Senin, 28 Mei 2012

Menertawai Korupsi


Menertawai Korupsi
M Fauzi Sukri ; Mahasiswa Kajian Amerika Universitas Sebelas Maret, Surakarta
SUMBER :  KORAN TEMPO, 27 Mei 2012



Aku tertawa, maka korupsi nyaris saja tak ada, kataku dalam hati, sedikit jauh melenceng dari kata-kata Goenawan Mohamad perihal subyek bahasa yang terpelanting. Dan korupsi butuh juga untuk ditertawai. Saat semua perlawanan kata, ucapan, pikiran, dan tindakan untuk mencegah, menghakimi, dan menghukum koruptor, juga untuk menaikkan status korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, tak juga kunjung selesai dan usai, dan korupsi tak henti-henti terjadi, maka tertawa adalah laku yang perlu. Kita sedang menghadapi diri kita sendiri sebagai manusia yang tampak seperti membual dengan mulut besar menganga.

Sebab, dalam wabah korupsi di negeri ini, kita sekarang seperti menghadapi seorang nabi yang berseru, "Kita harus sampai di negeri yang diberkati dan dijanjikan!" Seperti dikatakan Goenawan Mohamad (2010: 35), "Pada saat itu gurun pasir tertawa." Kita tampaknya perlu tertawa terhadap janji negeri ini akan bebas korupsi. Di hadapan wabah korupsi, bukan hanya kita tampak seperti hendak menjadikan tujuan sebagai "asal-muasal yang mendefinisikan sebuah perjalanan" dan jalan yang kita lalui sempit tapi karena kita hidup dengan manusia yang tampaknya bertujuan untuk melakukan korupsi tak henti-henti, khususnya dalam dunia politik-manusia, juga karena barangkali asal-muasal segala gerak ke korupsi sudah kita pelajari sejak awal. Atau angan-angan negeri bebas korupsi seperti hendak membangun negeri yang dijanjikan oleh setan yang mustahil terlaksana. Maka, jika pada ucapan seorang nabi perlu dihadirkan tawa, maka korupsi juga penting untuk ditertawai dengan resah.

Untuk itulah barangkali beberapa hari ini kita menyaksikan satu iklan penertawaan korupsi. Alkisah, tiga jin besar di dunia yang berasal dari Timur Tengah, Jepang, dan Indonesia beradu keampuhan-ketangkasan untuk menghilangkan benda-benda yang besar. Jin dari Timur Tengah mampu menghilangkan Piramida; jin dari Jepang berhasil menghilangkan Gunung Fuji. Tapi tak banyak tepuk tangan yang diraih atas keberhasilan mereka. Biasa-biasa saja bagi penontonnya yang orang Indonesia. Sedangkan jin dari Indonesia, tak tanggung-tanggung, cuma mampu menghilangkan ribuan tumpuk berkas korupsi! Ya, cuma ribuan tumpuk berkas kasus korupsi! Tapi semua penonton memberikan standing applause! Mengenyahkan korupsi butuh jin dan hanya jin yang mampu? Ampuh! Maka kita butuh menertawai korupsi.

Kalau kita memperhatikan kasus korupsi, terutama yang menyangkut orang berkuasa memang pelakunya terutama 99 persen orang-politikus berkuasa! korupsi tampak seperti permainan-permainan konspirasi yang tak terjangkau akal awam, apalagi hendak ditangani. Maka, kita butuh jin! Keajaiban dan ketangkasan seorang pesulap seperti jin yang kita butuhkan untuk menangani korupsi. Bukan penegak hukum, sepertinya. Toh kita juga tahu, korupsi hampir-hampir seperti adegan fiksi konspiratif yang menyelubungi dan saling terkait dalam lingkaran setan anggota dewan perwakilan rakyat, politikus-pejabat pemerintah, pejabat-kehakiman, anggota kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain.

Saya terkadang merasa terhina oleh pemberitaan masalah korupsi. Kenapa tak henti-henti dan terus ada di negeri ini. Padahal semua solusi sudah dikemukakan dan petugas penegakan hukum serta hukum sudah disediakan. Maka, saya sering terperangkap geli: kita itu hendak mengenyahkan korupsi atau malah hendak bermain korupsi? Bukankah koruptor itu manusia, bukan makhluk halus yang berada dunia lain?

Ah, barangkali memang koruptor itu sejenis jin, dedemit, babi ngepet, dan lain-lain yang bukan sebangsa manusia. Maka, memang hanya jin yang bisa menghapus dan menyelesaikan wabah korupsi di negeri ini. Logika ketangkasan-kecerdasan kepolisian, kecerdikan kejaksaan, kecanggihan intelijen negara, atau kepiawaian profesor-akademisi, dan lain-lain, tak bisa menembus dan mengendus koruptor. Ajaib! Di hadapan pemberitaan korupsi dan wabah korupsi, saya dan mungkin berjuta-juta rakyat Indonesia tiba-tiba menjadi dungu, bodoh, dan pandir. Ya, pandir, seperti seorang tukang kebun saat menghadapi logika sederhana yang canggih dari Nasruddin Khoja, salah satu manusia paling cerdas di Timur Tengah yang sedang tertangkap basah mencuri buah-buahan.

Alkisah, Nashruddin Khoja masuk ke sebuah kebun ketika pemiliknya sedang tidak ada dalam kasus korupsi, pemiliknya jelas: rakyat Indonesia! Nashruddin memetik buah yang ada di bawah tangannya sampai satu tas penuh. Ketika Nashruddin hendak keluar, pemilik kebun itu sudah kembali. Nashruddin kelabakan dan ketakutan. Pemilik kebun bertanya, "Apa yang sedang engkau kerjakan di sini?" Nashruddin menjawab tanpa berpikir panjang. "Angin yang bertiup kemarin menjatuhkan aku di sini." Pemilik kebun berkata, "Bagus! Lalu siapa yang memetik buah yang ada di dalam tasmu?" Ia menjawab, "Angin yang bertiup kencang telah memainkanku di udara, lalu tanpa sengaja tubuhku mengenai beberapa buah ini sehingga berada di tanganku." Pemilik kebun berkata, "Bagus! Tapi siapa yang memasukkannya ke dalam tasmu?"

Untuk pertanyaan terakhir ini Nashruddin tidak menemukan jawaban. Akan tetapi ia berkata, "Aku juga sedang berpikir tentang itu. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa semenjak aku melihatmu, aku pun berpikir tentang jawaban atas pertanyaan itu. Namun aku tidak kunjung mendapatkannya." Tak ada akhir yuridis dari kisah itu, apakah Nashruddin dihukum atau tidak. Dua-duanya tampaknya sedang terbengong-bengong, berpikir keras, mungkin tentang keampuhan angin, tapi entah untuk tujuan apa!

Kisah anekdotis ini tampak persis seperti yang sering terjadi dalam pemberitaan kasus korupsi. Di negeri ini koruptor tampak dengan tenang mengeluarkan kata-kata, terutama bantahan, bukan bukti, meski sering tergolong tak masuk akal-logika manusia cerdas. Si pemilik kebun, juga penghancur korupsi, tampak seperti tak memiliki kecerdasan yang ampuh untuk segera tahu dan menangkap pelakunya. Tapi, memang koruptor Indonesia itu manusia sebangsa jin yang kelasnya sudah profesor, agen intelijen yang canggih lagi tangkas, atau bahkan ahli hukum yang sangat mafhum celah-celah penyelewengan hukum. Untuk itu, perlu jin yang memiliki keampuhan mumpuni untuk mengenyahkan korupsi dan koruptor! Aku percaya! Maka dari itu, aku tertawa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar