Sabtu, 26 Mei 2012

Ekonomi China : Persoalan Fragmentasi Pasar Domestik


EKONOMI CHINA :
Persoalan Fragmentasi Pasar Domestik
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 26 Mei 2012



Pada suatu hari, kita terkejut dan berdecak kagum sekaligus khawatir ketika perekonomian China tumbuh luar biasa pada tahun 2000-an serta terus melaju melampaui pertumbuhan negara miskin dan kaya sekaligus. Dibutuhkan waktu sekitar 30 tahun bagi China untuk menjadi kekuatan ekonomi nomor dua dunia di belakang Amerika Serikat, melampaui Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, dan lain-lain.

Namun, pada suatu hari juga, kita akan lebih terkejut lagi dan mulai mengerutkan dahi, berpikir apa yang terjadi ketika laju pertumbuhan ekonomi China yang bertahan dua digit selama 20 tahun ini tiba-tiba mereda karena berbagai faktor globalisasi. Para pengamat ekonomi di dunia hanya bisa memperkirakan, perlambatan ekonomi China memiliki dua pilihan, mendarat secara keras atau lembut.

Persoalannya, ukuran perekonomian China saat ini sangat besar dan masif. Ketika roda-roda ekonomi China mulai melambat karena tersumbatnya pasar ekspor ke Amerika atau Eropa akibat resesi berkepanjangan, pertanyaan yang muncul adalah, apa dampaknya terhadap keseluruhan mekanisme ekonomi dan perdagangan dunia?

Resesi yang menuju ke depresi globalisasi, seperti yang terjadi pada dekade ketiga abad ke-20, sekarang bukan lagi pada persoalan apa yang harus diselamatkan dan siapa yang harus selamat dari krisis zona euro. Krisis yang membuat Yunani terjerembab antara pengetatan anggaran dan mendorong pertumbuhan di tengah resesi.

Untuk menghadapi ancaman krisis penurunan pertumbuhan ekonomi China dibutuhkan berbagai keahlian agar kontaminasi persoalan tak melebar dan melempar umat manusia kembali ke zaman batu.

Persoalan yang dihadapi RRC menjadi sangat rumit, mulai dari persoalan politik terkait legitimasi kekuasaan Partai Komunis China (PKC), masalah internasionalisasi terkait dominasi dan ideologi, sampai kebijakan fiskal dan moneter menghadapi perubahan akibat dominasi dan bentrokan ideologi globalisasi.

Masalah Mobilisasi

Satu hal pasti, pertumbuhan ekonomi dan sistem perdagangan yang dilakukan China selama tiga dekade terakhir ini ditopang sistem politik yang diselimuti ketidakadilan. Bukan rahasia kalau PKC mengontrol alokasi semua sumber daya bagi kelangsungan modernisasi dan reformasi ekonomi China.

Yang menakutkan, ketidakadilan yang menjadi ciri-ciri pertumbuhan ekonomi sukses dalam globalisasi juga terjadi di mana-mana, termasuk di Yunani serta negara-negara lain di Eropa selatan. Bagi China, yang berada pada posisi ”mengejar” ke tingkat negara sejahtera, persoalan yang dihadapi juga tak beda jauh ketika negara kaya dan maju memulai pertumbuhan ekonomi mereka.

Pertumbuhan adalah masalah mobilisasi dan bukan hanya persoalan efisiensi sumber daya yang selama ini didengung-dengungkan negara kaya dengan pertumbuhan rendah. Menjadi berbeda bagi China ketika mampu menghasilkan produk-produk murah yang dinikmati berbagai industri dan konsumen dunia.

Sejarah pertumbuhan China menunjukkan, dua pertiga pertumbuhan produk domestik brutonya juga berasal dari tambahan kapital dan buruh karena populasi yang masif dengan usia tenaga kerja relatif lebih muda daripada negara lain.

Artinya, tiga dekade pertumbuhan China menyangkut persoalan mendorong tenaga kerjanya keluar dari sektor tradisional pertanian dan mengubahnya menjadi kekuatan tenaga kerja modern yang disertai dengan penambahan kapital, seperti mesin dan perangkat lunak setiap buruhnya.

Terfragmentasi

Kerja pertumbuhan ekonomi China sekarang menghadapi dilema, yakni apa yang disebut diversifikasi eksesif dengan konsekuensi kerusakan yang luar biasa. Walau China memiliki semua resep pertumbuhan ekonomi, baik tenaga kerja, ahli lulusan universitas, maupun buruh yang murah, laju perekonomiannya menyimpang dari jalur yang ditempuh negara-negara Asia Timur lain, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Ketiga negara ini, secara perlahan dalam pembangunan pertumbuhan ekonomi, mampu menghasilkan perusahaan-perusahaan skala global, seperti Toyota, Sony, Samsung, dan Foxconn.

Di China, asas komunisme, yang membesarkan perusahaan-perusahaan milik negara dengan preferensi akses ke kapital, teknologi, dan pasar yang bercampur dengan investasi asing, menghadirkan perusahaan-perusahaan patungan berorientasi ekspor.

Di sisi lain, kehadiran perusahaan swasta, yang secara politis lebih independen menjadi tercerai-berai saat harus berhadapan dengan perusahaan-perusahaan negara dengan berbagai konsekuensi. Dominasi perusahaan asing yang berkolaborasi dengan usaha milik negara menyebabkan perusahaan swasta tak efisien untuk menjadi perusahaan berskala global seperti perusahaan Jepang, Korsel, dan Taiwan.

Akibatnya, terjadi berbagai penyimpangan, seperti Haier yang memulai sebagai produsen peralatan rumah tangga akhirnya juga memproduksi komputer, ponsel, dan televisi. Fangzheng yang awalnya membuat komputer juga menghadirkan minuman teh, baja, perangkat lunak, dan jasa keuangan. Shougang, yang dikenal sebagai perusahaan baja, juga memiliki usaha perbankan, perakitan mobil, dan semikonduktor.

Lingkungan bisnis China di tengah resesi global menghadapi risiko sangat tinggi. Pasar dalam negeri yang harus dikembangkan karena macetnya pasar ekspor berada dalam kondisi terfragmentasi.

Pasar dalam negeri juga terus-menerus berhadapan dengan pergeseran manipulasi pejabat pemerintah pusat dan daerah. Ini menjadi hambatan politik yang membentengi terjadinya asosiasi perusahaan sejenis dan menyebabkan fluktuasi harga berbagai macam produk kebutuhan dalam negeri.

Dalam waktu tak lama lagi, China akan dihadapkan pada situasi ketika kekuatan ekonomi merkantilismenya bentrok dengan negara-negara tujuan ekspor, seperti AS dan Eropa, melalui perang tarif atas nama perlindungan pasar domestik. Situasi ini jelas akan memperburuk laju pertumbuhan ekonomi dan akan sangat ditentukan oleh jenis stimulasi ekonomi yang berbeda dengan tahun 2008, yang mendorong sektor properti menjadi sangat spekulatif.

Sekarang ada kecenderungan perusahaan-perusahaan di Amerika dan Eropa menjadi begitu murah dan mengundang pengambilalihan oleh perusahaan China. Seperti pembelian AMC Entertainment Holdings, pemegang lisensi bioskop terbesar di AS, oleh konglomerasi properti Dalian Wanda senilai 2,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 26,4 triliun). Akan banyak perubahan terjadi di China untuk meredam tersebarnya resesi mendalam krisis zona euro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar