Malaysia,
Indonesia, Sawit
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
REPUBLIKA,
20 Desember 2012
Harga-harga komoditas primer
anjlok. Ini menimpa sejumlah produk primer andalan penghasil devisa
Indonesia, seperti minyak sawit mentah (CPO), kopi, kakao, dan karet. Ekonomi
Eropa dan Amerika yang belum sepenuhnya pulih dari krisis membuat daya beli
menurun. Bersamaan dengan itu, Cina dan India berusaha membentengi diri
dari terpaan krisis. Ini semua menekan permintaan yang pada gilirannya
tercipta harga keseimbangan baru. Padahal, selama ini negara-negara itu jadi
pasar utama tujuan ekspor.
Tidak ingin terombang-ambing instabilitas
harga, Malaysia dan Indonesia berniat mengatur pasokan CPO ke pasar dunia
agar harga CPO kembali terangkat.
Harga CPO saat ini turun menyentuh 800-900 dolar AS per ton, jauh dari harga rata-rata pada 2011, yaitu 1.125 dolar AS per ton. Pemulihan ekonomi Eropa dan AS yang bagai tiada ujung membuat tren penurunan akan berlanjut. Tanpa pengaturan suplai, harga akan tertekan.
Indonesia dan Malaysia
menguasai 90 persen produk sawit dunia. Pada 2011, Malaysia memproduksi sawit
18,9 juta ton dari lahan seluas lima juta ha.
Tahun itu, produksi CPO Malaysia diperkirakan turun menjadi 18 juta ton. Produksi minyak sawit Indonesia tahun ini diprediksikan 22,6 juta ton dari lahan seluas 8,9 juta ha. Agar harga kembali naik, Malaysia berencana mengurangi perluasan kelapa sawit yang ditanam. Di Malaysia, ada 300 ribu ha kebun berusia 25 tahun. Ini akan diremajakan. Malaysia juga mendorong penggunaan sawit untuk bahan baku biodiesel. Indonesia belum punya rencana konkret.
Sepertinya, niat Malaysia
bekerja sama dengan Indonesia memangkas pasokan itu tidak sungguh-sungguh.
Belum sepekan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Tan Sri Bernard
Dompok bertemu Menteri Pertanian Indonesia Suswono, Malaysia justru
menelikung dengan memotong pajak ekspor CPO.
Terhitung 1 Januari 2013, Malaysia menerapkan pajak ekspor 4,5 persen dan
maksimal 8,8 persen dari sebelumnya sebesar 23 persen fl at (Bloomberg,
11/10). Dengan pajak ekspor Indonesia lebih tinggi, langkah Malaysia itu bisa
dipastikan bakal merugikan kita. Harga CPO Indonesia bakal kalah bersaing.
Bukti ini, untuk kesekian kalinya, menunjukkan Malaysia lebih cerdik.
Industri sawit berkembang di
Indonesia lebih seabad. Tetapi, sampai sekarang kebijakan industri sawit kita
masih centang-perenang. Bukan hanya pembiaya an, tetapi juga riset, pasar,
dan kelembagaan. Sebaliknya, Malaysia yang dulu berguru ke kita jauh
melesat ke depan. Kebijakan industri sawit di negeri jiran cukup
komprehensif. Faktor penting ke majuan industri sawit di Malaysia didukung
Dewan Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Board) dan riset yang diintegrasikan
dengan kepentingan lem baga penelitian, universitas, dan perusahaan.
Meskipun kalah luas, Malaysia
unggul dalam produktivitas. Produktivitas lahan di Malaysia mencapai 3,21 ton
CPO/ha/tahun sedangkan Indonesia 2,51 ton CPO/ha/tahun. Pabrik pengolahan
sawit Malaysia jauh lebih banyak ketimbang Indonesia. Perbedaan ini membuat
Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen dari kapasitas pabrik terpasangnya yang
mencapai hampir 86 juta ton TBS/tahun sedangkan Indonesia sekitar 65 juta ton
TBS/ tahun.
Kekurangan pabrik pengolah
sawit tidak hanya berdampak pada daya saing produk dan ekspor CPO Indonesia,
tapi juga membuat berdirinya pabrik-pabrik pengolahan CPO tanpa lahan
sawit. Akibat nya, jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan
harga tidak mampu diprediksi dan dikontrol dengan baik (Nur dan Jumala,
2006).
Ini menciptakan perbedaan
produksi dan ekspor kedua negara. Ekspor Indonesia didominasi produk mentah
sedangkan Malaysia produk setengah jadi atau jadi. Saat ini, 85 persen ekspor
Malaysia dalam bentuk olahan, sebaliknya ekspor sawit Indonesia dalam bentuk
olahan hanya 54 persen. Ketika harga CPO jatuh, Malaysia tidak terlalu
terpengaruh dan didera hiruk pikuk. Sebaliknya, ketika harga CPO tinggi,
Malaysia bisa meraup nilai tambah tinggi dari ekspor produk olahan.
Pada akhir 2006, dunia usaha
kelapa sawit Malaysia ramai merger perusahaan yang core business-nya
perkebunan, pengolahan, dan perdagangan CPO serta produk turunan. Merger
adalah strategi menghasilkan sinergi dan manfaat dalam bahan baku, produksi,
logistik, dan perdagangan. Perusahaan merger akan lebih berdaya saing di
bisnis minyak, nonminyak sawit, oleokimia, pemurnian edible oils, lemak
spesial, dan biji-bijian. Ini semua akan menciptakan penguasaan pasar di
segelintir pelaku. Ini pula yang bisa jadi penjelas penguasaan kebun sawit
Indonesia oleh Malaysia yang sekitar dua juta hektare.
Agar lebih berdaya saing,
industri sawit Indonesia harus ditata ulang. Di level budidaya, riset
intensif untuk menghasilkan benih unggul dalam jumlah memadai dan
meningkatkan produktivitas tak bisa ditawar-tawar. Kebun rakyat yang tua dan
tanpa sentuhan teknologi harus diremajakan dengan bantuan pemerintah.
Relasi kelembagaan petani-pengusaha dan plasma-inti yang bersifat sub ordinasi, tuan-hamba, majikan-kuli, atau patront-client harus ditata ulang.
Di hilir harus didorong
industri pengolahan. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan distortif
dalam bentuk pajak ekspor harus dihindari. Sebaiknya, ke- bijakan diarahkan
guna mengatasi masalah riil. Pertama, memudahkan industri hilir menembus
pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif,
promosi, dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurun- kan tarif bea
masuk mesin dan bahan penolong idustri hilir perkebunan.
Ketiga, harmonisasi tarif. Keempat, mem berikan insentif investasi dalam
bentuk keringanan pajak, kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur.
Pajak ekspor harus dikembalikan
lagi ke industri sawit. Bagi Indonesia, membangun industri hilir sawit adalah
keniscayaan. Tanpa membangun industri hilir berarti nilai tambah industri
hilir dinikmati negara lain. Negara juga akan kehilangan peluang penerimaan
dalam bentuk bea/pajak dan peluang membuka lapangan kerja, serta bakal
terombang-ambing instabilitas harga produk primer CPO pasar dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar