Menertawai
Korupsi
M
Fauzi Sukri ; Mahasiswa Kajian Amerika Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 27 Mei 2012
Aku tertawa, maka korupsi nyaris saja tak
ada, kataku dalam hati, sedikit jauh melenceng dari kata-kata Goenawan Mohamad
perihal subyek bahasa yang terpelanting. Dan korupsi butuh juga untuk
ditertawai. Saat semua perlawanan kata, ucapan, pikiran, dan tindakan untuk
mencegah, menghakimi, dan menghukum koruptor, juga untuk menaikkan status
korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, tak juga kunjung selesai dan usai, dan
korupsi tak henti-henti terjadi, maka tertawa adalah laku yang perlu. Kita
sedang menghadapi diri kita sendiri sebagai manusia yang tampak seperti membual
dengan mulut besar menganga.
Sebab, dalam wabah korupsi di negeri ini,
kita sekarang seperti menghadapi seorang nabi yang berseru, "Kita harus
sampai di negeri yang diberkati dan dijanjikan!" Seperti dikatakan
Goenawan Mohamad (2010: 35), "Pada saat itu gurun pasir tertawa."
Kita tampaknya perlu tertawa terhadap janji negeri ini akan bebas korupsi. Di
hadapan wabah korupsi, bukan hanya kita tampak seperti hendak menjadikan tujuan
sebagai "asal-muasal yang mendefinisikan sebuah perjalanan" dan jalan
yang kita lalui sempit tapi karena kita hidup dengan manusia yang tampaknya
bertujuan untuk melakukan korupsi tak henti-henti, khususnya dalam dunia
politik-manusia, juga karena barangkali asal-muasal segala gerak ke korupsi
sudah kita pelajari sejak awal. Atau angan-angan negeri bebas korupsi seperti
hendak membangun negeri yang dijanjikan oleh setan yang mustahil terlaksana.
Maka, jika pada ucapan seorang nabi perlu dihadirkan tawa, maka korupsi juga
penting untuk ditertawai dengan resah.
Untuk itulah barangkali beberapa hari ini
kita menyaksikan satu iklan penertawaan korupsi. Alkisah, tiga jin besar di
dunia yang berasal dari Timur Tengah, Jepang, dan Indonesia beradu
keampuhan-ketangkasan untuk menghilangkan benda-benda yang besar. Jin dari
Timur Tengah mampu menghilangkan Piramida; jin dari Jepang berhasil
menghilangkan Gunung Fuji. Tapi tak banyak tepuk tangan yang diraih atas
keberhasilan mereka. Biasa-biasa saja bagi penontonnya yang orang Indonesia.
Sedangkan jin dari Indonesia, tak tanggung-tanggung, cuma mampu menghilangkan
ribuan tumpuk berkas korupsi! Ya, cuma ribuan tumpuk berkas kasus korupsi! Tapi
semua penonton memberikan standing applause! Mengenyahkan korupsi butuh
jin dan hanya jin yang mampu? Ampuh! Maka kita butuh menertawai korupsi.
Kalau kita memperhatikan kasus korupsi,
terutama yang menyangkut orang berkuasa memang pelakunya terutama 99 persen
orang-politikus berkuasa! korupsi tampak seperti permainan-permainan konspirasi
yang tak terjangkau akal awam, apalagi hendak ditangani. Maka, kita butuh jin!
Keajaiban dan ketangkasan seorang pesulap seperti jin yang kita butuhkan untuk
menangani korupsi. Bukan penegak hukum, sepertinya. Toh kita juga tahu, korupsi
hampir-hampir seperti adegan fiksi konspiratif yang menyelubungi dan saling
terkait dalam lingkaran setan anggota dewan perwakilan rakyat,
politikus-pejabat pemerintah, pejabat-kehakiman, anggota kepolisian, kejaksaan,
dan lain-lain.
Saya terkadang merasa terhina oleh
pemberitaan masalah korupsi. Kenapa tak henti-henti dan terus ada di negeri
ini. Padahal semua solusi sudah dikemukakan dan petugas penegakan hukum serta
hukum sudah disediakan. Maka, saya sering terperangkap geli: kita itu hendak
mengenyahkan korupsi atau malah hendak bermain korupsi? Bukankah koruptor itu
manusia, bukan makhluk halus yang berada dunia lain?
Ah, barangkali memang koruptor itu sejenis
jin, dedemit, babi ngepet, dan lain-lain yang bukan sebangsa manusia. Maka,
memang hanya jin yang bisa menghapus dan menyelesaikan wabah korupsi di negeri
ini. Logika ketangkasan-kecerdasan kepolisian, kecerdikan kejaksaan, kecanggihan
intelijen negara, atau kepiawaian profesor-akademisi, dan lain-lain, tak bisa
menembus dan mengendus koruptor. Ajaib! Di hadapan pemberitaan korupsi dan
wabah korupsi, saya dan mungkin berjuta-juta rakyat Indonesia tiba-tiba menjadi
dungu, bodoh, dan pandir. Ya, pandir, seperti seorang tukang kebun saat
menghadapi logika sederhana yang canggih dari Nasruddin Khoja, salah satu
manusia paling cerdas di Timur Tengah yang sedang tertangkap basah mencuri
buah-buahan.
Alkisah, Nashruddin Khoja masuk ke sebuah
kebun ketika pemiliknya sedang tidak ada dalam kasus korupsi, pemiliknya jelas:
rakyat Indonesia! Nashruddin memetik buah yang ada di bawah tangannya sampai
satu tas penuh. Ketika Nashruddin hendak keluar, pemilik kebun itu sudah
kembali. Nashruddin kelabakan dan ketakutan. Pemilik kebun bertanya, "Apa
yang sedang engkau kerjakan di sini?" Nashruddin menjawab tanpa berpikir
panjang. "Angin yang bertiup kemarin menjatuhkan aku di sini."
Pemilik kebun berkata, "Bagus! Lalu siapa yang memetik buah yang ada di
dalam tasmu?" Ia menjawab, "Angin yang bertiup kencang telah
memainkanku di udara, lalu tanpa sengaja tubuhku mengenai beberapa buah ini
sehingga berada di tanganku." Pemilik kebun berkata, "Bagus! Tapi
siapa yang memasukkannya ke dalam tasmu?"
Untuk pertanyaan terakhir ini Nashruddin
tidak menemukan jawaban. Akan tetapi ia berkata, "Aku juga sedang berpikir
tentang itu. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa semenjak aku melihatmu, aku pun
berpikir tentang jawaban atas pertanyaan itu. Namun aku tidak kunjung
mendapatkannya." Tak ada akhir yuridis dari kisah itu, apakah Nashruddin
dihukum atau tidak. Dua-duanya tampaknya sedang terbengong-bengong, berpikir
keras, mungkin tentang keampuhan angin, tapi entah untuk tujuan apa!
Kisah anekdotis ini tampak persis seperti
yang sering terjadi dalam pemberitaan kasus korupsi. Di negeri ini koruptor
tampak dengan tenang mengeluarkan kata-kata, terutama bantahan, bukan bukti,
meski sering tergolong tak masuk akal-logika manusia cerdas. Si pemilik kebun,
juga penghancur korupsi, tampak seperti tak memiliki kecerdasan yang ampuh
untuk segera tahu dan menangkap pelakunya. Tapi, memang koruptor Indonesia itu
manusia sebangsa jin yang kelasnya sudah profesor, agen intelijen yang canggih
lagi tangkas, atau bahkan ahli hukum yang sangat mafhum celah-celah
penyelewengan hukum. Untuk itu, perlu jin yang memiliki keampuhan mumpuni untuk
mengenyahkan korupsi dan koruptor! Aku percaya! Maka dari itu, aku tertawa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar