Revitalisasi
Budaya Lokal
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 20 Mei 2012
Sebuah upacara kecil-sederhana berwarna
tradisi digelar. Ada sekelompok remaja yang mempertunjukkan sebuah tarian
lokal. Ada sekelompok ibu-ibu berbusana panjang berwarna merah marun dan
berbawahan sarung bermotif kotak-kotak berwarna kuning-merah mengetuk-ngetukkan
batang kayu di lesung panjang (padendang). Ada juga sekelompok laki-laki
dewasa berpakaian tradisional memainkan seperangkat gamelan mini (ganrang
pamanca).
Namun yang paling penting justru ketika
Maing, Ketua Lembaga Adat Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten
Maros, Sulawesi Selatan, memperkenalkan kepala desa yang baru saja terpilih.
“Kepala desa terpilih secara damai, calon lain menerima kekalahan, karena kami
menerapkan nasihat orang tua kami, seperti sipakatau dan sipakainga,”
kata Maing di depan sekitar 40 orang dari rombongan Kementerian Dalam Negeri
pada 10 Mei 2012.
Orang-orang pun bertepuk tangan. Maklum,
belakangan ini banyak pemilihan kepala daerah di Indonesia yang berekses
konflik sosial yang berdarah-darah. Sipakatau adalah nasihat yang
mengharuskan orang memberikan penghargaan kepada seluruh manusia tanpa
memandang derajat, sedangkan sipakainga adalah saling mengingatkan untuk
kebaikan. Dua nilai itu merupakan bagian dari nilai-nilai adat-istiadat
masyarakat Maros, yang berlokasi dekat dari Makassar.
Kabupaten Maros menjadi salah satu dari 10
kabupaten yang dijadikan proyek percontohan (pilot project) program
pelestarian adat-istiadat dan budaya Nusantara (PABN) yang dilaksanakan
Direktorat Pemberdayaan Adat Sosial Budaya Masyarakat, Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Dalam Negeri. Program ini telah
berlangsung selama tiga tahun dan tahun ini memasuki tahap terakhir
implementasi.
Program pelestarian adat ini dimaksudkan
untuk mendukung terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan (governance)
dan pembangunan di desa berdasarkan otonomi asli, melalui upaya mendorong
kemandirian masyarakat untuk meningkatkan karakter dan kesejahteraan masyarakat
serta sebagai upaya pengembangan budaya nasional.
Strategi pelaksanaannya dilakukan melalui
identifikasi nilai budaya, penguatan lembaga adat dan aparat desa, pengembangan
model koordinasi, pelestarian adat dan budaya, serta revitalisasi nilai sosial
dan budaya yang ditransformasikan dengan kondisi kekinian dan tantangan masa
depan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dengan menumbuhkan
prakarsa dan inisiatif masyarakat setempat.
Setelah tiga tahun program ini berjalan, kini
telah terbentuk lembaga adat di seluruh desa lokasi proyek percontohan, serta
telah tersusun sejarah dan profil budaya desa dalam dokumen. Muatannya antara
lain hasil identifikasi sistem nilai yang telah digali dan direkonstruksi
kembali sebagai roh dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan
pengaturan masyarakat desa.
Desa Botolempangan di Kabupaten Maros adalah
salah satu contoh yang berhasil menjalankan program ini. Desa ini telah
menggali, merekonstruksi, bahkan menerapkan nilai-nilai adat lokal seperti sipakatau,
sipakainga, dan sipakkalebbi (memperlakukan manusia sepantasnya).
Mereka juga memiliki nilai-nilai lokal yang mesti dimiliki seorang pemimpin,
yaitu macca na malempu (pintar dan jujur), waran na magetteng
(berani dan konsisten), dan tudang sipulung (bermusyawarah mufakat dalam
pengambilan keputusan).
Dari sisi regulasi, desa ini telah
mengeluarkan tiga peraturan lembaga adat desa, antara lain tentang pengelolaan
zakat, infak, dan sedekah, tentang tata cara pelaksanaan hajatan pernikahan,
tentang pemberian rekomendasi calon kepala desa, serta keputusan lain tentang
penyelesaian sengketa tanah dan perselisihan antarwarga. Berlangsungnya
pemilihan kepala desa yang baru saja berlalu secara damai adalah salah satu
hasil nyata dari rekonstruksi kepemerintahan (governance) berbasis adat
budaya lokal ini.
Dari sisi ekonomi, program pelestarian adat
ini mendorong peningkatan kemandirian ekonomi masyarakat yang berbasis potensi
lokal melalui pelatihan kewirausahaan dan pembinaan usaha-usaha ekonomi
kreatif, seperti kuliner, kerajinan, kesenian, wisata spiritual, dan festival
budaya.
Untuk mencapai misi besar dari pemerintah
pusat ini tentu tak semudah mengedipkan mata. Menurut Maing, selama ini
masyarakat khususnya generasi muda tidak terlalu tertarik untuk memahami adat
dan budaya lokal, karena ekses dari perkembangan teknologi modern. Kendala
lain, terbatasnya anggaran di desa untuk membiayai infrastruktur kelembagaan
adat dan pelestarian adat-istiadat serta budaya. Karena itu, menjadi pekerjaan
rumah bagi masyarakat seusai pelaksanaan proyek percontohan--yang dibiayai
pemerintah pusat--mereka harus bisa melanjutkan program secara mandiri.
Program pelestarian adat budaya versi
Kemendagri ini perlu diberi catatan kritis. Secara idiil, upaya pelestarian
adat dan budaya lokal ini mesti diapresiasi. Jika kita menengok ke belakang,
pembangunan desa di Indonesia pada masa Orde Baru selama sekitar 30 tahun
menganut paham pembangunanisme, yang menekankan pada aspek perkembangan
ekonomi. Juga dalam pembangunan, pemerintahan Orde Baru bersikap top-down,
yang cenderung menumpulkan inisiatif dari masyarakat. Jadi, dari sisi ini,
program pelestarian adat versi Kemendagri ini suatu kemajuan.
Namun ada beberapa hal yang perlu dicermati
oleh pemerintah. Bahwa kinerja birokrasi pemerintah selama ini tidak
solid-solid amat. Ego sektoral kementerian selama ini masih kuat. Program
pelestarian adat dan budaya lokal ini mestinya dikerjakan secara lintas
kementerian. Sebab, kalau tidak, akan terjadi tumpang-tindih program dan
anggaran di lapangan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah pemetaan masalah
pembangunan desa berbasis adat dan budaya lokal. Pembangunan desa berbasis
budaya lokal adalah masalah yang sangat kompleks, dan tampaknya tidak semua
daerah bisa diperlakukan secara pukul rata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar