|
SINAR
HARAPAN, 16 Juli 2013
Sejak
pergantian kepemimpinan di China menjelang penghujung tahun 2012, ada sebuah
fenomena menarik di negeri itu. Itulah pertanyaan kalau situasi politik dan
kemasyarakatan di China dewasa ini sama dengan keadaan di Prancis menjelang
revolusi yang meruntuhkan kekuasaan Dinasti Bourbon pada 1789.
Revolusi
Prancis yang prosesnya berlangsung selama 10 tahun dan cukup menggegerkan dunia
Barat seolah hidup kembali. Namun benarkah situasi sebelum revolusi terjadi di
Prancis ada kemiripannya dengan situasi China sekarang?
Penduduk
kedua negara itu tentu saja lain, tradisi politik dan masyarakat pasti juga
berbeda. Di samping itu, lokasinya saling berjauhan dan waktu terjadinya
terpisah selama lebih dari 200 tahun.
Namun,
para pemimpin China percaya ada kesejajaran antara keadaan negeri mereka
pascareformasi dengan situasi di Prancis menjelang revolusi. Oleh karena itu,
buku karya Alexis de Tocqueville tiba-tiba saja menjadibest seller di negeri
semiliar manusia yang secara tradisional memang gemar membaca itu.
Tocqueville
hidup pada 1805-1859. Ia seorang penulis dan pemikir politik Prancis yang
berbicara tentang perkembangan masyarakat pada zamannya. Ada dua karya utamanya
yang sering dianggap selalu relevan dengan situasi sosial politik pada masa
kini.
Kedua
buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Itulah Democracy in America dan The Ancien Regime and the French Revolution.
Di Amerika buku yang disebut pertama malah jadi salah satu bacaan wajib bagi
siswa-siswa SMA.
Argumentasi
dasar yang ditonjolkannya dalam Democracy
in America antara lain mengatakan bahwa alasan utama terjadinya revolusi di
negeri itu adalah: rakyat Amerika menginginkan kebebasan dari cengkeraman
monarki Inggris.
Benih-benih
revolusi Amerika antara lain dimulai ketika rakyat Amerika keberatan untuk
membayar pajak tanpa terwakili di parlemen Inggris. Tuntutan itu tecermin dalam
slogan No taxation without representation.
Jadi,
menurut Tocqueville, keinginan untuk mempraktikkan sistem demokrasi sudah ada
sejak revolusi Amerika mulai membara, walaupun pada perkembangannya kemudian terjadi
berbagai penyimpangan.
Misalnya
hak-hak penuh persamaan politik di muka undang-undang dan hukum dari kaum
non-kulit putih baru dapat dicapai setelah pertengahan abad ke-20, itu pun
dilalui dengan perjuangan yang ingar-bingar. Kesimpulannya, Tocqueville
membedakan penyebab revolusi Amerika dengan revolusi Prancis: orang Amerika
menginginkan kebebasan dan demokrasi, sedangkan orang Prancis membenci golongan
yang mendapat hak-hak istimewa atau kaum bangsawan.
Akan
halnya penyebab revolusi di Prancis, dalam The Old Regime and the
Revolution ia kurang setuju dengan pendapat bahwa itu terjadi lantaran adanya
penguasa absolut yang melakukan penindasan kejam terhadap rakyat. Revolusi
justru terjadi, menurut dia, ketika Dinasti Bourbon sedang bebenah diri.
Ekonomi
sedang menanjak walaupun diakui kemiskinan memang ada. Perubahan yang diwarnai
kekerasan terjadi ketika penguasa feodal tengah berkonsolidasi antara lain
dengan menghapuskan hak-hak bangsawan yang sebelumnya menjadi perantara antara
kaum tani dengan istana. Itulah barangkali istilah yang populer dewasa ini di
bawah sebutan “sentralisasi”.
Pada
saat yang sama muncullah kaum borjuis sebagai pesaing kaum bangsawan yang sudah
tak punya gigi lagi itu. Di tengah pencarian rakyat untuk adanya perantara
dengan kelas penguasa, pecahlah revolusi. Kelas borjuis juga turut berperan
dalam peruntuhan kelas penguasa.
Para
ilmuwan politik di Barat menyebut gejala itu sebagai akibat dari “paradoks
Tocqueville”, masa ketika tanda-tanda krisis sudah muncul. Atas dasar itu pula,
menurut tesis yang diajukan Tocqueville, masa paling berbahaya yang dihadapi
sebuah rezim penguasa bukanlah ketika terjadi penindasan hebat terhadap rakyat.
Ia
sebaliknya berkesimpulan revolusi justru pecah pada saat perbaikan pemerintahan
sedang berjalan dan pada waktu kehidupan makin bertambah baik. Atau,
penumbangan kekuasaan terjadi ketika harapan orang banyak terhadap suatu usaha
perbaikan sedang berjalan dan tak sukses. Itulah yang disebut sebagai “paradoks
Tocqueville.”
Dari
Atas
Percaya
atau tidak, seperti dikatakan pada bagian awal dari tulisan ini, terjemahan
buku kedua karya Tocqueville di bawah judul Jiu Zhidu yu Da Geming itu
tiba-tiba saja populer.
Tak
kurang dari Presiden/Sekjen Partai Komunis China, Xi Jinping, menganjurkan para
kader membaca buku itu dengan saksama dan membandingkan situasi Prancis
pra-revolusi dengan keadaan sosial politik China pasca-reformasi. Semua toko
buku di kota-kota besar menyediakannya, dan konon buku iu kini menjadi bacaan
paling laris di hampir seluruh China.
Menurut
sinolog Joseph Fewsmith popularitas buku itu dimulai oleh ilmuwan sosial
bernama Hua Sheng, seorang ekonom yang banyak menulis dan bicara pada masa
perdebataan mengenai reformasi menjelang peristiwa Tiananmen 1989.
Pada
suatu hari ia dipanggil untuk menghadap Wang Qishan, kini menjabat sebagai
wakil perdana menteri yang bertanggung jawab atas masalah-masalah keuangan,
termasuk pemberantasan korupsi. Pada pertemuan itulah Wang menganjurkan agar
para intelektual membaca buku karya itu.
Paradoks
Pada
mulanya para blogger di internetlah yang berdebat mengenai teori
Tocqueville. Salah satu kesimpulan mereka adalah pendapat bahwa reformasi yang
dimulai oleh Deng Xiaoping kini telah kehilangan semangat sebagai akibat dari
penyelewengan yang dilakukan oleh elite pemerintahan, partai, dan militer.
Padahal, menurut si penulis itu, tujuan dari reformasi adalah demi mengekalkan
posisi Partai Komunis China sebagai pemegang kekuasaan satu-satunya.
Yang
menjadi perhatian utama baik para ilmuwan sosial di Barat maupun di China
sendiri adalah apa yang populer dengan sebutan “paradoks Tocqueville” yang
disebutkan di atas. Bahwa penggulingan rezim penguasa dan revolusi justru terjadi
ketika golongan penguasa sedang bebenah diri atau yang kini populer dengan
istilah “reformasi”.
Banyak
dari para sarjana itu memandang China pada masa kini sedang menghadapi paradoks
Tocqueville itu. Pemerintah tengah bebenah, kehidupan rakyat makin meningkat,
namun sebaliknya ketakpuasan publik juga makin meninggi.
Ketakpuasan
rakyat digambarkan dengan meruyaknya berbagai gejolak masyarakat seperti protes
damai dan yang dengan kerusuhan, demo, konflik dengan kekerasan antara aparat
polisi dan para pemorotes. Statistik yang antara lain dikeluarkan oleh Chinese
Academy of Social Sciences mencatat pada 1993 “hanya” ada 8.700 demo dan 10
tahun kemudian angka itu meningkat menjadi 58.000 atau tumbuh sebanyak 700
persen. Jumlah kerusuhan itu turun naik setelah 2003 tapi selalu berada di atas
50.000.
Pasal
yang menjadi penyebab demonstrasi macam-macam. Mulai dari politik seperti
tuntutan agar pemenang Hadiah Nobel Liu Xiaobo yang dipenjarakan dibebaskan,
buruh yang menuntut gaji lebih tinggi, protes atas pembebasan lahan untuk
dijadikan kawasan komesrsial, sampai ke protes atas polusi dari pabrik-pabrik,
korupsi, dan isu-isu sosial lainnya. Kesimpulannya, perlawanan dari bawah
diarahkan pada pelbagai macam “penyakit masyarakat” sebagai akibat dari proses
kapitalisasi perekonomian sejak reformasi diperkenalkan.
Sementara
pengamat mengatakan, dunia di luar China supaya tak terlalu terpengaruh oleh
begitu banyaknya aksi protes itu. Alasannya, pertama walaupun jumlahnya besar,
hampir semua gejolak massa itu terjadi di wilayah-wilayah pinggiran.
Para
penguasa selalu berusaha agar tak terjadi aksi protes besar seukuran Tiananmen
1989 atau gerakan Fa Lun Gong (1990) yang sempat menggegerkan ibu kota. Kedua,
pemerintah memang membiarkan kegiatan protes sebagai cara buat menyalurkan
frustrasi umum, asalkan protes itu tidak menjadi besar dan tidak terjadi di
perkotaan.
Namun,
dari semua aksi protes itu ada juga yang bergema di dunia internasional. Itu
terjadi di Wukan, sebuah desa dekat Kota Guangzhou, di Provinsi Guangdong,
China Selatan, pada September 2011. Konon, para birokrat dan pemimpin partai di
desa itu telah merampas tanah-tanah yang dikerjakan petani dan menjualnya
kepada para pengembang sehingga protes pun muncul.
Polisi
bertindak brutal dengan menahan para pemimpin perlawanan itu dan salah satu
dari mereka tewas karena disiksa. Akibatnya, aksi perlawanan rakyat sangat
dahsyat: aparat polisi, birokrat pemerintahan dan partai terusir dari Wukan.
Hanya setelah tarik-menarik selama berminggu-minggu dan setelah akhirnya
pemerintah menyerah dan membatalkan jual beli tanah itu kerusuhan itu dapat
diredam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar