Menghentikan Kutukan SDA
Ali Mahmudi; Peneliti Muda di Monash
Institute,
Pegiat LPM IDEA IAIN Walisongo Semarang
Pegiat LPM IDEA IAIN Walisongo Semarang
SUMBER : SUARA
KARYA, 08 Mei 2012
Tidak diragukan lagi bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang
mempunyai kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah. Namun, ironis, kekayaan ini
tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk
memanfaatkan dan melestarikannya. Akibatnya, bukan peningkatan kemakmuran yang
dialami oleh rakyat Indonesia, tetapi tetap saja berkubang dalam kemelaratan.
Ketidakmampuan SDM untuk mengolah SDA tersebut berakibat SDA-SDA itu jatuh ke
tangan perusahaan-perusahaan asing, di antaranya Freeport, Newmont, dan
lain-lain.
Kehadiran perusahaan-perusahaan asing telah mengakibatkan warga
bangsa Indonesia menjadi 'babu' di rumah sendiri. Mereka harus mengabdi pada
perusahaan-perusahaan asing yang menguasai SDA di negara ini. Semua itu terjadi
sesungguhnya karena para oknum penyelenggara negara tega menjual SDA negeri ini
demi memperkaya diri mereka sendiri.
Berawal dari penjualan aset SDA kepada Freeport oleh Soeharto pada
tahun 1967, yang konon karena Freeportlah donatur dalam tragedi penggulingan
Soekarno, hingga saat ini, Freeport telah mengeruk kekayaan bumi Indonesia;
emas, perak, tembaga, dan lain-lain. Berjuta-juta ton SDA telah dieksploitasi
oleh Freeport. Namun, dalam konteks pembagian hasilnya, Indonesia hanya
mendapatkan bagian kurang dari 2%.
PT Newmont yang mampu menghasilkan keuntungan kurang lebih Rp 2,6
triliun per hari, memberikan royalti selama 6 tahun hanya sebesar Rp 168,4
miliar. Sungguh, ironis sekali kekayaan negeri ini dikeruk secara membabi buta
oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dari luar, sehingga mereka mendapatkan
kelimpahan, sedangkan rakyat negeri ini hanya menikmati bagian terkecilnya
saja. Padahal konstitusi negara secara tegas menyatakan, "Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Lebih parah lagi, eksploitasi secara besar-besaran yang dilakukan
oleh perusahaan asing, telah menyebabkan perubahan topografi pada daerah yang
telah diambil sumber daya alamnya. Misalnya, yang terjadi di Pulau Buru,
eksploitasi besar-besaran tersebut telah meninggalkan jejak kerusakan
lingkungan yang luar biasa dan akhirnya menimbulkan keresahan masyarakat.
Sumber daya alam jika tidak diolah dan ditangani dengan bijaksana
pasti akan memunculkan efek negatif terhadap masyarakatnya. Richard Auty adalah
orang yang pertama kali menyampaikan istilah "Kutukan Sumber Daya
Alam" atau Resource Curse pada tahun 1993. Istilah ini mempunyai maksud
atau tujuan untuk menggambarkan negara-negara yang kaya akan SDA, tetapi tidak
bisa memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakatnya.
Dengan demikian, seolah-olah SDA yang tidak ditangani dengan baik
tersebut, justru memberikan kutukan kemiskinan kepada masyarakatnya. Di samping
itu, SDA yang melimpah dapat menimbulkan provokasi dari kelompok separatis.
Mereka berlomba-lom-ba dengan membuat keonaran untuk mendapatkan kontrol atas
SDA itu.
Semua permasalahan di atas sesungguhnya berakar pada satu masalah,
yaitu permasalahan yang terjadi pada SDM yang tidak mumpuni dalam mengelola SDA
secara profesional dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Dan, yang menjadi biang kutukan itu
sesungguhnya adalah para elite politik yang tidak menjalankan amanah, sehingga
membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak lain, walaupun harus
mengorbankan rakyat sendiri. Tarikan kepada kemewahan hidup, telah membuat
mereka lupa, bahwa tugas mereka sebagai penyelenggara negara justru untuk
melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Untuk bisa menjalankan amanat konstitusi tersebut, memang
dibutuhkan tidak hanya kecerdasan intelektual dan emosional saja, tetapi juga
diperlukan kecerdasan spiritual. Bisa dikatakan bahwa persyaratan minimal untuk
menjadi penyelenggara negara telah mereka penuhi, dengan memiliki ijazan SMU.
Bahkan tidak sedikit yang lulusan pendidikan level tertinggi dan menjadi guru
besar.
Namun, predikat akademik itu justru akan menjadi biang kerusakan
jika para elite politik itu tidak memiliki kecerdasan spiritual yang membuat
mereka merasa bahwa mereka berada dalam wilayah yang tidak pernah lepas dari
pengawasan dzat yang maha tinggi. Tanpa kecerdasan spiritual, yang ada di
pikiran mereka pastilah hanya kalkulasi untung rugi ditambah dengan hasrat yang
sangat kuat untuk mengkorupsi SDA negeri ini. Akhirnya, kekayaan itu mereka
nikmati sendiri, tanpa mempedulikan nasib rakyat yang telah lama menderita
dalam kemiskinan.
Kenyataan yang terjadi di negeri ini tak ubahnya dengan yang
terjadi di Turkmenistan. Mantan Presiden Niyazov telah berbuat korup dengan
mengkorupsi pendapatan dari kilang minyak dan gas lepas pantai di negeri itu.
Dia kedapatan menyimpan dana mencapai 3 miliar dolar AS di berbagai bank dunia.
Itulah cerminan dari para elite politik yang selama ini tidak memperhatikan
kesengsaraan rakyat dan hanya berpikir untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan
untuk diri mereka sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan kutukan SDA tersebut, kualitas SDM
anak-anak bangsa ini harus diperbaiki, agar tidak bergantung kepada perusahaan
asing dalam mengelola SDA yang melimpah. Di samping itu, para elite politik
perlu memiliki kecerdasan spiritual agar tidak membuat kebijakan-kebijakan
politik yang merugikan negara dan bersikap amanah.
Para penyelenggara negara dibutuhkan untuk menjalankan amanat
konstitusi negara, baik dalam konteks membuat kebijakan-kebijakan politik yang
berorientasi untuk mewujudkan kebaikan bersama (common good) maupun pelaksanaannya secara konsisten. Dengan
demikian, masyarakat Indonesia akan memiliki harapan untuk menikmati kehidupan
yang lebih baik. Semoga. Wallahu a'lam.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar