Minggu, 27 Mei 2012

Mafia Berjubah Demokrasi


Mafia Berjubah Demokrasi
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
SUMBER :  KORAN TEMPO, 26 Mei 2012
Bandingkan dengan artikel Reza Syawawi di KOMPAS, 23 Mei 2012 :


Demokrasi seperti berwajah ganda. Pada satu sisi, demokrasi adalah instrumen yang dipercaya untuk mengagregasi kepentingan publik. Namun, pada sisi lain, ia justru menggerogotinya. Ini sulit dimungkiri manakala demokrasi dipilih sebagai jalan untuk memperbaiki kesemrawutan bangsa, namun ternyata melahirkan mafia dengan berlindung di balik "jubah" demokrasi.

Dewasa ini demokrasi hanya diidentikkan dengan peran partai politik dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Pada sisi publik, memberikan suara pada saat pemilu adalah tanggung jawab final dan untuk selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada wakil yang dipilihnya.

Pemilu pun seakan bermetamorfosis menjadi seremonial yang liberal. Betapa tidak, aktor-aktor politik cenderung memanfaatkan pragmatisme publik untuk meraih dukungan suara. Politik uang dengan segala bentuknya menjadi transaksi terbuka karena dilakukan nyaris secara terang-terangan. Pemilu, yang seharusnya menjadi tempat kontestasi gagasan dan program-program pro-publik, justru beralih menjadi ajang perlombaan kekayaan. Partai politik pun menjadi aktor utama dalam "kontestasi" ini. Partai cenderung memunculkan ruang transaksi tersebut pada saat penjaringan calon di kalangan internal partai.

Fenomena ini pada akhirnya berimplikasi pada pembajakan fungsi-fungsi negara karena ada upaya mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan pada saat pemilu. Maka, tidak mengherankan jika di kemudian hari bermunculan para aktor politik yang menyandang "gelar" tersangka hingga terpidana kasus korupsi.

Mafia Demokrasi

Kualitas demokrasi yang begitu buruk ini sebetulnya mencerminkan situasi demokrasi di Indonesia secara umum. Maka, benarlah pandangan yang dikemukakan oleh Brian C. Smith (1998) yang mengungkapkan bahwa pemilu di tingkat daerah yang begitu buruk akan berbanding lurus dengan kualitas pemilu nasional.

Jamak diketahui, perilaku elite di tingkat lokal tak kalah "beringas" dari elite politik di tingkat nasional. Setali tiga uang dengan itu, manakala tangan hukum bekerja, ramai-ramailah para elite lokal dan nasional itu dijebloskan ke penjara.

Pemilukada langsung sebagai instrumen penguatan demokrasi di tingkat lokal berubah menjadi alat legitimasi semu bagi sebagian kepala daerah. Kuatnya peranan pemodal dalam menyokong sumber daya, termasuk dana bagi calon tertentu, telah dimanfaatkan untuk "membeli" suara. Bahkan publik pun ikut "menyukseskan" prosesi ini dengan bersikap pragmatis.

Keterpilihan kepala daerah, yang awalnya diharapkan memberikan napas baru bagi daerah, justru menjadi ancaman bagi daerah. Banyak kepala daerah yang pada saat berkuasa berusaha membangun kekuasaan di lingkaran keluarga dan kroninya.

Muncullah dinasti-dinasti politik di daerah. Tujuannya tidak lain adalah memperkuat kedudukan secara politik untuk menguasai sumber daya ekonomi daerah. Mereka berusaha menciptakan lingkaran kekuasaan untuk mengamankan sumber daya ekonomi tersebut untuk kepentingan kelompoknya. Gambetta (2000; 164), sebagaimana dikutip oleh Jeffrey A. Winters (Oligarki, 2011), bahkan menyamakan perilaku ini layaknya seorang mafia, memonopoli sebanyak-banyaknya sumber daya di suatu daerah.

Di tingkat nasional, hal semacam ini seolah direplikasi, sumber daya ekonomi nasional (APBN) disiasati untuk kepentingan kelompok-kelompok berkuasa. Mafia juga bekerja pada level ini, proyek-proyek infrastruktur pemerintah dibajak oleh elite berkuasa untuk membiayai kegiatan politiknya. Muncullah kasus Wisma Atlet, Hambalang, hingga kasus korupsi yang diduga melibatkan beberapa perguruan tinggi. Merekalah para penjahat dan mafia yang menggerus nilai-nilai demokrasi. Bersikap seolah-olah seperti wakil rakyat, namun perilakunya lebih serupa dengan mafia.

Deliberatif Demokrasi

Publik seharusnya menyadari bahwa fenomena ini juga disebabkan oleh perilaku pragmatis yang selama ini memang dipelihara. Tidak hanya oleh partai politik, tetapi juga oleh publik. Publik seharusnya menjadi bagian dari upaya perbaikan demokrasi. Perilaku politik pragmatis harus dihentikan karena terbukti berdampak negatif bagi publik sendiri. Untuk itu, perlu ada gagasan baru untuk membangun demokrasi yang lebih sehat. Jurgen Habermas mencoba menawarkan gagasan yang kemudian dipahami sebagai demokrasi deliberatif (deliberative democracy).

Deliberatif dalam bahasa Latin disebut deliberatio, yang berarti "konsultasi", "menimbang-nimbang", atau dalam bahasa politik diterjemahkan sebagai "musyawarah". Secara sederhana, demokrasi deliberatif menghendaki peningkatan intensitas partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Tujuannya agar kebijakan yang dihasilkan setidaknya akan mendekati harapan semua pihak.

Pemahaman tentang demokrasi perlu diluruskan melalui diskursus ini. Demokrasi, yang oleh publik hanya dipahami dalam bentuk penyelenggaraan pemilu, harus direkonstruksi ulang. Penyerahan mandat melalui pemberian suara pada saat pemilu bukan berarti memberikan keleluasaan yang tak terbatas bagi para pejabat publik untuk menentukan sendiri kebijakannya. Maka, publik seharusnya mengambil peran yang lebih besar karena berkaitan langsung dengan hajat hidupnya sendiri.

Absennya publik dalam proses pengambilan kebijakan justru memperbesar peluang bagi para mafia untuk melakukan aktivitasnya. Di samping itu, publik juga perlu memberi punishment bagi partai politik yang memunculkan mafia-mafia demokrasi. Tidak memilih partai yang korup adalah langkah awal bagi publik untuk melakukan perlawanan secara politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar