Minggu, 21 Juli 2013

Alexei de Tocqueville di Beijing

Alexei de Tocqueville di Beijing
A Dahana ;   Peneliti Lembaga Persahabatan Indonesia-China (LIC)
SINAR HARAPAN, 16 Juli 2013


Sejak pergantian kepemimpinan di China menjelang penghujung tahun 2012, ada sebuah fenomena menarik di negeri itu. Itulah pertanyaan kalau situasi politik dan kemasyarakatan di China dewasa ini sama dengan keadaan di Prancis menjelang revolusi yang meruntuhkan kekuasaan Dinasti Bourbon pada 1789.
Revolusi Prancis yang prosesnya berlangsung selama 10 tahun dan cukup menggegerkan dunia Barat seolah hidup kembali. Namun benarkah situasi sebelum revolusi terjadi di Prancis ada kemiripannya dengan situasi China sekarang?

Penduduk kedua negara itu tentu saja lain, tradisi politik dan masyarakat pasti juga berbeda. Di samping itu, lokasinya saling berjauhan dan waktu terjadinya terpisah selama lebih dari 200 tahun.

Namun, para pemimpin China percaya ada kesejajaran antara keadaan negeri mereka pascareformasi dengan situasi di Prancis menjelang revolusi. Oleh karena itu, buku karya Alexis de Tocqueville tiba-tiba saja menjadibest seller di negeri semiliar manusia yang secara tradisional memang gemar membaca itu.

Tocqueville hidup pada 1805-1859. Ia seorang penulis dan pemikir politik Prancis yang berbicara tentang perkembangan masyarakat pada zamannya. Ada dua karya utamanya yang sering dianggap selalu relevan dengan situasi sosial politik pada masa kini.

Kedua buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Itulah Democracy in America dan The Ancien Regime and the French Revolution. Di Amerika buku yang disebut pertama malah jadi salah satu bacaan wajib bagi siswa-siswa SMA.

Argumentasi dasar yang ditonjolkannya dalam Democracy in America antara lain mengatakan bahwa alasan utama terjadinya revolusi di negeri itu adalah: rakyat Amerika menginginkan kebebasan dari cengkeraman monarki Inggris.

Benih-benih revolusi Amerika antara lain dimulai ketika rakyat Amerika keberatan untuk membayar pajak tanpa terwakili di parlemen Inggris. Tuntutan itu tecermin dalam slogan No taxation without representation.
Jadi, menurut Tocqueville, keinginan untuk mempraktikkan sistem demokrasi sudah ada sejak revolusi Amerika mulai membara, walaupun pada perkembangannya kemudian terjadi berbagai penyimpangan.

Misalnya hak-hak penuh persamaan politik di muka undang-undang dan hukum dari kaum non-kulit putih baru dapat dicapai setelah pertengahan abad ke-20, itu pun dilalui dengan perjuangan yang ingar-bingar. Kesimpulannya, Tocqueville membedakan penyebab revolusi Amerika dengan revolusi Prancis: orang Amerika menginginkan kebebasan dan demokrasi, sedangkan orang Prancis membenci golongan yang mendapat hak-hak istimewa atau kaum bangsawan.

Akan halnya penyebab revolusi di Prancis, dalam The Old Regime and the Revolution ia kurang setuju dengan pendapat bahwa itu terjadi lantaran adanya penguasa absolut yang melakukan penindasan kejam terhadap rakyat. Revolusi justru terjadi, menurut dia, ketika Dinasti Bourbon sedang bebenah diri.

Ekonomi sedang menanjak walaupun diakui kemiskinan memang ada. Perubahan yang diwarnai kekerasan terjadi ketika penguasa feodal tengah berkonsolidasi antara lain dengan menghapuskan hak-hak bangsawan yang sebelumnya menjadi perantara antara kaum tani dengan istana. Itulah barangkali istilah yang populer dewasa ini di bawah sebutan “sentralisasi”.

Pada saat yang sama muncullah kaum borjuis sebagai pesaing kaum bangsawan yang sudah tak punya gigi lagi itu. Di tengah pencarian rakyat untuk adanya perantara dengan kelas penguasa, pecahlah revolusi. Kelas borjuis juga turut berperan dalam peruntuhan kelas penguasa.

Para ilmuwan politik di Barat menyebut gejala itu sebagai akibat dari “paradoks Tocqueville”, masa ketika tanda-tanda krisis sudah muncul. Atas dasar itu pula, menurut tesis yang diajukan Tocqueville, masa paling berbahaya yang dihadapi sebuah rezim penguasa bukanlah ketika terjadi penindasan hebat terhadap rakyat.
Ia sebaliknya berkesimpulan revolusi justru pecah pada saat perbaikan pemerintahan sedang berjalan dan pada waktu kehidupan makin bertambah baik. Atau, penumbangan kekuasaan terjadi ketika harapan orang banyak terhadap suatu usaha perbaikan sedang berjalan dan tak sukses. Itulah yang disebut sebagai “paradoks Tocqueville.”

Dari Atas

Percaya atau tidak, seperti dikatakan pada bagian awal dari tulisan ini, terjemahan buku kedua karya Tocqueville di bawah judul Jiu Zhidu yu Da Geming itu tiba-tiba saja populer.

Tak kurang dari Presiden/Sekjen Partai Komunis China, Xi Jinping, menganjurkan para kader membaca buku itu dengan saksama dan membandingkan situasi Prancis pra-revolusi dengan keadaan sosial politik China pasca-reformasi. Semua toko buku di kota-kota besar menyediakannya, dan konon buku iu kini menjadi bacaan paling laris di hampir seluruh China.

Menurut sinolog Joseph Fewsmith popularitas buku itu dimulai oleh ilmuwan sosial bernama Hua Sheng, seorang ekonom yang banyak menulis dan bicara pada masa perdebataan mengenai reformasi menjelang peristiwa Tiananmen 1989.

Pada suatu hari ia dipanggil untuk menghadap Wang Qishan, kini menjabat sebagai wakil perdana menteri yang bertanggung jawab atas masalah-masalah keuangan, termasuk pemberantasan korupsi. Pada pertemuan itulah Wang menganjurkan agar para intelektual membaca buku karya itu.

Paradoks

Pada mulanya para blogger di internetlah yang berdebat mengenai teori Tocqueville. Salah satu kesimpulan mereka adalah pendapat bahwa reformasi yang dimulai oleh Deng Xiaoping kini telah kehilangan semangat sebagai akibat dari penyelewengan yang dilakukan oleh elite pemerintahan, partai, dan militer. Padahal, menurut si penulis itu, tujuan dari reformasi adalah demi mengekalkan posisi Partai Komunis China sebagai pemegang kekuasaan satu-satunya.

Yang menjadi perhatian utama baik para ilmuwan sosial di Barat maupun di China sendiri adalah apa yang populer dengan sebutan “paradoks Tocqueville” yang disebutkan di atas. Bahwa penggulingan rezim penguasa dan revolusi justru terjadi ketika golongan penguasa sedang bebenah diri atau yang kini populer dengan istilah “reformasi”.

Banyak dari para sarjana itu memandang China pada masa kini sedang menghadapi paradoks Tocqueville itu. Pemerintah tengah bebenah, kehidupan rakyat makin meningkat, namun sebaliknya ketakpuasan publik juga makin meninggi.

Ketakpuasan rakyat digambarkan dengan meruyaknya berbagai gejolak masyarakat seperti protes damai dan yang dengan kerusuhan, demo, konflik dengan kekerasan antara aparat polisi dan para pemorotes. Statistik yang antara lain dikeluarkan oleh Chinese Academy of Social Sciences mencatat pada 1993 “hanya” ada 8.700 demo dan 10 tahun kemudian angka itu meningkat menjadi 58.000 atau tumbuh sebanyak 700 persen. Jumlah kerusuhan itu turun naik setelah 2003 tapi selalu berada di atas 50.000.

Pasal yang menjadi penyebab demonstrasi macam-macam. Mulai dari politik seperti tuntutan agar pemenang Hadiah Nobel Liu Xiaobo yang dipenjarakan dibebaskan, buruh yang menuntut gaji lebih tinggi, protes atas pembebasan lahan untuk dijadikan kawasan komesrsial, sampai ke protes atas polusi dari pabrik-pabrik, korupsi, dan isu-isu sosial lainnya. Kesimpulannya, perlawanan dari bawah diarahkan pada pelbagai macam “penyakit masyarakat” sebagai akibat dari proses kapitalisasi perekonomian sejak reformasi diperkenalkan.
Sementara pengamat mengatakan, dunia di luar China supaya tak terlalu terpengaruh oleh begitu banyaknya aksi protes itu. Alasannya, pertama walaupun jumlahnya besar, hampir semua gejolak massa itu terjadi di wilayah-wilayah pinggiran.

Para penguasa selalu berusaha agar tak terjadi aksi protes besar seukuran Tiananmen 1989 atau gerakan Fa Lun Gong (1990) yang sempat menggegerkan ibu kota. Kedua, pemerintah memang membiarkan kegiatan protes sebagai cara buat menyalurkan frustrasi umum, asalkan protes itu tidak menjadi besar dan tidak terjadi di perkotaan.

Namun, dari semua aksi protes itu ada juga yang bergema di dunia internasional. Itu terjadi di Wukan, sebuah desa dekat Kota Guangzhou, di Provinsi Guangdong, China Selatan, pada September 2011. Konon, para birokrat dan pemimpin partai di desa itu telah merampas tanah-tanah yang dikerjakan petani dan menjualnya kepada para pengembang sehingga protes pun muncul.


Polisi bertindak brutal dengan menahan para pemimpin perlawanan itu dan salah satu dari mereka tewas karena disiksa. Akibatnya, aksi perlawanan rakyat sangat dahsyat: aparat polisi, birokrat pemerintahan dan partai terusir dari Wukan. Hanya setelah tarik-menarik selama berminggu-minggu dan setelah akhirnya pemerintah menyerah dan membatalkan jual beli tanah itu kerusuhan itu dapat diredam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar