Sabtu, 26 Mei 2012

Korupsi untuk Demokrasi


Korupsi untuk Demokrasi
Komaruddin Hidayat ; Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUMBER :  KOMPAS, 26 Mei 2012


Kita hidup dalam sebuah pemerintahan dan masyarakat yang penuh paradoks. Pada awalnya demokrasi dirumuskan dan diperjuangkan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih melalui mekanisme kontrol yang melekat dan transparan untuk menyejahterakan rakyat. Yang terjadi sebaliknya, demokrasi diselenggarakan melalui korupsi yang menyengsarakan rakyat.

Kita masih ingat, suasana batin yang mendorong lahirnya reformasi adalah mengakhiri korupsi dan sentralisme kekuasaan yang menindas. Maka, reformasi pun melahirkan dua agenda utama: demokratisasi dan otonomi daerah setelah mengubah UUD 1945. Maka, kini berita yang dominan adalah gegap gempita sepak terjang partai politik di pusat ataupun daerah dan menguatnya pasar bebas yang dimanfaatkan oleh modal asing.

Demokratisasi berarti kebebasan. Namun, kebebasan tanpa penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih sama halnya menyerahkan panggung reformasi dan demokrasi kepada koruptor yang berlindung di balik jubah parpol dan pada komprador kapitalisme global amat rakus.

Berdasarkan konstitusi negara, sebuah pemerintahan dibentuk untuk melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyat. Lewat mekanisme demokrasi, berbagai lapisan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, terbentuk melalui pemilihan langsung. Problemnya adalah para kandidat yang memenangi pemilu dan pilkada itu lebih karena ditopang oleh kekuatan uang, bukan oleh integritas dan kapabilitas. Jadi, panggung demokrasi yang dihasilkan reformasi telah berubah menjadi ajang bisnis kekuasaan sebagai bagian dari paradigma pasar bebas, sebagai antitesis terhadap sentralisasi dan hegemoni negara semasa Orde Baru.

Kembalikan ke Spirit Konstitusi

Sukses atau gagalkah reformasi? Jawabnya kembalikan saja pada dasar dan spirit konstitusi negara. Bahwa sebuah pemerintahan akan dianggap sukses selama sanggup menjaga kedaulatan bangsa serta mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Jika kedaulatan bangsa ini semakin tergadai pada kekuatan asing, lalu pendidikan dan kesejahteraan rakyat kian mundur, gagallah sebuah pemerintahan, orde atau kabinet apa pun namanya.

Kini pemerintahan berada di tangan kekuatan parpol. Bahkan, ada yang menyebutnya oligarki parpol. Wakil-wakil mereka memiliki legalitas dan otoritas dengan menguasasi lembaga legislatif untuk membuat undang-undang dan menentukan anggaran belanja negara.

Namun, jika legalitas yang dimiliki tidak ditopang oleh kapabilitas dan integritas, panggung demokrasi tak lebih sebagai ajang adu kekuatan parpol yang sangat potensial menjerumuskan nasib bangsa. Kemenangan dalam pesta demokrasi lalu diukur dengan jumlah suara dan setiap suara ditukar dengan uang dan janji-janji palsu. Kemuliaan demokrasi sirna.

Berapa jumlah dan dari mana uang didapat? Di negeri ini, yang menguasai uang terbanyak adalah negara, yang didapat terutama dari pajak dan hasil dari penjualan kekayaan alam. Jadi, kalau ada parpol yang uangnya melimpah untuk membeli suara rakyat, sulit diingkari jika muncul anggapan bahwa alirannya dari kas negara yang disalurkan dan dibobol dengan berbagai modus operandi.

Setiap pemimpin teras parpol mesti berpikir dan berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya karena ongkos politik yang teramat mahal. Dengan kata lain, pesta dan kemenangan demokrasi di negeri ini sebagian diraih dengan kecanggihan korupsi.

Untuk membuktikan itu, logikanya sangat sederhana. Bupati, wali kota, gubernur, dan pejabat tinggi lain: ongkos untuk meraih jabatan itu jauh melebihi jumlah gaji bulanan yang diterima. Lalu, dari mana mereka mengembalikan modal dan mengejar untung kalau tidak dari korupsi? Kecuali mereka yang sudah kaya raya dan senang bederma pada bangsa dan rakyat.

Yang juga membuat tercenung, kultur politik dan birokrasi pemerintahan yang ada telah ikut berperan merusak kader dan putra-putri bangsa terbaik. Para aktivis kampus dan LSM yang pada mulanya terpanggil masuk ke dalamnya untuk ikut memperbaiki pemerintahan dan kondisi bangsa begitu rapuh daya tahannya dari virus korupsi.

Bisa jadi hal ini disebabkan dua faktor: integritasnya yang lemah serta korupsi yang berlangsung secara sistemik dan terlembaga sehingga sulit bagi seseorang menghindar, sekuat apa pun daya tahannya. Lebih menyedihkan lagi kalau niat awal ke sana memang mengejar untung materi melalui jabatan yang diraihnya karena parpol dipandang sebagai sebuah perusahaan pengeboran tambang.

Melihat hasil reformasi yang ternyata jauh dari yang dibayangkan dan diharap- kan, wajar jika muncul gagasan membaca dan menulis ulang agenda bernegara ini. Para intelektual dan politisi yang memiliki saham dalam merumuskan reformasi dan membuat amandemen UU sebaiknya bereuni guna mengevaluasi secara jujur, lugas, dan mendalam demi kepentingan bangsa dan negara—apa pun afiliasi partainya. Termasuk evaluasi terhadap produk UU dan implementasinya yang dinilai menjadi sumber malapetaka. Di sini sosok presiden bisa menjadi pemrakarsa.

Jangan Sampai Mentah

Semangat dan kohesi kebangsaan Indonesia yang belum solid dan matang jangan sampai mentah dan berantakan oleh praktik demokrasi setengah hati. Yaitu kebebasan yang tak dibarengi dengan ketegasan hukum dan pemerintahan bersih.

Kini semangat dan afiliasi komunalisme, baik etnisitas maupun agama, lebih menguat ketimbang semangat dan kesadaran kewarganegaraan. Agenda besar bangsa dan negara terbajak oleh manuver kekuatan komunalisme yang memunculkan konflik vertikal dan horizontal. Kekuatan eksklusivisme-komunalisme ini juga seenaknya merampas wilayah publik, sementara kekuatan negara sepertinya lemah atau melakukan pembiaran.

Jadi, parpol sebagai pilar bernegara telah dibajak oleh kekuatan uang, sementara wilayah dan ketenteraman publik diganggu oleh kekuatan komunal yang menggerogoti semangat keindonesiaan yang jadi amanat para pendiri bangsa. Di tengah keraguan menebak dan memilih calon presiden dan wapresnya, Pemilu 2014 jadi momentum menentukan nasib bangsa: akan bangkit atau kian terpuruk?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar