintahan interim yang
ada di tangan Dewan Agung Militer. Tetapi pada saat itu tidak ada satupun
pemerintahan di dunia yang mengutuk ini sebagai sebuah kudeta militer terhadap
Mubarak, padahal salah satu perintah pertama dari militer setelah Mubarak jatuh
adalah mengosongkan lapangan Tahrir dan melarang demonstrasi. Kelas penguasa
dunia justru menghela napas panjang bahwa Militer Mesir telah menyelamatkan
situasi ini dan mengambil kendali, dan mereka segera menyatakan bahwa era demokrasi
telah dimulai di Mesir. Militer Mesir lalu melakukan berbagai manuver dengan
Ikhwanul Muslimin dan kelompok oposisi borjuasi lainnya, yang mereka lihat
sebagai sekutu-sekutu yang dapat diandalkan untuk menghentikan laju revolusi.
Ketika
Ikhwanul Muslimin, yang merupakan seksi borjuasi yang berjenggot, terpilih
dalam pemilu tahun lalu, Militan (International
Marxist Tendency) mengatakan dengan jelas bahwa rejim ini tidak akan dapat
bertahan lama, karena ia tidak akan bisa menyelesaikan krisis di dalam
masyarakat Mesir hanya dengan ayat-ayat suci. Masalah fundamental di Mesir
adalah masalah roti. Seperti yang dikatakan salah seorang demonstran muda di
Alexandria beberapa hari lalu: ‘Tidak ada yang berubah sama sekali; gaji saya
tidak naik. Istri saya hamil, bagaimana saya dapat memberi makan bayi saya?’
Selama sistem ekonomi di Mesir adalah sistem kapitalisme, tidak peduli
dibungkus dengan ekonomi syariah atau ekonomi keagamaan apapun, maka rakyat
miskin tidak akan bisa keluar dari jurang kemiskinan mereka. Ini bukanlah
protes menentang Islam, karena jelas terlihat banyak perempuan berkerudung yang
tumpah ruah di jalan. Ini adalah protes menentang sistem ekonomi yang tidak
adil dan tidak dapat mensejahterakan rakyat, sebuah sistem yang diwakili oleh Mubarak
dan sekarang oleh Morsi. Jutaan rakyat Mesir mungkin belum sampai ke kesadaran
bahwa mereka sedang berjuang melawan sistem kapitalisme, tetapi mereka dengan
cepat sedang bergerak ke arah kesadaran ini. Inilah yang mengkhawatirkan para
penguasa. Satu hari saja Morsi – ataupun Mubarak dua tahun yang lalu – terus
memaksa bertahan, maka kesadaran rakyat akan melompat bahkan lebih jauh, dan
inilah alasan mengapa sebagian seksi kelas penguasa – tidak hanya para petinggi
militer – mendorong agar mereka turun.
Selain
itu, para petinggi Militer ini takut kalau revolusi yang semakin meluas ini
akan berpengaruh pada tentara bawahan mereka. Pada revolusi pertama dua tahun
yang lalu, jelas para tentara bawahan mulai bersimpati pada rakyat dan
revolusi. Angkatan bersenjata, di bawah hantaman revolusi, mulai retak. Al
Jazeera melaporkan bagaimana sejumlah tentara meletakkan senjata mereka dan
ikut turun berdemonstrasi dengan rakyat. Oleh karenanya para petinggi Militer
saat itu tidak bisa menggunakan tentara untuk menumpas revolusi sama sekali.
Kalau mereka mencoba melakukan ini, jelas moncong senjata akan berbalik ke para
petinggi militer ini. Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, menulis sebuah
puisi yang dengan gamblang menggambarkan ini:
Jenderal, Tankmu adalah Kendaraan
Hebat
Bisa meratakan hutan dan menggilas ratusan orang
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia butuh pengemudi
Bisa meratakan hutan dan menggilas ratusan orang
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia butuh pengemudi
Jenderal, Pesawat Pengebommu
sangatlah kuat
Bisa terbang lebih cepat dari badai dan mengangkut barang lebih besar dari gajah
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia butuh mekanik
Bisa terbang lebih cepat dari badai dan mengangkut barang lebih besar dari gajah
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia butuh mekanik
Jenderal, manusia sangatlah
bermanfaat
Dia bisa terbang dan bisa membunuh
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia bisa berpikir
Dia bisa terbang dan bisa membunuh
Namun ia punya satu kelemahan:
Ia bisa berpikir
Hal
yang sama terjadi, dalam skala yang lebih luas dan dalam, pada revolusi babak
kedua ini. Kalau dua tahun lalu demonstrasi hanya dalam jumlah jutaan, kali ini
dalam jumlah puluhan juta. Setiap tentara pasti punya ayah atau ibu, anak atau
keponakan, paman atau bibi, saudara sepupu atau kawan, yang terlibat di dalam
demonstrasi ini. Para tentara bawahan ini tidak buta dan tidak tuli. Mereka
adalah manusia yang bisa berpikir, dan para petinggi Militer Mesir paham ini.
Mereka tahu mereka tidak bisa serta-merta memerintahkan bawahan mereka untuk
menumpas revolusi. Militer ada dalam posisi yang lemah, dan bukan dalam posisi
yang kuat sama sekali. Inilah kenyataan yang sesungguhnya. Inilah alasan
mengapa kali ini pemerintahan interim yang dicanangkan oleh militer bukanlah di
tangan Dewan Agung Militer seperti dua tahun yang lalu, tetapi diberikan kepada
Kepala Hakim Pengadilan Konstitusi, Adly Mahmud Mansour. Ini adalah indikator
jelas dari lemahnya intervensi Militer kali ini. Dua tahun yang lalu ketika
pemerintahan interim dipegang oleh Dewan Agung Militer, mereka sangatlah
dibenci oleh rakyat dan berkali-kali terjadi baku hantam dengan demonstran yang
sampai mengakibatkan korban jiwa. Petinggi Militer kali ini tidak berani
mengulang hal yang sama, apalagi dengan puluhan juta rakyat yang telah tumpah
ruah.
Pada
akhirnya, kita harus memahami karakter dari Negara. Negara, pada analisa
terakhir, setelah dilucuti dari semua pernak-perniknya, adalah badan
orang-orang bersenjata yang merupakan alat penindas satu kelas terhadap kelas
yang lainnya. Ia adalah, seperti kata Engels, komite eksekutif untuk mengurus
masalah-masalah kelas penguasa. Tetapi ini barulah ABC dari Marxisme, setelah
ABC ada abjad-abjad lainnya, dan lalu ada suku-suku kata, dan kalimat-kalimat.
Negara, dalam situasi tertentu, dapat menjadi independen dari kelas yang dia
layani. Engels menulis:
Akan
tetapi, ada pengecualian, pada saat periode dimana kelas-kelas yang berbenturan
memiliki kekuatan yang seimbang sehingga kekuasaan Negara sebagai penengah
memperoleh, untuk sementara, kemandirian pada tingkatan tertentu dari keduanya
… ‘
Pada
momen-momen kritis dimana tidak ada satu kelaspun yang bisa menang, maka
Negara, terutama badan bersenjatanya, akan memperoleh kemandirian tertentu
untuk mengintervensi di luar kehendak kelas penguasa. Bahkan kadang-kadang
Negara akan melakukan hal-hal yang tidak disetujui sepenuhnya oleh kelas
penguasa, tetapi sebenarnya untuk melayani kepentingan kelas penguasa secara
keseluruhan. Jadi hubungan antara kelas penguasa dan Negara bukanlah bersifat
satu arah dan formalistik, tetapi bersifat dialektis. Namun secara umum Negara
borjuasi akan tetapi melayani kepentingan kelas borjuasi. Dalam konteks Mesir,
Militer campur tangan dan menumbangkan rejim Morsi (dan Mubarak) demi
menyelamatkan kapitalisme secara keseluruhan. Tetapi mereka melakukan ini dari
posisi yang sangat lemah dan dengan tangan yang terikat, yakni karena tekanan
puluhan juta rakyat Mesir.
Contoh
ekstrim, dengan situasi yang berbeda, adalah Indonesia pada tahun 1965, Negara
(badan orang-orang bersenjata atau militer) juga melakukan intervensi, tetapi
dari posisi yang sangat kuat. Pada 1960an, kita saksikan sebuah pertempuran
kelas yang sangatlah tajam, tetapi tidak ada satu kelaspun yang bisa
menang dan merebut kekuasaan. Kelas buruh, yang sebenarnya mampu merebut
kekuasaan, disuruh oleh PKI dan Soekarno untuk tidak merebut kekuasaan dan
tidak bergerak ke sosialisme, dengan dalih bahwa revolusi ini adalah revolusi
nasional. Sementara kelas borjuasi nasional Indonesia terlalu lemah untuk
mengalahkan kelas buruh. Situasi yang menggantung ini harus diselesaikan, dan Militer
akhirnya melakukan intervensi dalam bentuk kudeta yang berdarah-darah. Tidak
hanya kelas buruh yang dihancurkan, bahkan sejumlah lapisan kaum borjuasi
hak-haknya dirampas dan seluruh ekonomi diserahkan kepada militer. Namun pada
akhirnya ini dilakukan demi keberlangsungan kapitalisme dan kelas borjuasi
secara keseluruhan. Inilah fenomena yang disebut Bonapartisme, yang dalam
sejarah perjuangan kelas – tidak hanya dalam kapitalisme – telah kita saksikan
berulang kali, yakni dimana Negara memperoleh kemandirian tertentu dari kelas
yang dia layani.
Media
kapitalis dan penguasa seluruh dunia hari ini punya kepentingan mereka sendiri
untuk menggambarkan bahwa jatuhnya Morsi adalah karena kudeta militer. Mereka
mencoba mengaburkan kenyataan bahwa ada 30 juta rakyat Mesir yang turun ke
jalan. Mereka ingin mengecilkan peran rakyat, dan juga menyebarkan prasangka
rasis kalau rakyat Arab adalah barbar yang membenci demokrasi dan hanya
menyukai kudeta militer. Kelas penguasa dunia takut kalau-kalau revolusi Mesir
ini ditiru oleh rakyat pekerja dunia. Dalam satu bulan ini saja sudah ada empat
pemberontakan besar, di Turki, Brazil, Portugal, dan Mesir. Kita cukup ingat
apa yang terjadi dua tahun yang lalu dimana revolusi di Tunisia menyebar dengan
cepat, dan bahkan menginspirasi sejumlah perjuangan di Amerika Serikat. Oleh
karenanya, kalau kita tidak memahami situasi politik yang sesungguhnya di Mesir
dan ikut-ikutan latah ‘kudeta militer,’ kita akan menemukan diri kita menjadi
pelayan media kapitalis untuk mengecilkan peran rakyat dan mencegah menyebarkan
revolusi ini. Disinilah kita lihat bahwa pemahaman Marxisme secara mendalam
adalah krusial dalam gerakan. Tanpa Marxisme sebagai pegangan, kita akan jadi
bulan-bulanan dari opini publik borjuasi dan segala prasangka yang
disebarkannya. Tidak cukup hanya memahami ABC Marxisme mengenai Negara dan
merasa puas. Justru yang paling berbahaya adalah pemahaman Marxisme yang
setengah-setengah, dan tidak sedikit revolusi yang gagal dengan pahit karena
pemahaman yang setengah-setengah ini.
Rakyat
Mesir telah menumbangkan Morsi dan Ikhwanul Muslimin. Ini adalah pukulan besar
terhadap Islam Politik, yang adalah Islamnya kaum borjuasi. Di Turki, Erdogan
dan partai Islamisnya telah tergoncang. Di tanah air, PKS sudah terbukti bobrok
dan tidak lebih dari kumpulan pencoleng. Dengan menyedihkan, para petinggi PKS
mencoba membela Erdogan dan Morsi. Inilah solidaritas kelas antara PKS,
Ikhwanul Muslimin dan AKP, yakni solidaritas kelas kaum borjuasi yang kebetulan
beragama sama. Rakyat Mesir dalam jutaan telah menunjukkan bahwa ini bukanlah
masalah agama, bukan masalah Islam versus sekularisme. Perjuangan ini adalah
perjuangan untuk melawan penderitaan kemiskinan di bawah sistem kapitalisme.
Hari ini rakyat Mesir telah meraih satu kemenangan, tetapi perjuangan belumlah
selesai. Tidak adanya sebuah partai revolusioner telah memungkinkan militer
untuk melakukan manuver dan menyelamatkan situasi dengan menaruh Tuan Mansour
sebagai kepala negara sementara. Inilah kelemahan dari gerakan Mesir hari ini,
dan tidak ada jalan pintas selain terus membangun kekuatan sosialis
revolusioner di dalam gerakan ini. Selama kapitalisme masih berkuasa di Mesir,
maka tidak akan ada jalan keluar bagi rakyat Mesir. Hanya ada satu jalan
keluar: rakyat pekerja Mesir menyita hak milik orang-orang kaya yang
mengendalikan ekonomi bangsa ini, yang kebanyakan dari mereka punya hubungan
dengan rejim Mubarak yang lama, dengan para petinggi Militer, dan dengan para
borjuasi berjubah putih. Dengan merebut kekuatan ekonomi dari para penguasa,
maka rakyat akan sungguh-sungguh berkuasa dan dapat, untuk pertama kalinya,
mengambil nasib mereka ke tangan mereka sendiri. ●
[1] Untuk laporan lebih
detil mengenai keterlibatan massa dan situasi di dalam demonstrasi ini, baca
‘Jutaan Massa Membanjiri Jalan Menandai Akhir dari Rezim Morsi.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar