Minggu, 27 Mei 2012

Iklan di Media Penyiaran : Antara Persepsi dan Realitas


Iklan di Media Penyiaran :
Antara Persepsi dan Realitas
Adjie S Soera Atmadjie; Praktisi Penyiaran
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 26 Mei 2012



SELAMA 30 tahun menekuni dunia penyiaran hingga saat ini, dari radio hingga televisi, dari hanya mengenal Radio Amatir, RRI, dan TVRI, hingga era radio dan TV swasta yang dikelola perusahaan partikelir, ditambah era baru teknologi penyiaran seperti digital radio, digital TV, DTH, cable TV, VOD, Tivo, IPTV, dll, sangat terasa pasang surut persepsi tentang media penyiaran yang dihembuskan kepada masyarakat.

Semua itu tergantung siapa yang menciptakan persepsi dan tujuan yang diinginkannya sehingga media menjadi sesuatu yang dibenci dan dirindu. Celakanya, orang–orang media penyiaran terlalu humble untuk menanggapi, dengan berbagai alasan masing-masing.

Satu hal dari sekian banyak isu media penyiaran yang perlu diluruskan ialah tentang iklan, sebab memang sangat banyak isu cantik yang selalu dapat diangkat dari dunia media penyiaran di Indonesia. Maka dari itu, media penyiaran di Indonesia, terutama televisi partikelir, sering kali berurus an dengan pihak–pihak yang mengadukan mereka di depan aparat hukum.

Pengaturan Iklan

Sesuai dengan sifatnya, lembaga penyiaran swasta (LPS) seperti pada Pasal 16 ayat 1 UU No 32/2002 jo Pasal 13 ayat 2 huruf (b) adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Hal itu juga sesuai dengan Ketentuan Umum butir (2) pada PP 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Mengapa mengangkat pasal LPS? Sebab, LPS merupakan media yang hingga saat ini paling banyak menyerap iklan.

Apakah dalam praktiknya LPS ini (karena sifatnya) hanya melaksanakan siaran murni berorientasi komersial belaka? Jawabannya tidak karena meskipun dalam tubuh LPS melekat sifat komersial, secara sadar dalam LPS juga melekat norma dan filsafat hidup bangsa Indonesia.

Iklan ialah satu­satunya sumber pendapatan LPS yang artinya dari pendapatan tersebut akan menjadi satu di antara sumber pembiayaan untuk kelangsungan bisnis, pengembangan teknologi, pembiayaan riset, dan pengembangan program untuk menjadi program berkualitas dan mampu bersaing, ditambah beban operasional dan depresiasi peralatan. Boleh dibilang iklan adalah jantungnya LPS.

Pengaturan tentang penayangan iklan di LPS (conventional media), terutama radio dan televisi, sebelum diatur dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran dan PP No 50/2005 sudah mengalami pe ngaturan secara internal dan alami pada setiap media (LPS), bahkan secara ketat dengan tidak mengabaikan kelangsung an dan perkembangan bisnis yang berhadapan langsung dengan kebutuhan hidup dan kualitas program siaran.

Pertempuran sengit di tubuh LPS selalu terjadi setiap hari, antara program owner (pemilik program) dalam hal ini divisi program dan divisi penjualan iklan (sales & marketing) untuk menentukan sejauh mana iklan dapat masuk ke sebuah program siaran.

Apabila sebuah program menjadi clutter (terlalu banyak) iklan, pihak divisi program justru merasa dirugikan karena key performance indicator (KPI) mereka tidak diukur dari banyaknya iklan yang tayang, tetapi lebih kepada kualitas program dan banyaknya pemirsa. Itu merupakan kebalikan dari KPI divisi sales & marketing. Artinya, mekanisme saling kontrol itu sudah berjalan sejak UU No 32/2002 belum digagas dan hal itu masih berlangsung hingga saat ini.

Persepsi yang Misleading

Pada suatu hari di akhir tahun, anggaran diumumkan bahwa belanja iklan (advertising expenditure/adex) pada 2011 sebesar Rp44 triliun dan di 2012 akan naik menjadi Rp45 triliun­ Rp50 triliun, semua mata terbelalak tertuju pada angka itu dan nyaris tak berkedip. Betapa LPS sangat kaya raya dengan kue iklan yang cukup untuk membangun jalan tol di sepanjang perbatasan Indonesia­Malaysia.

Jadi, tidak mengherankan bila banyak orang berlomba untuk mendirikan LPS yang merupakan perusahaan padat modal dan tidak sedikit di antara mereka yang berguguran setelah menyadari kenyataannya. Angka itu memang melambungkan imajinasi yang sangat tinggi, tapi kenyataannya sangat jauh panggang daripada api.

Dari angka gross Rp44 triliun (adex 2011), pada kenyataannya atau nilai nett-nya tidak lebih dari Rp12 triliun, yang terserap oleh LPS dan Lembaga Penyiaran Publik (LPP TVRI) karena meskipun sudah mendapat dana dari APBN/APBNP, LPP boleh menerima iklan sebesar 15% dari jam tayang program mereka atau hanya berbeda 5% dengan LPS yang diamanatkan hanya boleh 20% jam tayang.

Artinya, Rp12 triliun sepanjang 2011 itu diperebutkan 10 TV swasta, 1 TVRI, 9 TV jaringan, dan puluhan TV lokal di seluruh Indonesia.

Masyarakat perlu tahu bahwa angka adex yang diterbitkan lembaga riset Nielsen merupakan angka gross, yang dihitung dari publish rate LPS, jadi tidak serta-merta angka kenyataannya sefantastis itu.

Idealistis yang Realistis

Nilai­-nilai idealistis dalam menciptakan dan menayangkan program pada LPS tidak lepas dari norma idealistis bangsa sehingga ada lembaga yang selalu menjaga dan mengawasi seperti LSF (Lembaga Sensor Film), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Dewan Pers, dan ditambah masyarakat. Sisi idealistis lain ialah visi dari LPS itu sendiri untuk mampu menandingi lembaga penyiaran global.

Di era globalisasi seperti sekarang, sebuah kenisca yaan bila media­-media asing masuk ke ruang ke asing masuk ke ruang keluarga dan kamar tidur kita. Untuk menandingi media­media asing itu tidak cukup dengan idealisme saja, tetapi harus realistis bahwa untuk mencapai kualitas menandingi mereka perlu biaya yang tidak sedikit. Selain kesiapan teknologi, program yang berkualitas global pun harus dipersiapkan dan konsekuensinya semakin berkualitas. Maka, cost (biaya) akan semakin tinggi, sedangkan sumber pendapatan hanya dari iklan semata.

Pengaturan tentang iklan telah jelas pada UU Penyiaran termasuk PP-nya. Penghitungannya tidaklah fair dan realistis bila diambil secara acak (uji petik). Itu haruslah dihitung minute by minute, hour by hour, dan day by day sepanjang tahun secara detail dan terekam sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang berdasarkan persepsi. Dengan cara itu, kredibilitas dan akuntabilitas data akan sangat mudah untuk dipertanggungjawabkan.

Yang perlu diingat ialah iklan tidak hanya menghidupi lembaga penyiaran dan karya wannya. Lebih dari itu, iklan juga menggerakkan roda perekonomian dunia, menghidupkan neighboring industry penyiaran seperti production house, artis, musikus, sineas, graphics designer, copywriter, editor, pengiklan, event organizer, atlet, dll bersama keluarga besar mereka. Iklan termasuk yang menghadirkan event nasional dan internasional di ruang keluarga.

Untuk itu, perlu kearifan, pengalaman, dan pendalaman kehidupan media penyiaran dalam memberikan pandangan tentang iklan. Jika tidak, salah–salah itu malah dapat mengubah konstelasi bisnis penyiaran secara menyeluruh dan tidak menutup kemungkinan justru membuat media penyiaran swasta di Indonesia menjadi dongeng pengantar tidur anak–anak karena sudah tidak bisa ditemui lagi.

Na’udzu billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar