Kamis, 13 Desember 2012

Humaniora


Humaniora
Mudji Sutrisno ;  Guru Besar STF Driyarkara
dan Universitas Indonesia (UI), Budayawan
SINDO, 11 Desember 2012


Ketika diminta menjadi juri entah di ranah film yang mendidik atau karikatur atau pula tulisan karangan, bertubi-tubi muncul untuk menaruh penjurian dan penilaian dalam bingkai ’’Humaniora’’. 

Ketika lima tahun yang lalu sebuah perguruan tinggi negeri seukuran tingkat akademik seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada atau yang lebih muda lagi, yaitu Universitas Negeri Surakarta, menegaskan diri untuk memberi porsi lebih banyak pada penelitian ’’humaniora’’ sebagai ranah-ranah kajian, orang semakin disadarkan akan makna apa itu humaniora. 

Dari asal kata humanus, humana-humanum (bahasa latin) yang berarti “manusiawi” atau berciri watak “manusia”, kata kunci humaniora mengambil pemaknaan sebagai citacita “lebih manusiawi”lantaran akhiran ‘wi’ adalah petunjuk superlatif atau usaha membuat ’’lebih’’. Dari sinilah misalnya pendidik dan filsuf Driyarkara memakainya untuk sebuah proses memanusiakan manusia dalam pendidikan untuk yang muda. 

Karena mudanya bahasa Indonesia, maka Driyarkara memakai kata penting, yaitu humanisasi dengan arti proses yang terus-menerus agar manusia semakin berharkat, bermartabat, dalam kemanusiaannya. Dalam perkembangan pemaknaan yang semakin melangit dan “sloganistis”, maka muncul istilah memanusiakan manusia secara “utuh”. 

Alergi terhadap istilah ini meruyak keluar karena orang melupakan makna sederhana dan bersahaja dari “humaniora”, yaitu setiap usaha kecil,langkah kecil serta tanpa banyak gembargembor pidato untuk membuat gaul bersama,srawung(komunikasi hidup bersama) dalam perbedaan watak, keunikan orang diperjuangkan untuk menjadi lebih manusiawi lebih human (bahasa Inggris). Karena itu, humaniora sebagai kata untuk memaknai hidup dalam kebersamaan kita sebagai sosialitas masyarakat, bangsa Indonesia mempunyai tiga orientasi ke depannya. 

Pertama, kata kerja humaniora lalu merupakan tindakan atau laku untuk memberi dimensi manusiawi pada perbuatan struktur, penciptaan rumahrumah budaya atau kulturalisasi agar tiap warga masyarakat dihormati dan mendapatkan toleransi harkatnya karena ia itu manusia. Ia tidak boleh dijadikan objek, atau alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Kedua, humaniora memuat makna proses semakin matang dan dewasa sebagai “manusia” dari proses menjadi bangsa Indonesia atau menjadi manusia Indonesia. 

Maksudnya, dalam mengolah masa lalu yang berdarah- darah dan belum mampu mengolah rekonsiliasi sejak 1908; 1928; 1945; 1965; 1998 terhadap luka-luka kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang ’’tega’’ kita lakukan pada saudara sebangsa karena politik identitas sempit. Demi kepentingan kuasa sebagian dari kita tega mengalirkan darah serta kepentingan uang yang rela menjual tanah dan air untuk ketamakan kelompok dan ego hasrat kuasa kita. Karena itu, proses praksis dan tindakan humaniora mengandung konsekuensi studi-studi sejarah “kelam”kita untuk dicerahkan, direkonsiliasikan.

Lalu,ia butuh studi mengenai siapa kita di saat pahit dijajah dalam mentalitas budak dan koeliagar seperti para pendiri bangsa: Hatta,Soekarno, Tan Malaka, Sutan Sjahrir,Agus Salim,dan lain-lain. Ketiga, kita menapaki jalan edukasi humaniora untuk menjadi manusia merdeka berpikir, bernurani jernih, dan memakai jalan pendidikan sebagai jalan panjang pemerdekaan mentalitas- mentalitas koeli, budak kita. 

Di sini proses pendidikan menjadi jalan peradaban karena kebiadaban diproses untuk ditaklukkan menjadi “keadaban dalam peradaban”. Di sini pula kita lalu tahu secara mendalam mengapa “kemanusiaan yang adil dan beradab”menjadi sila penting yang dijadikan dasar hidup bersama dalam bernegara! 

Karena itu, di tingkat perguruan tinggi dan tingkat ke bawahnya setelah wujud-wujud mata kuliah disederhanakan penyampaiannya namun tetap substansi isinya, studi pascakolonial menjadi penting untuk mengaca diri secara tulus dari bangsa menjadi bangsa merdeka. Konsekuensi berikutnya dari obsesi humaniora adalah studi mendalam keragaman lokalitas,multi-ragam budaya, kebinekaan subkultur yang berproses menjadi keindonesiaan yang ika dalam kebinekaan. Apa maksudnya? 

Di wilayah penghayatan sehari-hari, yang secara akademik dinamai metode induksi sebenarnya sudah dihayati nenek moyang kita dalamkelisananpantunberpantun, pepatah peribahasa, kidung berkidung,“folklore”, serta tari nyanyi yang menghayati dan memuliakan kehidupan dalam tradisi-tradisi lisan yang berlimpah ruah.Kesemuanya menjadi oasis tradisi yang pesan utamanya dan inti pendidikannya adalah “mengorangkan sesama manusia” yang tidak lain adalah “humaniora” itu sendiri. 

Namun, wilayah penghayatan sehari-hari atau ranah pengalaman sehari-hari ini (sebagai induksi) membutuhkangenerasi pendiri bangsa dalam kecerdasan budi dan kejernihan nurani untuk membuat yang ragam pengalaman induksi ini menjadi “universum” atau “jagat acuan nilai dan makna bersama”dalam kerangka “abstraksi teori” yang diolah dari subkultur-subkultur raga mini menjadi “universum Indonesia” yang terus dinamis, terus menjadi Indonesia dan terus berkata kerja. Singkatnya, proses mengindonesia (atau Indonesianisasi) di jantung kulturalnya adalah “humanisasi”. 

Karena itu menjadi Indonesia secara kultural, oleh pendiri bangsa dibingkai demi humaniora itu ’’hormat menghormati perbedaan dan toleran harkat masingmasing warga dalam bentuk demokrasi’’! Demokrasi butuh kematangan tiap warga negara untuk menghormati sesamanya. Inilah negara hukum sebagai ”universum politik” yang membatasi kuasa agar tidak mutlak dan tega menghancurkan yang lemah dengan membaginya dalam yudikatif, eksekutif, dan legislatif. 

Dari itu, tantangan nyata untuk pendidikan humaniora pertama-tama bukan ke orang lain dulu, tetapi ke masingmasing diri kita dengan “mendidik diri sendiri” dulu melalui nilai-nilai apa yang benar, yang baik dan indah serta yang suci yang diacu dari religi dan keimanan kita untuk dengan rendah hati belajar mengontrol hasrat mau memperalat sesama. Kita harus belajar mengorangkan sesama yang paling dekat di lingkungan kita dan terakhir bersama-sama berani setiap kali bertanya jujur: siapakah sesamaku manusia? 

Tegakah kita lukai pada hati dan martabatnya ketika saya sendiri juga tidak mau dan tidak rela dilukai dan dihancurkan? Lalu setiap perbuatan sistem, struktur, dan kultur hidup bersama dari RT, RW sampai yang lebih tinggi yang mau disumberkan pada “makin manusiawinya, serta enak ramahnya relasi antarmanusia”, di sanalah praktek struktural humaniora diperjuangkan.Artinya, humaniora untuk bidang hukum adalah keadilan.

Humaniora untuk sosialitas adalah kesejahteraan dan kebaikan bersama. Humaniora untuk ranah ekonomi adalah tercukupinya pangan, sandang dan pemerataan. Toleransi atas beda agama dan perbedaan keunikan identitas lalu menjadi “humaniora” dalam lintas agama baik intern (intra) religi maupun antar-religi. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar