Minggu, 27 Mei 2012

Bersatu Kita Teguh


Bersatu Kita Teguh
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
SUMBER :  SINDO, 27 Mei 2012



“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!” Itulah seruan Bung Karno dalam pidatonya (sayang saya lupa pidato yang mana) untuk menggalang rasa persatuan bangsa Indonesia, tetapi malah diplesetkan menjadi,“ Bersatu kita teguh, bercerai kita ... kawin lagi,” (dari zaman dulu orang Indonesia memang paling piawai kalau soal plesetan kata-kata ala Srimulat).

Di zaman Pak Harto, yang kebanyakan menterinya adalah profesor, seruan itu dikemas jadi lebih ilmiah menjadi “Wawasan Nusantara”, sedangkan SBY menyampaikannya dengan gaya Demokrat, “Bersatu kita bisa!” Tapi intinya adalah para presiden ini menyadari betul betapa persatuan dan kesatuan menjadi modal utama untuk membangun sebuah bangsa.

Orang Inggris mengungkapkannya dengan kata-kata “right or wrong my country” dan orang Jepang punya kaisar yang disebut Tenno Heika alias emperor of the universe (penguasa jagat raya) yang berarti mereka tidak akan menyalahkan, mengejek, apalagi mendemo negaranya apa pun yang terjadi. Itulah yang menjadikan Jepang sebagai negara adidaya dalam Perang Dunia II, kalah (karena di bom atom), tetapi cepat bangkit lagi menjadi negara adidaya dalam perekonomian, hancur dihantam tsunami (2011), tetapi sekarang sudah bangkit lagi.

Orang Inggris dengan nasionalismenya yang tinggi selama berabad menjadi raja lautan, “the British rules the waves” (Inggris mengatur gelombang laut), sementara itu bangsa Indonesia dengan bangganya mengatakan “Indonesian waves the rules” (semua bisa diatur, tidak perlu aturan). Kembali kepada Bung Karno. Untuk mempersatukan bangsanya dia menciptakan berbagai proyek kebanggaan, mulai dari pembangunan Monas sampai pada pembangunan Stadion Gelora Bung Karno untuk penyelenggaraan Asian Games pada 1962 dan Ganefo (Games of the New Emerging Forces).

Ganefo diselenggarakan hanya satu tahun pasca-Asian Games, tujuannya untuk menyaingi Olimpiade yang nekolim (neo-kolonialisme dan neoimperialisme). Bukan hanya itu. Bung Karno juga memerintahkan Trikora (Rebut Irian Barat) dan Dwikora (Ganyang Malaysia). Dua-duanya untuk menciptakan musuh bersama dan tujuan bersama untuk mempersatukan bangsa. Pas betul dengan teori psikologi.

Sayang, akhirnya Bung Karno harus menyerah pada sejarah. Kekuasaannya jatuh karena negara bangkrut, rakyat kecapaian karena disuruh perang terus, dan terutama para politikus saling berhantam, para Sukarnois beralih haluan, dan ABRI terlibat juga, maka terjadilah peristiwa G-30-S. Giliran Suharto jadi presiden, gayanya lain lagi. Di bawah doktrin Wawasan Nusantara, semua harus teratur dan diatur secara terpusat.

Semua PNS masuk Korpri, memakai batik dan lencana Korpri serta baris-berbaris seperti tentara. Istri-istrinya digabungkan dalam Dharma Wanita, FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Indonesia) dibuat untuk anak-anak ABRI serta purnawirawan dan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) untuk pemuda-pemuda lainnya. Untuk anak sekolah ada OSIS (yang karena lambangnya pas di payudara diplesetkan menjadi “Ojo Senggol Iki Susu”) dan seluruh organisasi pemerintahan, dari presiden sampai kelurahan, diatur seragam dengan menghapuskan sistem desa dan pranata adat.

Strategi Pak Harto, perlu diakui, berhasil dan dirasakan rakyat sampai ke pelosok republik. Meskipun begawan ekonomi Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo (alm) menyatakan bahwa kebocoran uang negara pada waktu itu mencapai 30% (sekarang mungkin malah di atas itu), rakyat jelata menikmati gedung-gedung SD inpres dan pasar-pasar inpres baru, jalan-jalan beraspal sampai ke pelosok desa, sembako tidak kekurangan (malah Indonesia mengekspor beras), dan Indonesia menjadi anggota OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), yaitu organisasi negara-negara pengekspor minyak.

Sekarang Indonesia malah mengimpor BBM. Capeek, deeeh... Tapi Pak Harto pun tumbang gara-gara krisis moneter dunia yang menyerang Indonesia, juga karena para elite politik Indonesia, yang selama ini tampaknya tergolong Suhartois, lama-lama buyar pula dan mau jalan sendiri-sendiri. Termasuk Harmoko, Ketua DPR yang mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Suharto, pada detik-detik akhir ikut mendorong agar Pak Harto lengser keprabon saja.

Celakanya, SBY bukan presiden pertama pasca-Reformasi. Di era Reformasi, semua orang sudah “capek...deh...” dengan keserbaseragaman, tidak ada kebebasan berpendapat, tidak ada demokrasi, tidak ada HAM, pokoknya tidak ada apa-apa selain pembangunan ekonomi (itu pun gaji PNS dan ABRI di bawah standar sehingga mereka terpaksa cari “sms”/solusi masalah sendiri, termasuk korupsi).

Nah, dalam suasana euforia seperti itu, semua mau ngatur sendiri: otonomi daerah, pilkada, Presiden Gus Dur (alm) disuruh turun, UUD 1945 diamendemen berkali-kali, pokoknya semua jadi serba-tidak jelas, hukum rimba pun berlaku, yang kuat yang menang, jadi adu otot menggantikan adu akal. Tidak mengherankan kalau dalam kesemrawutan seperti ini ideologi radikal gampang menyusup, terjadilah rangkaian bom dan terorisme lainnya.

Radikalisme berkembang menjadi eksklusivisme. Diskusi tentang Lady Gaga di forum Indonesian Lawyers Club adalah contoh dari eksklusivisme. Diskusi itu melenceng dari diskusi tentang hukum menjadi diskusi tentang agama (saling kutip Alquran dan hadis). Diskusi Irshad Manji digagalkan karena alasan penistaan agama. Penganut Ahmadiyah di Cikeusik dan umat Syiah di Sampang, Madura, diserang karena dianggap sesat (dalam artian agama), umat Kristen Gereja Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP di Bekasi dilarang beribadah karena muslim lokal dan pemerintah daerah tidak suka ada gereja di situ.

Jelas ini tidak kondusif untuk semangat persatuan. Tapi bukan soal agama saja. Bangsa ini terpecah belah pendapatnya dalam 1.001 macam topik lain seperti kasus Cicak- Buaya, Bank Century, Mesuji, Bima, Kerbau SBY, kenaikan harga BBM, dan seterusnya, semuanya merupakan benih perpecahan dan sudah memicu berbagai konflik horizontal. Malah justru timnas Garuda yang sempat membuat bangsa ini bersatu tidak berlangsung lama.

Kita masih ingat betapa kompaknya bangsa ini ketika Irfan Bachdim yang orang Belanda dan belum becus ngomong Indonesia dan kawan-kawannya menggasak tim Vietnam dan Malaysia. Semua Bonek, Aremania, Bobotoh, dan Jakmania bersatu, membela Garuda di dadaku. Bahkan ketika saya ngobrol dengan para mantan teroris yang pernah terlibat berbagai bom dan kekerasan di Indonesia, dengan bersemangat mereka membela timnas.

Tapi pelatih timnas Garuda, Alfred Riedl, malah dipecat oleh pengurus PSSI. Maka hilanglah salah satu pemersatu bangsa yang bisa mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. Masalahnya, seruan Presiden SBY, “Bersatu kita bisa”, diucapkan ketika Indonesia sudah telanjur amburadul. Selain itu tidak disertai langkah-langkah konkret untuk mempersatukan bangsa ini. Tampaknya memang bangsa kita belum siap untuk disuruh bersatu sendiri.

Masih perlu intervensi tegas dari pimpinan negara agar demokrasi tidak berkembang menjadi sejuta bola liar yang beterbangan simpang-siur. Dulu Presiden Suharto menugasi Laksamana Sudomo (alm) selaku Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) untuk mengamankan negara ini dari ancaman SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).

Tentu bukan zamannya lagi sekarang untuk mencegah SARA dengan metode kopkamtib, tetapi memang berbagai strategi nasional perlu dikembangkan dan dilaksanakan di lapangan untuk membendung potensi pecah belahnya persatuan dan kesatuan bangsa melalui SARA seperti tuntutan pemekaran daerah (suku), pelarangan untuk beribadah oleh umat tertentu terhadap umat agama lain (agama), kerusuhan Kalbar dan Kalsel (ras), dan tawuran antardesa atau antarsuporter sepak bola (antargolongan).

Misalnya, bisa tidak negara menetapkan bahwa RI adalah negara Pancasila? Orang boleh ngomong apa saja, tetapi kalau sudah menjurus ke anti-Pancasila, maka orang itu dianggap melanggar hukum dan bisa ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan pidana.

1 komentar:

  1. Kutipan dari teks di atas : ... pelarangan untuk beribadah oleh umat tertentu terhadap umat agama lain (agama) ..., krn selalu timbul permsyalahan ini, shg mengelitik utk menyimaknya, opiniku : inti permasyalahannya ini terjadi adalah masalah "SENSITIF" krn dianggap sbg penyebaran agama lain thd Islam, sedangkan Islam sendiri "UMATNYA" sdh tepecah menjadi berbagai golongan dan mandzab yg syariat dan FIKIHnya berfariasi dan ber-beda2, apalagi pada kitab suci agama tertentu selain Islam disebutkan menyebarkan agamanya dgn segala cara apapun itu adalah berpahala, ini yg tdk mau dan jarang diungkap khususnya dari umat Islam krn ini menyangkut hak paten dari agama lain (disebut dlm kitab sucinya)

    misalnya ada yg berbunyi : Khotbah Pastur Hari ini Surat Roma, Pasal 3 Ayat 7 disebutkan ; Kalau Karena Dustaku kerajaan Allah semakin berkembang, kenapa aku dihukumi lagi sebagai orang yang berdosa." sumber dari buku seorang mualaf terkenal Ibu Irena Handono, jadi mungkin penulis hrs wajib menyimak lagi buku2 karya beliau utk menambah wawasan ...

    BalasHapus