Senin, 28 Mei 2012

Revitalisasi Budaya Lokal


Revitalisasi Budaya Lokal
Kelik M Nugroho ; Pemilik Situs www.piringanhitam.com
SUMBER :  KORAN TEMPO, 20 Mei 2012



Sebuah upacara kecil-sederhana berwarna tradisi digelar. Ada sekelompok remaja yang mempertunjukkan sebuah tarian lokal. Ada sekelompok ibu-ibu berbusana panjang berwarna merah marun dan berbawahan sarung bermotif kotak-kotak berwarna kuning-merah mengetuk-ngetukkan batang kayu di lesung panjang (padendang). Ada juga sekelompok laki-laki dewasa berpakaian tradisional memainkan seperangkat gamelan mini (ganrang pamanca).

Namun yang paling penting justru ketika Maing, Ketua Lembaga Adat Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, memperkenalkan kepala desa yang baru saja terpilih. “Kepala desa terpilih secara damai, calon lain menerima kekalahan, karena kami menerapkan nasihat orang tua kami, seperti sipakatau dan sipakainga,” kata Maing di depan sekitar 40 orang dari rombongan Kementerian Dalam Negeri pada 10 Mei 2012.

Orang-orang pun bertepuk tangan. Maklum, belakangan ini banyak pemilihan kepala daerah di Indonesia yang berekses konflik sosial yang berdarah-darah. Sipakatau adalah nasihat yang mengharuskan orang memberikan penghargaan kepada seluruh manusia tanpa memandang derajat, sedangkan sipakainga adalah saling mengingatkan untuk kebaikan. Dua nilai itu merupakan bagian dari nilai-nilai adat-istiadat masyarakat Maros, yang berlokasi dekat dari Makassar.

Kabupaten Maros menjadi salah satu dari 10 kabupaten yang dijadikan proyek percontohan (pilot project) program pelestarian adat-istiadat dan budaya Nusantara (PABN) yang dilaksanakan Direktorat Pemberdayaan Adat Sosial Budaya Masyarakat, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Dalam Negeri. Program ini telah berlangsung selama tiga tahun dan tahun ini memasuki tahap terakhir implementasi.

Program pelestarian adat ini dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembangunan di desa berdasarkan otonomi asli, melalui upaya mendorong kemandirian masyarakat untuk meningkatkan karakter dan kesejahteraan masyarakat serta sebagai upaya pengembangan budaya nasional.

Strategi pelaksanaannya dilakukan melalui identifikasi nilai budaya, penguatan lembaga adat dan aparat desa, pengembangan model koordinasi, pelestarian adat dan budaya, serta revitalisasi nilai sosial dan budaya yang ditransformasikan dengan kondisi kekinian dan tantangan masa depan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dengan menumbuhkan prakarsa dan inisiatif masyarakat setempat.

Setelah tiga tahun program ini berjalan, kini telah terbentuk lembaga adat di seluruh desa lokasi proyek percontohan, serta telah tersusun sejarah dan profil budaya desa dalam dokumen. Muatannya antara lain hasil identifikasi sistem nilai yang telah digali dan direkonstruksi kembali sebagai roh dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pengaturan masyarakat desa.

Desa Botolempangan di Kabupaten Maros adalah salah satu contoh yang berhasil menjalankan program ini. Desa ini telah menggali, merekonstruksi, bahkan menerapkan nilai-nilai adat lokal seperti sipakatau, sipakainga, dan sipakkalebbi (memperlakukan manusia sepantasnya). Mereka juga memiliki nilai-nilai lokal yang mesti dimiliki seorang pemimpin, yaitu macca na malempu (pintar dan jujur), waran na magetteng (berani dan konsisten), dan tudang sipulung (bermusyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan).

Dari sisi regulasi, desa ini telah mengeluarkan tiga peraturan lembaga adat desa, antara lain tentang pengelolaan zakat, infak, dan sedekah, tentang tata cara pelaksanaan hajatan pernikahan, tentang pemberian rekomendasi calon kepala desa, serta keputusan lain tentang penyelesaian sengketa tanah dan perselisihan antarwarga. Berlangsungnya pemilihan kepala desa yang baru saja berlalu secara damai adalah salah satu hasil nyata dari rekonstruksi kepemerintahan (governance) berbasis adat budaya lokal ini.

Dari sisi ekonomi, program pelestarian adat ini mendorong peningkatan kemandirian ekonomi masyarakat yang berbasis potensi lokal melalui pelatihan kewirausahaan dan pembinaan usaha-usaha ekonomi kreatif, seperti kuliner, kerajinan, kesenian, wisata spiritual, dan festival budaya.

Untuk mencapai misi besar dari pemerintah pusat ini tentu tak semudah mengedipkan mata. Menurut Maing, selama ini masyarakat khususnya generasi muda tidak terlalu tertarik untuk memahami adat dan budaya lokal, karena ekses dari perkembangan teknologi modern. Kendala lain, terbatasnya anggaran di desa untuk membiayai infrastruktur kelembagaan adat dan pelestarian adat-istiadat serta budaya. Karena itu, menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat seusai pelaksanaan proyek percontohan--yang dibiayai pemerintah pusat--mereka harus bisa melanjutkan program secara mandiri.

Program pelestarian adat budaya versi Kemendagri ini perlu diberi catatan kritis. Secara idiil, upaya pelestarian adat dan budaya lokal ini mesti diapresiasi. Jika kita menengok ke belakang, pembangunan desa di Indonesia pada masa Orde Baru selama sekitar 30 tahun menganut paham pembangunanisme, yang menekankan pada aspek perkembangan ekonomi. Juga dalam pembangunan, pemerintahan Orde Baru bersikap top-down, yang cenderung menumpulkan inisiatif dari masyarakat. Jadi, dari sisi ini, program pelestarian adat versi Kemendagri ini suatu kemajuan.

Namun ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh pemerintah. Bahwa kinerja birokrasi pemerintah selama ini tidak solid-solid amat. Ego sektoral kementerian selama ini masih kuat. Program pelestarian adat dan budaya lokal ini mestinya dikerjakan secara lintas kementerian. Sebab, kalau tidak, akan terjadi tumpang-tindih program dan anggaran di lapangan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pemetaan masalah pembangunan desa berbasis adat dan budaya lokal. Pembangunan desa berbasis budaya lokal adalah masalah yang sangat kompleks, dan tampaknya tidak semua daerah bisa diperlakukan secara pukul rata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar