Kelompok
Rentan yang Terlupakan
Elfindri; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
(Unand), Padang
SUMBER
: SINDO,
26 Mei 2012
Dalam
menjalankan pemerintahannya, kabinet SBY-Boediono telah merumuskan beberapa
program strategis. Salah satunya Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang merupakan program utama ekonomi yang
dikombinasikan dengan pengembangan moda transportasi.
Sementara
untuk program sosial lebih difokuskan pada konsep pro-poor dan projob; dua kebijakan
yang bermuara sama,meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tatanan
perencanaan, program pro-poor bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan,
melalui berbagai skema program yang dikerjakan. Bentuknya bisa langsung seperti
bantuan tunai sementara, bantuan biaya berobat, beasiswa untuk anak miskin,
serta penyediaan beras bersubsidi maupun tidak langsung seperti penyediaan
modal kerja, serta meningkatkan keterampilan kerja.
Sementara pro-job adalah bagian dari kebijakan sosial. Asal-muasalnya dari masih tingginya angka pengangguran terbuka dan angka setengah pengangguran. Lalu bagaimana pelaksanaannya di skala teknis, yaitu di daerah? Saat ini bisa dikatakan belum ada keseragaman, dan seringkali arahnya velum terlalu jelas. Karena itu, pemerintah daerah sebaiknya membuat cetak biru bagaimana peta keadaan masing-masing daerah, dalam melihat posisi keadaan sesungguhnya.
Jika analisis memadai, kemudian cukup mudah untuk memprediksi apa yang akan dilakukan untuk mengatasi kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja.Namun,sebelumitu,cetak biru yang dimaksud mesti disusun terlebih dahulu oleh pemerintah pusat, dan menjadi inspirasi bagi masing-masing pemerintah daerah. Namun, satu hal yang perlu diingat yaitu dalam menyusun dan melaksanakannya harus memberi perhatian lebih terhadap kelompok-kelompok rumah tangga yang rentan.
Empat Kelompok Rentan
Menurut hemat penulis, empat kelompok rumah tangga yang sangat rentan akan persoalan kemiskinan dan kurangnya produktivitas kerja. Pertama, kelompok rumah tangga nelayan. Kajian Riset Unggulan Terpadu (RUT) pada 2001 sampai 2003 yang penulis lakukan di pantai barat Sumatera menemukan angka kemiskinan rumah tangga nelayan relatif tinggi.
Ditemukan sebanyak 82% rumah tangga menguasai penghasilan 40% terendah, sementara hanya 6,4% rumah tangga yang menguasai 20% kelompok penghasilan tertinggi. Pertumbuhan jumlah rumah tangga kelompok nelayan diperkirakan 2,3% per tahun, dan angka partisipasi kerja wanita istri nelayan relatif rendah, berkisar 14,9%. Sementara angka partisipasi kerja wanita nasional berfluktuasi antara 35-40%.
Strategi utama yang sering disarankan adalah melalui pendekatan peningkatan aktivitas rumah tangga, khususnya wanita pada pekerjaan yang masih berkaitan dengan kebutuhan dan keterikatannya dengan nelayan,dengan istilah off-fishing employment. Kedua, kelompok rumah tangga petani berlahan sempit atau buruh tani. Kelompok kedua ini mendominasi jumlah angka kemiskinan.
Modernisasi pertanian telah menyebabkan masukan waktu kerja di sektor pertanian semakin berkurang. Kelebihan jam kerja rumah tangga pertanian dapat digunakan untuk melengkapi usaha pertanian (on-farm) misalnya beternak atau melakukan pekerjaan lain di luar pertanian seperti pengolahan hasil pertanian dan perdagangan (off-farm employment).Strategi ini sangat ampuh dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang dinyatakan oleh ekonom Harry T Oshima, seperti di Taiwan dan Jepang, sebagai negara moon soon economy (Elfindri,2007).
Ketiga,rumah tangga sektor informal perkotaan.Kelompok ini mendominasi status pekerjaan self employed dari tenaga kerja. Mereka umumnya merupakan pekerja keluarga, sangat tahan akan guncangan eksternal, namun masih terbatas memperoleh proteksi dan pengembangan dari pemerintah. Kebutuhan utama yang diperlukan oleh keluarga sektor informal adalah jaminan tempat berusaha,sekaligus beberapa kebutuhan permodalan dan teknologi agar skala kerja mereka masuk ke dalam skala ekonomi, dan mereka bisa mengembangkan diri.
Sementara kelompok terakhir adalah buruh kontrak (contractual worker). Jika kita jeli melihat tuntutan buruh akhir-akhir ini adalah bagaimana upah minimum mereka ditingkatkan, pada saat bersamaan ada kepastian dari kelompok ini untuk bekerja. Kelompok pekerja ini menginginkan tidak saja mereka nyaman dengan cara pembayaran harian, mingguan, atau bulanan, bahkan semakin besar keinginan untuk lebih stabil lagi menjadi pekerja permanen.
Kenyataan demikian juga terbukti ketika dihitung dampak kenaikan upah minimum oleh Suryahadi dkk (2003). Peningkatan upah minimum mengurangi jumlah pekerja kontrak, mengurangi jumlah pemakaian wanita pada pasar kerja, dengan koefisien elastisitas 0,1. Artinya setiap kenaikan upah minimum 10% mengurangi jumlah pemakaian tenaga kerja sebesar 1%.
Keempat kelompok rumah tangga yang dijelaskan di atas tidak bisa dirumuskan hanya dengan kebijakan yang generalis, namun mesti menjadi acuan bagaimana daerah dapat mengembangkan skema program-program disertai melaksanakannya dengan langkah yang jelas dan berkesinambungan. Pemerintah pusat dapat membuatpayungkebijakan pro-poor dan pro-job yang dimaksud, kemudian pemerintah provinsi dan kabupaten berupaya memetakan keadaan, mencoba mengintegrasikan ke dalam program kerja tahunan.
Sekiranya hal ini tidak diselesaikan, lambat laun diyakini bahwa persoalan pro-poor dan pro-job ini tinggal pemanis kata saja,yang sebenarnya diperlukan adalah keseriusan untuk mewujudkannya dalam program aksi. Saatnya pemerintah pusat melalui Bappenas menghasilkan rencana strategi ini. ●
Sementara pro-job adalah bagian dari kebijakan sosial. Asal-muasalnya dari masih tingginya angka pengangguran terbuka dan angka setengah pengangguran. Lalu bagaimana pelaksanaannya di skala teknis, yaitu di daerah? Saat ini bisa dikatakan belum ada keseragaman, dan seringkali arahnya velum terlalu jelas. Karena itu, pemerintah daerah sebaiknya membuat cetak biru bagaimana peta keadaan masing-masing daerah, dalam melihat posisi keadaan sesungguhnya.
Jika analisis memadai, kemudian cukup mudah untuk memprediksi apa yang akan dilakukan untuk mengatasi kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja.Namun,sebelumitu,cetak biru yang dimaksud mesti disusun terlebih dahulu oleh pemerintah pusat, dan menjadi inspirasi bagi masing-masing pemerintah daerah. Namun, satu hal yang perlu diingat yaitu dalam menyusun dan melaksanakannya harus memberi perhatian lebih terhadap kelompok-kelompok rumah tangga yang rentan.
Empat Kelompok Rentan
Menurut hemat penulis, empat kelompok rumah tangga yang sangat rentan akan persoalan kemiskinan dan kurangnya produktivitas kerja. Pertama, kelompok rumah tangga nelayan. Kajian Riset Unggulan Terpadu (RUT) pada 2001 sampai 2003 yang penulis lakukan di pantai barat Sumatera menemukan angka kemiskinan rumah tangga nelayan relatif tinggi.
Ditemukan sebanyak 82% rumah tangga menguasai penghasilan 40% terendah, sementara hanya 6,4% rumah tangga yang menguasai 20% kelompok penghasilan tertinggi. Pertumbuhan jumlah rumah tangga kelompok nelayan diperkirakan 2,3% per tahun, dan angka partisipasi kerja wanita istri nelayan relatif rendah, berkisar 14,9%. Sementara angka partisipasi kerja wanita nasional berfluktuasi antara 35-40%.
Strategi utama yang sering disarankan adalah melalui pendekatan peningkatan aktivitas rumah tangga, khususnya wanita pada pekerjaan yang masih berkaitan dengan kebutuhan dan keterikatannya dengan nelayan,dengan istilah off-fishing employment. Kedua, kelompok rumah tangga petani berlahan sempit atau buruh tani. Kelompok kedua ini mendominasi jumlah angka kemiskinan.
Modernisasi pertanian telah menyebabkan masukan waktu kerja di sektor pertanian semakin berkurang. Kelebihan jam kerja rumah tangga pertanian dapat digunakan untuk melengkapi usaha pertanian (on-farm) misalnya beternak atau melakukan pekerjaan lain di luar pertanian seperti pengolahan hasil pertanian dan perdagangan (off-farm employment).Strategi ini sangat ampuh dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang dinyatakan oleh ekonom Harry T Oshima, seperti di Taiwan dan Jepang, sebagai negara moon soon economy (Elfindri,2007).
Ketiga,rumah tangga sektor informal perkotaan.Kelompok ini mendominasi status pekerjaan self employed dari tenaga kerja. Mereka umumnya merupakan pekerja keluarga, sangat tahan akan guncangan eksternal, namun masih terbatas memperoleh proteksi dan pengembangan dari pemerintah. Kebutuhan utama yang diperlukan oleh keluarga sektor informal adalah jaminan tempat berusaha,sekaligus beberapa kebutuhan permodalan dan teknologi agar skala kerja mereka masuk ke dalam skala ekonomi, dan mereka bisa mengembangkan diri.
Sementara kelompok terakhir adalah buruh kontrak (contractual worker). Jika kita jeli melihat tuntutan buruh akhir-akhir ini adalah bagaimana upah minimum mereka ditingkatkan, pada saat bersamaan ada kepastian dari kelompok ini untuk bekerja. Kelompok pekerja ini menginginkan tidak saja mereka nyaman dengan cara pembayaran harian, mingguan, atau bulanan, bahkan semakin besar keinginan untuk lebih stabil lagi menjadi pekerja permanen.
Kenyataan demikian juga terbukti ketika dihitung dampak kenaikan upah minimum oleh Suryahadi dkk (2003). Peningkatan upah minimum mengurangi jumlah pekerja kontrak, mengurangi jumlah pemakaian wanita pada pasar kerja, dengan koefisien elastisitas 0,1. Artinya setiap kenaikan upah minimum 10% mengurangi jumlah pemakaian tenaga kerja sebesar 1%.
Keempat kelompok rumah tangga yang dijelaskan di atas tidak bisa dirumuskan hanya dengan kebijakan yang generalis, namun mesti menjadi acuan bagaimana daerah dapat mengembangkan skema program-program disertai melaksanakannya dengan langkah yang jelas dan berkesinambungan. Pemerintah pusat dapat membuatpayungkebijakan pro-poor dan pro-job yang dimaksud, kemudian pemerintah provinsi dan kabupaten berupaya memetakan keadaan, mencoba mengintegrasikan ke dalam program kerja tahunan.
Sekiranya hal ini tidak diselesaikan, lambat laun diyakini bahwa persoalan pro-poor dan pro-job ini tinggal pemanis kata saja,yang sebenarnya diperlukan adalah keseriusan untuk mewujudkannya dalam program aksi. Saatnya pemerintah pusat melalui Bappenas menghasilkan rencana strategi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar