Nikah Siri
M
Nurul Irfan ; Dosen Hukum Pidana
Islam UIN Jakarta
|
REPUBLIKA,
05 Desember 2012
Dalam sebuah seminar pada 20 November, penulis hadir sebagai narasumber
bersama Prof Dadang Hawari. Dalam kesempatan itu, beliau berpendapat bahwa
perselingkuhan adalah masalah menajemen syahwat dan nikah siri itu sama
dengan zina. Terhadap pernyataan pertama, penulis sangat menyetujuinya,
tetapi dalam hal nikah siri sama dengan zina, hal ini masih perlu
didiskusikan secara khusus.
Bupati Garut Aceng Fikri yang akhirnya dituntut mundur oleh
ribuan rakyatnya akibat menikahi santriwati usia 18 tahun hanya dalam waktu
empat hari, lalu dicerai melalui SMS adalah sebuah contoh konkret mengenai
pengaruh negatif nikah siri. Seorang raja dangdut yang berniat menuju RI-1
bisa jadi akan terganjal akibat nikah siri yang pernah dilakukannya.
Seorang mensesneg yang akibat nikah sirinya dengan artis dangdut
sempat membuat geger dan terguncangnya tatanan hukum keluarga Islam di
Indonesia, terlebih setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan upaya judicial review UU Perkawinan terkait
anak luar nikah. Seorang kiai dan ajengan kondang tiba-tiba redup dan
hilang dari peredaran dan entah berbagai kasus nikah siri lain yang efek
negatifnya dapat secara cepat dirasakan oleh pelakunya. Beberapa contoh kasus
di atas yang barangkali menjadi sebuah pertimbangan Prof Da- dang berpendapat
bahwa nikah siri itu sama dengan zina.
Penulis yakin 100 persen bahwa pendapat ini pasti akan ditentang
oleh banyak ulama dan para ahli hukum Islam dari berbagai kalangan. Namun,
lepas dari polemik efek negatif sebagaimana beberapa kasus di atas, masalah
nikah siri ini harus dipahami secara seragam terlebih dahulu. Sebab, bila belum
satu persepsi dalam mendefinisikannya, dipastikan akan menimbulkan beragam
interpretasi dan polemik berkepanjangan. Sebab itu, harus disepakati
terlebih dahulu bahwa yang disebut dengan nikah siri adalah nikah yang tidak
terdaftar secara resmi di lembaga yang berwenang, yaitu Kantor Urusan Agama
(KUA) di setiap kecamatan seluruh Indonesia. Nikah siri bukan perkawinan yang
dirahasiakan sehingga dilakukan tanpa saksi atau hanya disaksikan seorang
sopir, tanpa wali, mahar, lalu hanya terjadi satu malam di sebuah kamar hotel
tertentu.
Kalau nikah siri yang dimaksud sama dengan zina itu adalah nikah
siri yang semacam ini, penulis pun sangat sepakat dengan pendapat Prof Dadang
di atas. Sebab, pada 1996 juga pernah terjadi sebuah kasus nikah siri
yang malah oleh sebuah majalah berita mingguan saat itu diberitakan dengan
judul "Misteri Perkawinan Seorang Kiai". Ketika itu, alm Prof KH
Ibrahim Hosen menyebutnya sebagai sebuah bentuk kumpul kebo sekalipun nikah
siri.
Definisi Hukum
Terjadi perdebatan panjang terkait nikah siri dalam arti nikah
yang tidak dicatat apakah sah atau tidak. Memang jika dipahami Pasal 2 Ayat
(1) dan Ayat (2) UU Perkawinan sebagai satu kesatuan yang tidak boleh
dipisah-pisahkan maka nikah siri bisa dianggap tidak sah menurut aturan perundang-undangan.
Tetapi, berhubung Pasal 2 Ayat (1) sudah mengakui keabsahan sebuah pernikahan
jika telah dilakukan secara agama maka nikah siri yang telah memenuhi lima
rukun, berupa adanya calon wanita, calon pria, dua saksi dari kedua belah
pihak, wali dari pengantin wanita, dan ada ijab qabul, maka pernikahan
semacam ini telah dianggap sah, bukan hanya oleh agama, tetapi juga oleh UU
Perkawinan Pasal 2 Ayat (1).
Hal inilah yang akibatnya saat terjadi nikah siri, ulama
menganggap sudah sah, tetapi oleh karena tidak tercatat maka oleh negara
dianggap sebagai nikah yang tidak sempurna yang akibatnya anak yang lahir
dalam perkawinan semacam ini tetap dianggap sebagai anak luar nikah yang
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu kandungnya. Kemudian, MK memutuskan
bahwa Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan tidak berlaku lagi dan dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai meniadakan hubungan perdata
antara anak dan bapak biologisnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat kaget dengan putusan MK ini
hingga akhirnya MUI menerbitkan fatwa No 11 Tahun 2012 tentang Status Anak
Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Hiruk pikuk hukum keluarga Islam tentang anak
luar nikah ini pun pada intinya sebagai akibat nikah siri yang kebetulan
pelakunya adalah orang besar hingga menjadi tenar, bahkan kontroversi pun
muncul berkepanjangan. Nikah siri model inilah yang paling sering terjadi.
Sayangnya, nikah yang kurang baik dan tidak mulia ini dilakukan oleh
orang-orang terkenal, seperti menteri dan bupati sebagai publik figur.
Penulis sebutkan sebagai nikah yang kurang baik dan tidak mulia
sebab sebagai seorang Muslim yang taat kepada Allah dan Rasulullah, sudah
semestinya ia juga taat kepada ulil amri. Di antara bentuk ketaatan kepada
ulil amri adalah taat kepada peraturan perundang-undangan, yakni agar
terjamin ketertiban administrasi pada masyarakat Islam Indonesia maka setiap
perkawian harus dicatat dan terdaftar resmi di KUA.
Saat artikel ini ditulis, penulis tidak merasa perlu untuk
meneliti apakah pernikahan Bupati Garut yang beberapa saat lalu telah
ditinggalkan oleh wakilnya itu, nikah siri atau bukan. Yang jelas,
tindakannya sebagai publik figur, terlebih sebagai alumnus perguruan tinggi
Islam negeri ternama di Bandung, sungguh sangat tidak wajar dan tidak mulia.
Melalui artikel ini, penulis mengimbau agar semua pihak secara
arif dan bijak menanggapi kasus ini sebagai sebuah pelajaran yang sangat
berharga betapa pentingnya meniru akhlak Rasulullah dalam berbagai hal.
Termasuk, saat beliau sedang berduaan dengan Sofiyyah, istri beliau, lalu ada
orang lain di balik kegelapan malam berusaha lari menghindari beliau yang
sedang bersama istrinya, lalu beliau langsung memanggilnya untuk
memperkenalkan bahwa yang bersama beliau adalah istri, bukan orang
lain.
Dari sini kita mengerti bahwa hendaklah jangan membuat kegiatan
yang bisa mengarah kepada fitnah dan kecurigaan. Rasulullah SAW juga
memerintahkan Abdurrahman bin Auf agar segera melaksanakan resepsi pernikahan
walau hanya dengan me motong satu ekor kambing. Sebab itu, publikasikan nikah
dan jangan merahasiakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar