Harapan di
Tengah Kemurungan
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Keagamaan
|
KOMPAS,
11 Desember 2012
Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Alifian Mallarangeng mengundurkan diri. Ada linangan air mata
di bola matanya. Pertanda orang baik dengan segala kesalahannya. Kebaikan
bukanlah karena seseorang tidak pernah bersalah, melainkan bagaimana sikapnya
ketika bersalah. Mengundurkan diri secara ksatria tanpa menunggu ujung proses
hukum, mengakui kesalahan sebagai tradisi baru penyelenggara negara, lantas
merelakan diri menjadi titian bagi pembongkaran mata rantai korupsi akan
menggoreskan garis kebaikan di atas kanvas kesalahan.
Kanvas kesalahan itu
adalah warna dasar kita semua. Jika kita tak berlumuran noda, kita tidak akan
menunjukkan keasyikan luar biasa dalam menyaksikan noda pada orang lain. Noda
diri juga cenderung hanya berani mengungkap kesalahan—korupsi ringan untuk
menutupi kesalahan—korupsi besar. Kesenangan melihat orang lain bersalah atau
menutupi kejahatan besar adalah proyeksi dari cahaya kegelapan di langit jiwa
kita. Dalam warna dasar kegelapan itu, pepohonan tua berbuah hampa, sedangkan
tunas-tunas muda layu sebelum berkembang. Bagaikan menegakkan batang
terendam, setiap percobaan kebangunan, jatuh kembali.
Kita ingin sarapan pagi
dengan harapan, tetapi tak banyak orang yang menyalakan cahaya jiwa.
Bagaimana bisa mengubah dunia jika tidak bisa mengubah diri sendiri?
Jalaluddin Rumi berkata, ”Kemarin aku
merasa pintar karena itu aku ingin mengubah dunia. Sekarang aku lebih
bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sendiri.”
Dikatakan oleh Ali bin Abi
Thalib kepada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, ”Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin,
hendaklah ia mulai mengajari dirinya sebelum mengajari orang lain. Dan,
hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum
mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik
dirinya lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.”
Setelah pemimpin bermawas
diri, bolehlah ia mengembangkan harmoni keluar dengan menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan
hanya mengikuti kemauan rakyat, melainkan juga mendidik rakyat.
Dengan landasan ideologi
kerja, pemimpin harus bisa merumuskan platform perjuangan dengan prioritas
jelas. Pemimpin harus dapat menunjukkan fokus dalam mendefinisikan agenda
substantifnya demi memudahkan mobilisasi sumber daya dan pengorientasian program
bagi bawahan dan rakyatnya. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus
berisiko menangguk kegagalan di semua lini.
Menentukan fokus
memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan.
Namun, ada risiko besar bagi pemimpin yang terlalu berhati-hati mencari jalan
aman: peluang lewat, momentum lenyap, dan sinisme menguat. Untuk bisa
mengarahkan rakyat sesuai platform perjuangan, pemimpin harus dipercaya.
Penilaian positif soal moralitas pemimpin jadi taruhan pemulihan kepercayaan.
Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki
ketangguhan ”modal moral” yang bisa membawa komunitas politik keluar dari
kubangan krisis.
Moral dalam arti ini
adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam
memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan
kepentingan politik yang dikehendaki oleh
ideologi negara dan konstitusi. Kapital bukan sekadar potensi kebajikan yang
dimiliki seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik). Yang
dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan
politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam
mekanisme politik yang bisa
memengaruhi tingkah laku masyarakat.
Setidaknya ada empat
sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan
memobilisasi ”modal moral” secara politik. Pertama, dasaran moralitas (moral
ground): menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan orientasi politik yang menjadi
komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua,
tindakan politik: menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan
nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan
keputusan politiknya.
Ketiga, keteladanan:
menyangkut contoh- contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang
menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik.
Keempat, keefektifan
komunikasi politik: menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk
mengomunikasikan gagasan dan nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik
yang efektif, yang mampu memengaruhi dan memperkuat moralitas rakyat.
Paceklik modal moral
pemimpin seperti itulah yang mencekik kehidupan politik dalam kemurungan.
Pertanda negeri yang tidak bahagia, ujar Galileo Galilei, yaitu negeri yang
membutuhkan pemimpin (pahlawan). Dambaan rakyat akan satria piningit dipenuhi
dengan kemunculan ”Satria Bergitar”.
Jika sang ”juru selamat”
tak kunjung datang, mengapa pemimpin yang ada tidak berusaha memperkokoh
”modal moral” politiknya. Bukankah seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, ini
pun bisa berkurang, bisa bertambah, atau bisa dicari cara untuk
melengkapinya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan
pertobatan.
Bagi para pemimpin yang
ada, sebaiknya menirukan doa St Francis Asisi, ”Tuhanku, jadikan aku instrumen kedamaian-Mu. Tatkala ada kebencian,
kutaburkan cinta; tatkala ada luka, maaf; tatkala ada keraguan, keyakinan;
tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada kegelapan, cahaya; tatkala ada
kesedihan, keceriaan.” ●
|
ya jelas sesuai dengan wangsit siliwangi dan ramalan jaya baya satria piningit/ budak angon semuanya kena pada ROMA IRAMA bahkan sujiwo tejo aja di jakata lowyer club beliau bilang bahwa satria piningit yang di nanti itu RHOMA IRAMA.
BalasHapusbeliau bilang NOTO NOGORO.
NO = soekarNO
TO = soeharTO
NO = yudoyoNO
GO = meGA (GA=GO)
RO =... ROMA IRAMA