Jumat, 21 Desember 2012

Malaysia, Indonesia, Sawit


Malaysia, Indonesia, Sawit
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
REPUBLIKA, 20 Desember 2012


Harga-harga komoditas primer anjlok. Ini menimpa sejumlah produk primer andalan penghasil devisa Indonesia, seperti minyak sawit mentah (CPO), kopi, kakao, dan karet. Ekonomi Eropa dan Amerika yang belum sepenuhnya pulih dari krisis membuat daya beli menurun. Bersamaan dengan itu, Cina dan India berusaha membentengi diri dari terpaan krisis. Ini semua menekan permintaan yang pada gilirannya tercipta harga keseimbangan baru. Padahal, selama ini negara-negara itu jadi pasar utama tujuan ekspor. 

Tidak ingin terombang-ambing instabilitas harga, Malaysia dan Indonesia berniat mengatur pasokan CPO ke pasar dunia agar harga CPO kembali terangkat.
Harga CPO saat ini turun menyentuh 800-900 dolar AS per ton, jauh dari harga rata-rata pada 2011, yaitu 1.125 dolar AS per ton. Pemulihan ekonomi Eropa dan AS yang bagai tiada ujung membuat tren penurunan akan berlanjut. Tanpa pengaturan suplai, harga akan tertekan.

Indonesia dan Malaysia menguasai 90 persen produk sawit dunia. Pada 2011, Malaysia memproduksi sawit 18,9 juta ton dari lahan seluas lima juta ha.
Tahun itu, produksi CPO Malaysia diperkirakan turun menjadi 18 juta ton.
Produksi minyak sawit Indonesia tahun ini diprediksikan 22,6 juta ton dari lahan seluas 8,9 juta ha. Agar harga kembali naik, Malaysia berencana mengurangi perluasan kelapa sawit yang ditanam. Di Malaysia, ada 300 ribu ha kebun berusia 25 tahun. Ini akan diremajakan. Malaysia juga mendorong penggunaan sawit untuk bahan baku biodiesel. Indonesia belum punya rencana konkret.

Sepertinya, niat Malaysia bekerja sama dengan Indonesia memangkas pasokan itu tidak sungguh-sungguh. Belum sepekan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Tan Sri Bernard Dompok bertemu Menteri Pertanian Indonesia Suswono, Malaysia justru menelikung dengan memotong pajak ekspor CPO.

Terhitung 1 Januari 2013, Malaysia menerapkan pajak ekspor 4,5 persen dan maksimal 8,8 persen dari sebelumnya sebesar 23 persen fl at (Bloomberg, 11/10). Dengan pajak ekspor Indonesia lebih tinggi, langkah Malaysia itu bisa dipastikan bakal merugikan kita. Harga CPO Indonesia bakal kalah bersaing.
Bukti ini, untuk kesekian kalinya, menunjukkan Malaysia lebih cerdik. 

Industri sawit berkembang di Indonesia lebih seabad. Tetapi, sampai sekarang kebijakan industri sawit kita masih centang-perenang. Bukan hanya pembiaya an, tetapi juga riset, pasar, dan kelembagaan. Sebaliknya, Malaysia yang dulu berguru ke kita jauh melesat ke depan. Kebijakan industri sawit di negeri jiran cukup komprehensif. Faktor penting ke majuan industri sawit di Malaysia didukung Dewan Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Board) dan riset yang diintegrasikan dengan kepentingan lem baga penelitian, universitas, dan perusahaan. 

Meskipun kalah luas, Malaysia unggul dalam produktivitas. Produktivitas lahan di Malaysia mencapai 3,21 ton CPO/ha/tahun sedangkan Indonesia 2,51 ton CPO/ha/tahun. Pabrik pengolahan sawit Malaysia jauh lebih banyak ketimbang Indonesia. Perbedaan ini membuat Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen dari kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai hampir 86 juta ton TBS/tahun sedangkan Indonesia sekitar 65 juta ton TBS/ tahun.

Kekurangan pabrik pengolah sawit tidak hanya berdampak pada daya saing produk dan ekspor CPO Indonesia, tapi juga membuat berdirinya pabrik-pabrik pengolahan CPO tanpa lahan sawit. Akibat nya, jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi dan dikontrol dengan baik (Nur dan Jumala, 2006). 
Ini menciptakan perbedaan produksi dan ekspor kedua negara. Ekspor Indonesia didominasi produk mentah sedangkan Malaysia produk setengah jadi atau jadi. Saat ini, 85 persen ekspor Malaysia dalam bentuk olahan, sebaliknya ekspor sawit Indonesia dalam bentuk olahan hanya 54 persen. Ketika harga CPO jatuh, Malaysia tidak terlalu terpengaruh dan didera hiruk pikuk. Sebaliknya, ketika harga CPO tinggi, Malaysia bisa meraup nilai tambah tinggi dari ekspor produk olahan. 

Pada akhir 2006, dunia usaha kelapa sawit Malaysia ramai merger perusahaan yang core business-nya perkebunan, pengolahan, dan perdagangan CPO serta produk turunan. Merger adalah strategi menghasilkan sinergi dan manfaat dalam bahan baku, produksi, logistik, dan perdagangan. Perusahaan merger akan lebih berdaya saing di bisnis minyak, nonminyak sawit, oleokimia, pemurnian edible oils, lemak spesial, dan biji-bijian. Ini semua akan menciptakan penguasaan pasar di segelintir pelaku. Ini pula yang bisa jadi penjelas penguasaan kebun sawit Indonesia oleh Malaysia yang sekitar dua juta hektare.

Agar lebih berdaya saing, industri sawit Indonesia harus ditata ulang. Di level budidaya, riset intensif untuk menghasilkan benih unggul dalam jumlah memadai dan meningkatkan produktivitas tak bisa ditawar-tawar. Kebun rakyat yang tua dan tanpa sentuhan teknologi harus diremajakan dengan bantuan pemerintah.
Relasi kelembagaan petani-pengusaha dan plasma-inti yang bersifat sub ordinasi, tuan-hamba, majikan-kuli, atau patront-client harus ditata ulang. 

Di hilir harus didorong industri pengolahan. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan distortif dalam bentuk pajak ekspor harus dihindari. Sebaiknya, ke- bijakan diarahkan guna mengatasi masalah riil. Pertama, memudahkan industri hilir menembus pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif, promosi, dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurun- kan tarif bea masuk mesin dan bahan penolong idustri hilir perkebunan.

Ketiga, harmonisasi tarif. Keempat, mem berikan insentif investasi dalam bentuk keringanan pajak, kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur. 
Pajak ekspor harus dikembalikan lagi ke industri sawit. Bagi Indonesia, membangun industri hilir sawit adalah keniscayaan. Tanpa membangun industri hilir berarti nilai tambah industri hilir dinikmati negara lain. Negara juga akan kehilangan peluang penerimaan dalam bentuk bea/pajak dan peluang membuka lapangan kerja, serta bakal terombang-ambing instabilitas harga produk primer CPO pasar dunia.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar