Cendekiawan si
Ranah Politik
Asep Sahid Gatara ; Dosen Ilmu Politik UIN Bandung,
Kandidat Doktor Budaya Politik dan Media UGM
|
REPUBLIKA,
20 Desember 2012
Pada 18-20 Desember 2012,
seluruh cendekiawan Tanah Air yang berhimpun dalam Ikatan Cendekiawan Mus lim
se-Indonesia (ICMI) menggelar Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas).
Meskipun sudah menjadi agen da rutin tahunan, tetap saja ada yang me narik
untuk dikupas lebih lanjut, yaitu kali ini agendanya bersentuhan dengan
lintasan kegaduhan politik nasional. Hal demikian tecermin dari tema yang
diangkatnya, "Kepemimpinan Nasional dalam Membangun Peradaban Bangsa".
Latar ini telah membawa kelompok cendekiawan di Tanah Air meski bukan hal baru
pada pusaran persoalan aktual, yaitu nuansa kontestasi politik.
Sudah terang benderang bahwa
setiap pembicaraan mengenai hubungan cendekiawan dan politik, terutama aspek
kekuasaan, senantiasa mengandung persoalan dalam bentuk kontroversi. Hal
itu terutama dipicu oleh fenomena berbondong-bondongnya cendekiawan tampil di
panggung politik. Sebut saja seperti mereka menjadi pengurus partai politik,
calon anggota legislatif, calon kepala daerah, tim konsultan politik calon
presiden, dan sebagainya.
Pandangan Terbelah
Umumnya, masyarakat menyikapi
fenomena tersebut pesimistis, optimistis, dan eklektik. Kaum pesimistis
sangat antipati atau setidak-tidaknya berhati-hati dalam menyikapi
keterlibatan cendekiawan di panggung politik. Mereka melihat cendekiawan yang
berpolitik praktis adalah mereka yang terkuasai oleh syahwat kekuasaan.
Padahal,
cendekiawan sejatinya hanya memiliki syahwat pengembangan ilmu pengetahuan
dan syahwat itu disalurkan juga di bidang ilmu pengetahuan semata. Karena
itu, cendekiawan seperti ini dipandang oleh kaum pesimistis sebagai pengkhianat
terhadap ilmu pengetahuan.
Kaum optimistis melihat
keterlibatan cendekiawan dalam politik adalah lumrah, bahkan niscaya karena
politik ada- lah panggung publik. Artinya, setiap kelompok masyarakat
memiliki hak untuk tampil di panggung tersebut. Menurut pandangan kaum ini,
ketika cendekiawan terlibat dalam panggung politik, mereka cenderung
berkemampuan mewarnai hiruk pikuk politik dengan karakter kecendekiawanan. Sedangkan,
kaum eklektik lebih melihat dari sisi moderat yang memilih mendamaikan atau
mengompromikan dua pandangan yang terbelah. Menurut kaum ini, cendekiawan
seharusnya tidak ujug-ujug atau semena-mena memasuki medan politik praktis
yang bukan panggung aslinya, tanpa terlebih dahulu memiliki modal politik
yang memadai.
Modal politik yang memadai itu
sejatinya digali dari dunia kecendekiawanan itu sendiri, seperti akar gagasan,
moral, dan idealisme. Modal-modal ini menjadi pilihan ramuan sebagai benteng
pertahanan di satu sisi dan di sisi lain sebagai piranti penjinak derasnya
sapuan arus politik. Untuk menghindari sikap yang berlebihan terhadap
fenomena keterlibatan cendekiawan di panggung politik, se- benarnya kita
dapat memulai dengan memahami makna cendekiawan itu sendiri.
Secara leksikal, cendekiawan
berasal dari akar kata "cendekia", yang berarti melek
atau cepat
memahami situasi dan cerdas mencari jalan keluar. Adapun pengertian
cendekiawan adalah selalu memiliki sikap dan perilaku hidup yang
terus-menerus meningkatkan ke mam puan berpikirnya untuk dapat mengetahui
atau memahami sesuatu (KBBI: 2011). Dalam pengertian lain, cendekiawan
itu tidak selalu identik dengan orang bergelar akademis yang berderet, namun
paling utama, identik dengan orang yang memiliki sikap yang terus-menerus
berpikir, peduli, selalu menggali, serta menawarkan solusi. Karena itu, cendekiawan
bukan sekadar pengakuan dan julukan, melainkan sebuah kepedulian sekaligus
komitmen pada gerakan solusi.
Terdapat beberapa tolok ukur kecendekiawanan
yang tidak boleh tidak harus melekat pada orang atau kelompok orang yang
mengaku cendekiawan, di antaranya, pertama, bersikap kritis dan jujur. Kritis
artinya selalu melakukan pembacaan yang disertai kemelekan atau kesadaran
terhadap pengaruh yang potensial ada dalam setiap bangunan ilmu pengetahuan
dan problematika yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, jujur artinya
ada keselarasan antara perkataan dan perbuatan.
Dengan bersikap kritis dan ju
jur, cendekiawan akan menjadi orang mandiri dan merdeka yang tidak mudah
tergopoh-gopoh oleh godaan gemerlap apa pun.
Kedua, bersinergi dan
berkontribusi. Di sini, cendekiawan dapat bekerja sama dengan pihak mana
pun dalam kerangka membumikan ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Cendekiawan
politik, misalnya, dapat berkontribusi dengan membumikan nilai-nilai politik
yang adiluhung dalam kehidupan politik sehari-hari. Di titik inilah
harus dipahami bahwa ujung dari cendekiawan yang kritis, jujur, bersinergi,
dan berkontribusi adalah emansipatoris, yaitu mereka tidak berhenti di
kontemplasi dan refleksi, tetapi peduli.
Di kehidupan politik, misalnya,
kelompok cendekiawan dapat menyiapkan warga pemilih yang terdidik dan
teberdayakan secara politik. Di samping itu, mereka juga dapat `mendakwahkan'
sekaligus `menguswatunhasanahkan' nilai-nilai moral dan idealisme bagi para
politikus di kursi kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar