Kesejahteraan
dan Kapasitas Guru
Raihan
Iskandar ; Anggota Komisi X DPR
RI
|
REPUBLIKA,
05 Desember 2012
Guru menjadi
kata suci bagi sebuah bangsa. Di tangan para gurulah karakter suatu bangsa
dibentuk. Peran guru sangatlah penting. Apa-lagi mengingat tahun 2030
McKinsey memprediksikan bahwa perekonomian Indonesia akan menempati urutan ketujuh
ekonomi dunia mengalahkan Jerman dan Inggris.
Itu artinya, Indonesia butuh sumber daya manusia yang berkompeten dan profesional. Masih ada waktu sekitar 18 tahun lagi. Data demografi tahun 2010 menunjukkan, penduduk berusia 0-29 tahun berjumlah sekitar 130 juta jiwa. Pada tahun 2030 merekalah yang akan menjadi generasi penentu wajah peradaban Indonesia.
Di sinilah
peran guru sangat strategis dalam mendidik dan membentuk penduduk usia 0
tahun sampai 29 tahun tadi. Pada titik ini tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa nasib suatu bangsa bergantung pada peran para guru.
Tapi, kita akan miris ketika guru tidak diperhatikan kesejahteraannya. Di Semarang, ada guru yang hanya menerima gaji senilai Rp 100 ribu setiap bulan. Ada juga seorang guru yang terpaksa menjadi pemulung atau tukang ojek demi menambah penghasilan karena gaji sebagai guru tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Melihat
kondisi seperti ini, pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kapasitas guru dengan politik kebijakan anggaran. Nilai
anggaran untuk gaji dan tunjangan guru sekarang telah meningkat secara
signifikan. Para guru yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
berhak mendapatkan sertifikasi.
Setiap bulan,
guru yang sudah tersertifikasi mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji
pokoknya. Sedangkan, guru non-PNS mendapat tunjangan sebesar Rp 1,5 juta
setiap bulan. Di Provinsi DKI Jakarta, tunjangan kinerja bagi guru cukup
tinggi, yaitu sekitar Rp 3 juta. Guru kini lebih sejahtera jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya.
Implikasinya
adalah meningkatnya jumlah peminat lulusan SMA/SMK untuk menjadi guru.
Peminat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, peserta SNMPTN di Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2012 adalah 31.435 orang, meningkat dari tahun sebelumnya 31.207 orang. Di Universitas Negeri Medan kecenderungannya juga sama; peserta SNMPTN pada tahun 2011 berjumlah 40.578 orang meningkat menjadi 43.834 orang pada tahun 2012.
Di lapangan,
kebutuhan terhadap PNS cukup tinggi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.
Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk merekrut guru PNS. Masalahnya
adalah guru yang terekrut tidak selalu sesuai dengan kapasitasnya. Yang
diterima sebagai guru bukan lulusan dari FKIP, sehingga kemampuan pedagogis
dan mentransfer ilmunya rendah. Hal ini juga salah satu faktor hasil uji
kompetensi guru di daerah-daerah relatif rendah. Belum lagi jika kita bicara
dedikasi.
Seorang guru
dituntut untuk memiliki idealisme dan dedikasi yang tinggi.
Menjadi guru berbeda dengan profesi lainnya. Seseorang ketika menjadi guru harus sadar bahwa tugasnya adalah mendidik dan membentuk karakter generasi penerus bangsa. Menurut Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa seorang guru harus memiliki kapasitas yang meliputi bakat, minat, panggilan jiwa, idealisme, komitmen, kualifikasi akademis, kompetensi dan tanggung jawab. Namun, faktanya masih banyak guru yang tidak memiliki kapasitas tersebut.
Ada guru yang
secara kapasitas moral masih tidak memberikan teladan yang baik bagi peserta
didik. Misalnya, masih ada guru yang bermain judi. Ada juga guru yang tidak
bijak ketika kehilangan ponselnya, lalu menghukum semua siswa di kelas dengan
denda masing-masing siswa Rp 100 ribu untuk mengganti ponselnya yang hilang,
dan masih banyak lagi. Bahkan, ada juga mahasiswa fakultas keguruan (alias
calon guru) yang terlibat tawuran dengan mahasiswa lain. Termasuk juga
kapasitas kompetensi. Masih banyak guru yang malas mengajar, tidak
menguasai bidang ajarnya, tidak update informasi, tidak menguasai teknik
belajar mengajar, dan seterusnya.
Namun, di
samping itu, banyak juga guru yang berhasil menunjukkan dedikasinya. Banyak
di antara mereka yang berprestasi. Misalnya, ada guru yang mampu membuat
peraga pendidikan yang menarik, guru yang berhasil memperbaiki perilaku
siswan, guru yang mampu mengangkat derajat para pemulung sampah untuk sekolah
dan kuliah, dan masih banyak lagi. Filosofi mereka adalah suatu kebahagiaan
tersendiri ketika anak didiknya mencapai kesuksesan melebihi dirinya.
Jika hal ini
terus ditanamkan kepada 2,9 juta guru di seluruh Indonesia, bukanlah mustahil
prediksi McKinsey tadi akan terbukti, bahkan mungkin melebihi. Sekarang
tinggal bagaimana pengelola pendidikan mau atau tidak untuk mewujudkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar